Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Sabtu, 19 April 2014

Kaos Kampanye dan BB Kuncung



Oleh : Danang Probotanoyo
 
Cerpen Saya, Termuat di Radar Surabaya, Medio: April 2014
       Gara-gara sebulan yang lalu dusunnya ketempatan mahasiswa UGM yang ber-KKN, sudah dua minggu Kuncung mogok bicara kepada simboknya dan tak pernah keluar rumah. Hari-harinya dihabiskan dengan mengurung diri di kamar. Keluar kamar hanya untuk mandi dan buang hajad. Makan pun di dalam kamar. Tugas harian menimba air dan mencari rumput untuk makan
sapi dan kambing Simbok tidak pula dijalankan. Terpaksa Simbok  meng-handle semua pekerjaan itu.        

            Ini jelas indisipliner! Gerutu Simbok menirukan istilah yang sering didengarnya dari    

              para mahasiswa itu.

Bahkan, beberapa undangan kenduren tetangga pun dilewatinya.

            “Ini bukan perkara sepele! Kalau dibiarkan terus, bisa mengganggu stabilitas dusun kita.    

             Kalian harus menyelidiki ke sana! Kalian saya bekali dengan surat tugas resmi,” kata  

             Pak Kepala Dusun kepada Jambul dan Kuncir. Eksistensi Kuncung tetaplah signifikan.

“Dia ingin dibelikan beri-beri, itu lho, yang tempo hari dipakai mainan Mas Henky, anak KKN itu,” kata Simbok.

Jambul dan Kuncir terpingkal-pingkal mendengar omongan Simbok.         
Pemberangkatan KKN Mahasiswa UGM

“Mbok, Mbok, itu bukan beri-beri, tapi HP Blackberry! Kata Mas Henky, itu HP tercanggih. Kami pernah melihat punya Mas Henky,” ujar Jambul masih cekikikan.

“Canggih itu opo, ‘Le?” tanya Simbok lugu.

“Ah, sudahlah, nanti Simbok tambah bingung bila kami jelaskan. Apakah Simbok keberatan  membelikan?” timpal Kuncir.

“Bukannya Simbok keberatan, Kuncungnya yang nggak sabaran. Simbok hanya menyuruh nunggu sampai Lebaran Haji. Simbok akan jualkan satu Sapi. Kan harganya lumayan tinggi kalau dijual pas Lebaran Haji.”

Cerdik juga Simbok, bisik keduanya.

“Tapi, Mbok, kalau menunggu hingga Lebaran Haji, itu masih delapan bulan lagi. Terlalu lama. Apa Simbok tidak khawatir bila si Kuncung stres terus  selama delapan bulan ke depan? Nanti kalau dia terus nekad kayak Paklik Sarjimin dulu itu, gimana hayo? Jambul dan Kuncir memprovokasi Simbok.

“Waduh, betul juga kalian. Kalau kejadiannya kayak si Sarjimin memang akan sangat memalukan. Kenapa Sarjimin dulu waktu nggantung di pohon duwet lupa ngiket kolornya yang kombor itu ya? Hi..hi..hi, aku sempat ngelihat lho. Ternyata Sarjimin hingga tuanya belum disunat,” Simbok terkekeh.

Simbok ngeres, ah. Jangan ngomong masalah malu karena melorotnya kolor dong, Mbok! Tapi kalau Kuncung sampai nekad, status Simbok meningkat bukan janda lagi, tapi  menjadi  sebatang kara tanpa keturunan,” tukas Kuncir.

“Tapi, kalau Simbok mau ngangkat kami sebagai anak nggantiin Si Kuncung, kami tidak keberatan kok. Lumayan kan  dapat warisan sapi tiga, kambing lima, hi, hi,” gurau Jambul.

Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata si Kuncung menguping pembicaraan.  

“Brengsek kalian! Kalian tengah mengincar singgasanaku sebagai putera mahkota pewaris Sapi dan Kambing Simbok. Awas  nanti!”  gerutu Kuncung, yang terlalu doyan nonton Ketoprak itu.

