Oleh : Danang Probotanoyo
Cerpen Saya, Termuat di Radar Surabaya, Medio: April 2014 |
“Ini jelas indisipliner!” Gerutu Simbok menirukan istilah yang
sering didengarnya dari
para mahasiswa
itu.
Bahkan, beberapa undangan kenduren tetangga pun dilewatinya.
“Ini bukan perkara
sepele! Kalau dibiarkan terus, bisa mengganggu stabilitas dusun kita.
Kalian harus
menyelidiki ke sana! Kalian
saya bekali dengan surat tugas resmi,” kata
Pak Kepala
Dusun kepada Jambul dan Kuncir. Eksistensi
Kuncung tetaplah signifikan.
“Dia
ingin dibelikan beri-beri, itu lho, yang tempo hari dipakai mainan Mas Henky,
anak KKN itu,” kata Simbok.
“Mbok, Mbok, itu bukan beri-beri, tapi HP
Blackberry! Kata Mas Henky, itu HP tercanggih. Kami pernah melihat punya Mas
Henky,” ujar Jambul masih
cekikikan.
“Canggih
itu opo, ‘Le?” tanya Simbok lugu.
“Ah,
sudahlah, nanti Simbok tambah bingung bila kami jelaskan. Apakah Simbok
keberatan membelikan?” timpal Kuncir.
“Bukannya
Simbok keberatan, Kuncungnya yang nggak sabaran. Simbok hanya menyuruh nunggu
sampai Lebaran Haji. Simbok akan
jualkan satu Sapi. Kan harganya lumayan tinggi
kalau dijual pas Lebaran Haji.”
Cerdik juga Simbok, bisik keduanya.
“Tapi,
Mbok, kalau menunggu hingga Lebaran Haji, itu masih delapan bulan lagi. Terlalu
lama. Apa
Simbok tidak khawatir bila si Kuncung stres terus selama delapan bulan ke depan? Nanti kalau dia
terus nekad kayak Paklik Sarjimin
dulu itu, gimana hayo? Jambul dan Kuncir memprovokasi Simbok.
“Waduh,
betul juga kalian. Kalau kejadiannya
kayak si
Sarjimin memang akan sangat memalukan. Kenapa Sarjimin dulu
waktu nggantung di pohon
duwet lupa ngiket kolornya yang kombor itu ya? Hi..hi..hi, aku sempat ngelihat lho. Ternyata Sarjimin hingga
tuanya belum disunat,”
Simbok terkekeh.
“Simbok ngeres, ah. Jangan ngomong masalah malu karena
melorotnya kolor dong, Mbok! Tapi
kalau Kuncung sampai nekad, status Simbok meningkat bukan janda lagi, tapi menjadi sebatang kara tanpa keturunan,” tukas Kuncir.
“Tapi,
kalau Simbok mau ngangkat kami sebagai
anak nggantiin Si Kuncung, kami tidak
keberatan kok. Lumayan kan dapat warisan
sapi tiga, kambing lima, hi, hi,”
gurau Jambul.
Tanpa sepengetahuan mereka, ternyata si Kuncung
menguping pembicaraan.
“Brengsek
kalian! Kalian
tengah mengincar singgasanaku sebagai putera mahkota pewaris Sapi dan Kambing
Simbok. Awas nanti!” gerutu Kuncung, yang terlalu doyan nonton Ketoprak itu.
“Idih,
amit-amit punya anak seperti kalian. Meski si Kuncung giginya agak
tonggos dan suka ngentutan, dia nggak pemalas seperti kalian,” Simbok nyemash Jambul dan Kuncir.
Dari dalam kamar si Kuncung cuma
tersenyum kecut. Dia
besar kepala karena dipuji
Simbok, sekaligus merasa
ditelikung Simbok di depan kawan-kawannya.
Karena diprovokasi terus-menerus, Simbok
pun menyerah.
“Oke,oke,
besok aku suruh si Kuncung ke pasar hewan kecamatan untuk njual
satu Sapi.”
Simbok pun berlalu. Jambul dan Kuncir menghampiri Kuncung
dalam kamarnya. Gumuruhlah kamar tersebut dengan tawa ketiganya.
“Gimana,
Cung, terbuktikan kalau kami berdua bisa dijadikan kawan andalan?!”
