Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 14 Oktober 2012

Wahai Pemimpin, Belajarlah dari Wayang!



Resensi Saya Termuat di KORAN JAKARTA, Oktober 2012


Judul Buku : 75 Pemimpin Wayang Inspiratif
Penulis : Wisnu Dewabrata
Penerbit : Crop Circle Corp
Terbit : 2012
Tebal : viii 146
ISBN : 978-602-98690-5-7
 
Pemimpin sekarang ini seolah-olah teralienasi dari rakyatnya. Di saat sebagian masyarakat masih dihimpit beban hidup, sebagian elite justru menunjukkan gaya hidup hedonis dengan menghambur-hamburkan uang rakyat. Mereka seakan-akan tak memiliki empati terhadap penderitaan rakyat. Banyak yang tanpa malu-malu menilap uang rakyat. Akibat kerakusan pemimpin yang tak amanah tersebut, kemelaratan rakyat tak kunjung terentaskan. Pemimpin yang korup sedikit pun tak memiliki rasa iba menyaksikan derita rakyat.
Kalimat klasik Th omas Hobbes, homo homini lupus (manusia itu serigala bagi manusia yang lain), tak pernah lekang. Mungkin ungkapan tersebut menggambarkan situasi hubungan antarmanusia dewasa ini. Ironisnya, tipe pemimpin yang teralienasi dari rakyat semakin hari semakin banyak. Sekarang terjadi krisis pemimpin yang jujur, bermoral, etis, dan penuh teladan. Kepedulian semakin tipis. Rakyat kere, DPR jalanjalan terus ke luar negeri. Elite sering mengklaim Indonesia ramah, tepo seliro, berbudaya tinggi, tapi mengapa belajar etika harus ke Yunani?
Negeri sendiri sangat berlimpah nilai-nilai etik dan moral yang bersumber dari kearifan lokal dan budaya sendiri. Salah satu contoh, bangsa ini memiliki seni budaya adiluhung, wayang. Di dalam cerita maupun profi l tokoh wayang, rakyat bisa mengambil saripati hikmah maupun keteladanan. Wayang adalah cermin realitas kehidupan manusia.
Tepat kiranya bila Wisnu Dewabrata menulis buku berjudul 75 Pemimpin Wayang Inspiratif yang mengajak para pembaca untuk mau belajar saripati kehidupan dari tokoh dan lakon wayang. Banyak nilai kepemimpinan yang bisa dipetik. Untuk generasi belia sekarang, wayang pun bisa dijadikan alternatif tontonan dan tuntunan dalam mencari sosok-sosok superhero. Gatotkaca tak kalah heroiknya dibanding Superman. Begitu pun Arjuna yang jago memanah sebagaimana Robin Hood. Bima pun tak kalah kuat dibanding Hulk. Tokoh-tokoh pewayangan itu seharusnya lebih lekat dengan akar budaya bangsa sendiri.
Wayang memberi contoh tokoh yang harus dipanuti dan dihindari. Misalnya, seorang pemimpin mesti merakyat seperti diteladankan Prabu Kresna Dwipayana. Meski raja agung, dia hidup ala begawan yang suka laku spiritual dan menyatu dengan rakyat. Penampilannya pun tak ubahnya seperti begawan (halaman 38). Kini, tokoh yang berintegritas pun semakin langka.
Sebaliknya, elite yang bersifat hipokrit kian merebak. Ketika kampanye untuk merebuat sebuah posisi eksekutif maupun legislatif, mereka kencang meneriakkan antikorupsi. Namun, setelah menjabat, mereka malah menggerogoti uang rakyat. Janji tinggal janji.
Banyak tokoh pewayangan yang mencontohkan keteguhan dalam memegang janji hingga ajal seperti Bhisma (halaman 40). Kian sulit pula menemukan sosok yang berani melawan arus dalam komunitas yang penuh penyimpangan. Yang ada malah berbagai konspirasi jahat.
Contohnya: korupsi berjamaah, dalam lingkup birokrasi dan DPR. Sekarang zaman edan, kalau tidak ikut ngedan tidak kebagian. Berbeda dengan Wibisana, adik Rahwana. Meskipun kakaknya raja kegelapan, sang adik tak terpengaruh sedikit pun. Wibisana berani tak populer di mata kerabatnya, bangsa denawa. Dia lantang berteriak, hak adalah hak, bathil itu bathil. Kelak kebahagiaan sejati didapat Wibisana. Sebaliknya, malapetaka menimpa saudara-saudaranya (halaman 143).
Begitu banyak hikmah, suri teladan, dan nilai-nilai kepemimpinan yang bisa didapat dari dunia pewayangan. Untuk belajar etika, moral dan budi pekerti tak perlu pergi jauh ke Yunani. Belajarlah dari tokoh-tokoh pewayangan untuk mengerti baik dan buruk, yang patut dan tak pantas. Semua itu dari nilai-nilai kearifan milik bangsa sendiri.