“Idih, amit-amit punya anak seperti kalian. Meski si Kuncung giginya agak tonggos dan suka ngentutan,  dia nggak pemalas seperti kalian,” Simbok nyemash Jambul dan Kuncir.

Dari dalam kamar si Kuncung cuma tersenyum kecut. Dia besar kepala karena dipuji Simbok, sekaligus merasa ditelikung Simbok di depan kawan-kawannya.

Karena diprovokasi terus-menerus, Simbok pun menyerah.

“Oke,oke, besok aku suruh si Kuncung ke pasar hewan kecamatan untuk  njual satu Sapi.”

Simbok pun berlalu. Jambul dan Kuncir menghampiri Kuncung dalam kamarnya. Gumuruhlah kamar tersebut dengan tawa ketiganya.

“Gimana, Cung, terbuktikan kalau kami berdua bisa dijadikan kawan andalan?!

“Iya, tapi kalian sempat kurang ajar, ingin menggantikan posisiku di rumah ini. Untung aku mendengarnya. Kalau nggak, lain waktu Kalian mungkin akan ngracuni aku biar bisa jadi anak Simbok, Kampret!”

“Idih, dicandain sewot amat, nggak lah, justru kami nggak ingin kamu lekas mati karena stres kayak Paklik Sarjimin tempo hari. Bukan apa-apa, siapa lagi nanti yang akan membawakan besek kenduren bila kami  lagi absen kendurenan, ha, ha.”   



Tawa ketiga bocah dusun itu pun memecah kesunyian siang itu.

Keesokan harinya Kuncung telah menuntun seekor Sapinya menuju  jalan dusun.

“Jangan lupa, Cung, pulangnya mampir beli sirih dan kapur ya, ingat itu!” seru Simbok.

“Iya Mbok, doakan  semoga Sapi ini laku mahal.”

Singkat cerita, Sapi telah laku terjual. Kuncung kelabakan karena seluruh kios HP yang ada di ibukota kecamatan itu tak ada yang menjual Blackberry (BB). Maklum, saat itu BB masih menjadi barang baru dan mahal. Dia pun bingung, kemudian memutuskan pergi ke wartel yang tersisa. Sekeluar dari wartel, dia nyegat angkot yang menuju arah kota. Ternyata di wartel  tadi dia menghubungi Henky, anak UGM yang dulu KKN di dusunnya. Sampailah Kuncung di kos-kosan Henky, di bilangan Kodya Yogyakarta.

Gimana kabar dusunmu setelah kami tinggalkan, Cung? Apakah benih lele yang kami tebar ke blumbang dusun dulu itu sudah besar-besar?” Henky membuka pertanyaan.

“Semua baik, Mas. Cuma Lele-lele itu sudah ludes di apotas orang jahil, Mas. Ada yang nyabotase. Maklum mau pilihan lurah. Sepertinya ada yang tidak ingin lurah lama terpilih lagi, jadi bikin kisruh disana.”

Emang, Pak Lurah maju lagi to? Emang bagus dia?”

“Nggak juga sih, Mas. Cuma orang dusun seperti kami masih banyak yang menyukai tipenya Pak Lurah lama. Orangnya kan sopan dan kalem kalau ngomong. Walau sebenarnya program kerjanya nggak bagus-bagus amat. Listrik saja sekarang dinaikin sama dia.”

“Bodoh banget kamu, Cung, Cung, yang naikin listrik itu mah orang PLN sama orang di Jakarta sonoh, bukan lurahmu itu.”

“Tapi, kan, sama saja Mas. Ujung-ujungnya, Pak Lurah kan anak buah ‘Orang Jakarta’ itu,” Kuncung tak mau kalah.

“Sudah tahu gitu, kaos gambar ‘Orang Jakarta’ itu masih juga kamu pakai kesini, malu-maluin.”

“Enak, sih, Mas. Kaosnya adem karena tipis banget. Kayaknya kaos murahan ya, Mas? Waktu musim kampanye dulu aku dapat tiga, lho. Mas Henky mau? Entar yang satu aku bawakan  untuk Mas Henky.”

“Buat ngepel kamar! Mendingan aku pakai kaos Liverpool ini Cung, lebih keren.”

Singkat cerita, Kuncung menyampaikan maksudnya kepada Henky untuk memiliki BB.

sumber gambar: uniqpost.com
Ceile, kamu mau njago lurah juga apa? Punya BB, nanti kamu boros beli pulsa lho, Cung.”

Berboncengan motor milik Henky, keduanya melaju ke Malioboro. Berkat kepiawaian Henky bernegosiasi dengan pedagang HP di Malioboro, Kuncung akhirnya memiliki BB baru lengkap dengan dosnya. Sebagai balas budi, Henky ditraktir makan di sebuah  warung “nasi kucing”. Sebagai anak kos, Henky tak menyia-nyiakan kesempatan. Empat bungkus “nasi kucing” disambarnya sekaligus. Tidak ketinggalan dua gelas wedang jahe telah digelontorkan ke kerongkongannya.

“Nambah, Mas, wedangnya?”

Diamput! Kamu samakan aku dengan sapi gelonggongan, ya?!”

“Kan kalau disembelih berat kiloannya, Mas.”

“Alah, kebanyakan nonton berita kriminal Kamu.”

“Sering-sering Kamu ke kos-kosanku, Cung! Terutama pas tanggal tua, he..he..he.”

“Iya, Mas, nanti aku bawakan Kimpul sama Ganyong.”

Semprul kowe! Dua bulan aku KKN di dusunmu disuguh itu terus, habis itu aku opname di rumah sakit. Ususku pada lengket, tahu!”

Setelah makan kenyang dan geguyonan, Henky mengajak Kuncung ke sebuah “Butik Baju Bekas Import”.

“Lho, ngapain kita ke sini, Mas?”

“Beli pakaian bagus bekasnya orang Taiwan. Duitmu kan masih sisa banyak, kan?

“Buat apa Mas? kaosku ini masih bagus kok, kan baru tahun 2009 kemarin dapatnya.”

“Jangan dipakai lagi! Malu-maluin. Entar setelah memakai baju baru, Kamu akan aku potret. Sekalian nanti  beli kaca mata hitam, biar keren.”

“Buat apa di potret, Mas?!  KTP-ku masih lama kok habisnya.”

“Siapa mau bikin KTP, dodol! Kamu akan aku bikinin paspor! mau tak kirim ke Kuwait, jadi TKI disana, mau?”

“Enggak, ah, di tv banyak TKI babak belur dihajar majikannya. Sudah begitu nggak dibayar lagi, ya kan Mas? Tahu begitu kenapa masih juga kita ngirim orang ke sana ya, Mas.”

Mboh! Tanya saja sama ‘orang di kaosmu’ itu.”

“Emang dia pernah jadi TKI disana, Mas?”

“Cung, lama-lama kamu tak antemi, lho, ngomongin ‘orang itu’ terus. Mumet aku, Cung!”

“Emang, ‘orang itu’ suka marahin Mas Henky, ya? Kok, Mas Henky mumet.”

“Gara-gara dia, kos-kosanku naik. Ibu kos keberatan mbayar listriknya, tahu kamu!  Sudahlah, jangan ngomongin ‘orang itu’ lagi, perutku jadi mules setiap noleh ke kaosmu itu. Masih banyak hal yang lebih penting daripada dia, ya, kan?

Mereka pun pulang kembali ke kos-kosan Henky. Kuncung tampak lebih ganteng dengan baju baru tapi bekas itu. Apalagi di atas sakunya tertera huruf China. Sedang kaos yang tadi dikenakan Kuncung dibuntal tas kresek hitam. Henky memerintahkan Kuncung memberikan kaos dan kreseknya  ke tukang becak yang mangkal di Alun-alun Utara.

Matur nuwun,  ya, ‘Den,” kata si bapak tukang becak.

“Sama-sama pak. Semoga itu bisa ngrejekeni bapak,” kata Henky, yang  merasa plong kaos itu tak ada didepannya lagi.

Sampailah mereka di kamar kos Henky. Tiga jam full, Henky memberi training bagaimana cara mengoperasikan BB itu. Maklum, ngajari Kuncung menggunakan BB sama dengan ngajari anak TK menghitung luas segitiga. Gampang namun menjadi susah, karena pikiran nggak nyampai, alias lelet. Tak lupa si Kuncung dipotret dengan BB itu.

“Buat apa fotoku ini, Mas?”

“Buat headshot di akunmu. Jangan lupa rubah namamu dari Kuncung menjadi Charly, ingat itu!”

Sebulan kemudian, di rumah bapak kepala dusun, tempat si Charly alias Kuncung tinggal, nampak orang ramai berkumpul. Semua orang dusun hadir di situ, termasuk Jambul dan Kuncir, sobat si Kuncung. Mereka membicarakan hal ketidakmunculan Kuncung selama sebulanan. Ini sudah menjadi keresahan bersama, karena Kuncung juga absen pada semua kegiatan  warga.

“Benar Pak Kadus, jangankan untuk urusan kegiatan warga, terhadap kami pun si Charly alias Kuncung  sudah merasa nggak membutuhkan lagi,” ujar Jambul dan Kuncir.

“Lho, bukankah selama ini dia selalu memerlukan kalian bila menghadapi  masalah? Kalian kan sobat karibnya,” ujar Pak Kadus.

“Itu dulu Pak Kadus. Sekarang sudah nggak lagi semenjak dia memiliki banyak kawan baru. Katanya, kawan barunya itu sekitar 4.000 orang. Keren-keren lagi. Sekarang Charly nggak mau bergaul dengan kami lagi. Sehari-harinya hanya di dalam kamar, toh dengan begitu saja dia sudah bisa memiliki ribuan teman. Itu kata Simboknya, lho, Pak,” tukas Jambul dan Kuncir kompak. 
Link:

http://www.radarsby.com/radarsurabaya%20pdf/6.pdf 

Yogyakarta, Maret  2014, Seusai Melihat Berita Kampanye
Catatan:
-          Kendurian: Hajadan                                      - Besek: Kotak makanan dari bambu
-          Cengengas-cengenges: Ketawa-tawa            - “Nasi Kucing”: Nasi bungkus sambal teri porsi kecil
-          ‘Le: Dari Tole (anak laki di Jawa)               - Mboh: Tak tahulah
-          Paklik: Paman                                                - Ngeres : Jorok       
-          Kombor: Longgar                                           - Ketoprak: Sandiwara Bahasa Jawa

Rabu, 09 April 2014

Masyarakat “Sakit” Zaman Modern


(Tulisan saya ini sudah dimuat Lampung Post medio: Desember 2012. Majalah SAGANG memuat ulang pada Maret 2014, mengambilnya dari blog: mediasangsufi.blogspot.com  tanpa seijin saya) 
                                                   

                                                         Oleh :Danang Probotanoyo
Judul Buku : Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme   
                      Jean Baudrillard
Penerbit      : JALASUTRA                                      


Penulis        : Medhy Aginta Hidayat
Terbit         : I, Juni 2012
Tebal          : xii+176 halaman
ISBN          : 978-602-8252-77-5
Harga         : Rp 38.000
     
      Bisakah membayangkan seandainya hari ini tidak ada tv, telepon, HP,  faximile, internet, e-mail, mesin fotocopy, pesawat terbang atau obat vaksin anti virus? Tentu hidup terasa menjadi sulit, beresiko dan  lamban. Beda bila pertanyaan tadi terlontar ratusan tahun silam. Di jaman modern ini, berbagai kemudahan didapatkan manusia untuk  melakukan pelbagai aktivitas hidup berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Waktu dan jarak relatif tak menjadi kendala bagi manusia untuk melakukan transaksi atau menjalin relasi. Manusia benar-benar termanjakan oleh modernisme.

     Namun, modernisme sebagai paradigma peradaban modern tak sepenuhnya menjamin kebahagiaan hidup manusia. Di banyak hal, paradigma modernisme justru dianggap gagal membuat pencerahan dalam kehidupan manusia. Lebih jauh lagi,  modernisme dipandang sebagai penyebab munculnya berbagai anomali bahkan penyakit sosial masyarakat modern atau patologi modernitas. Sebagai antithesis modernisme muncul kerangka berpikir baru yang disebut postmodernisme. Yakni wacana kesadaran yang mencoba menggugat kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme. Postmodernisme menghadirkan  kegairahan utuk memperluas cakrawala estetika, tanda dan kode seni  modern. Wacana kebudayaan ini  menyertai kejayaan kapitalisme, kemajuan teknologi  informasi yang menggiring lahirnya budaya konsumerisme, realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi disertai dengan tumbangnya nilai guna dan nilai tular oleh nilai tanda dan nilai simbol.

      Kajian mengenai postmodernisme muncul sebagai bentuk gugatan terhadap kegagalan wacana modernisme sebagai pencerahan hidup manusia. Pauline M. Rosenau (1992) setidaknya mencatat lima alasan penting munculnya gugatan postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme dipandang telah gagal menciptakan perbaikan menuju masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan. Kedua, Ilmu pengetahuan modern tidak bisa lepas dari tindakan penyalahgunaan untuk kepentingan kekuasaan yang menyimpang. Ketiga, terjadi banyak ketidaksesuaian antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, pudarnya keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern serba mampu memecahkan persoalan-persoalan  manusia. Munculnya berbagai anomali dan penyakit sosial sebagai pembuktiannya. Kelima, ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistik dan metafisik manusia karena terlalu berpatokan pada paradigma fisik.

      Jean Baudrillard (filsuf Perancis) merupakan sosok penting pemikir kebudayaan postmodern. Pemikiran Baudrillard menjadi kunci penting untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme.  Menurut Baudrillard, masyarakat Barat (dan dunia secara umum) sekarang ini adalah masyarakat konsumen, yakni masyarakat yang haus mengonsumsi segala sesuatu tidak hanya yang berwujud riil namun juga obyek tanda. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasar manfaat atau harganya melainkan berdasar prestise dan makna simbolisnya. Kalau mengacu pada telaah dan definisi yang dilakukan Baudrillard tersebut, sangat pas dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Disaat sebagian dunia mengalami krisis ekonomi, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang mampu menunjukkan kinerja perekonomiannya untuk tetap tumbuh. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi terutama karena sokongan konsumsi di dalam negeri. Setiap hari bermunculan gerai-gerai waralaba, minimarket maupun mall-mall. Pola konsumsi masyarakat, terutama kelas menengah-atas, kerap kali hanya mengacu pada lifestyle, gengsi dan persaingan. Gonta-ganti aneka asesoris, gadget atau kendaraan hanya untuk mengejar “wah” dari pihak lain atau semata untuk prestise pribadi. Soal kegunaan barang atau besaran  harga tak lagi menjadi ukuran. Gejala masyarakat yang tergila-gila akan simbol pribadi  ditangkap dengan baik oleh para produsen berotak kapitalis. Setiap saat kaum kapitalis  menambahkan satu atau beberapa fitur baru pada satu merek barang. Tujuannya mengeksploitasi kerakusan konsumen pada “produk baru” yang bisa mendongkrak gengsi bila memilikinya. Tak heran terjadi antrean panjang setiap ada launching produk baru, yang kenyataannya hampir tidak berbeda dengan produk sejenis sebelumnya. Dalam era kapitalis sekarang ini nilai guna dan nilai tukar telah dikalahkan oleh suatu nilai baru, yakni nilai tanda dan nilai simbol (hal 60 ). Inilah gejala mayarakat yang sakit di era modern sekarang.


       Buku ini berisi percik-percik pemikiran Jean Baudrillard yang menelanjangi akibat modernisme yang menyebabkan masyarakat modern menjadi masyarakat yang “sakit” karena tergila-gila pada simbol. Terjadilah eksploitasi nafsu konsumtif masyarakat “sakit” tersebut oleh kapitalis lokal maupun global. Buku ini memberi pencerahan teoritis yang gamblang dan komprehensif bahwa tak selamanya modernisme membawa kebaikan.

Danang Probotanoyo, Pusat Studi Reformasi Indonesia, Alumnus UGM