“Iya,
tapi kalian sempat kurang ajar, ingin
menggantikan posisiku di rumah ini. Untung aku mendengarnya. Kalau nggak, lain waktu Kalian mungkin akan ngracuni aku biar bisa jadi anak Simbok, Kampret!”
“Idih,
dicandain sewot amat, nggak lah,
justru kami nggak ingin kamu lekas mati karena stres kayak Paklik Sarjimin tempo hari. Bukan apa-apa, siapa lagi nanti yang
akan membawakan besek kenduren bila
kami lagi absen kendurenan, ha,
ha.”
Tawa ketiga bocah dusun itu pun memecah
kesunyian siang itu.
Keesokan harinya Kuncung telah menuntun
seekor Sapinya menuju jalan dusun.
“Jangan
lupa, Cung, pulangnya mampir beli sirih dan kapur ya, ingat itu!” seru Simbok.
“Iya
Mbok, doakan semoga Sapi ini laku mahal.”
Singkat cerita, Sapi telah laku terjual.
Kuncung kelabakan karena seluruh kios HP yang ada di ibukota kecamatan itu tak
ada yang menjual Blackberry (BB).
Maklum, saat itu BB masih menjadi barang baru dan mahal. Dia pun bingung,
kemudian memutuskan pergi ke wartel yang tersisa. Sekeluar dari wartel, dia nyegat angkot
yang menuju arah kota. Ternyata di wartel
tadi dia menghubungi Henky, anak UGM yang dulu KKN di dusunnya.
Sampailah Kuncung di kos-kosan Henky, di bilangan Kodya Yogyakarta.
“Gimana kabar dusunmu setelah kami
tinggalkan, Cung? Apakah benih lele yang kami tebar ke blumbang dusun dulu itu sudah besar-besar?” Henky membuka
pertanyaan.
“Semua
baik, Mas. Cuma Lele-lele itu sudah ludes di apotas orang jahil, Mas. Ada yang nyabotase. Maklum mau pilihan lurah.
Sepertinya ada yang tidak ingin lurah lama terpilih lagi, jadi bikin kisruh disana.”
“Emang, Pak Lurah maju lagi to? Emang
bagus dia?”
“Nggak
juga sih, Mas. Cuma orang dusun seperti kami masih banyak yang menyukai tipenya
Pak Lurah lama. Orangnya kan sopan dan kalem kalau ngomong. Walau sebenarnya
program kerjanya nggak bagus-bagus amat. Listrik saja sekarang dinaikin sama
dia.”
“Bodoh
banget kamu, Cung, Cung,
yang naikin listrik itu mah orang PLN sama orang di Jakarta sonoh, bukan lurahmu itu.”
“Tapi,
kan, sama saja Mas.
Ujung-ujungnya, Pak Lurah kan anak buah ‘Orang Jakarta’ itu,” Kuncung
tak mau kalah.
“Sudah
tahu gitu, kaos gambar ‘Orang Jakarta’
itu masih juga kamu pakai kesini, malu-maluin.”
“Enak,
sih, Mas. Kaosnya adem karena tipis banget. Kayaknya kaos murahan ya, Mas?
Waktu musim kampanye dulu aku dapat tiga, lho. Mas Henky mau? Entar yang satu aku bawakan untuk Mas Henky.”
“Buat
ngepel kamar! Mendingan aku pakai kaos Liverpool ini Cung, lebih keren.”
Singkat cerita, Kuncung menyampaikan
maksudnya kepada Henky untuk memiliki BB.
sumber gambar: uniqpost.com |
Berboncengan
motor milik Henky, keduanya melaju ke Malioboro. Berkat kepiawaian Henky
bernegosiasi dengan pedagang HP di Malioboro, Kuncung akhirnya memiliki BB baru
lengkap dengan dosnya.
Sebagai balas budi, Henky ditraktir makan di sebuah warung “nasi kucing”. Sebagai anak kos, Henky tak menyia-nyiakan kesempatan. Empat bungkus “nasi kucing” disambarnya sekaligus. Tidak
ketinggalan dua gelas wedang jahe telah digelontorkan ke kerongkongannya.
“Nambah,
Mas, wedangnya?”
“Diamput! Kamu samakan aku dengan sapi gelonggongan, ya?!”
“Kan
kalau disembelih berat kiloannya, Mas.”
“Alah,
kebanyakan nonton berita kriminal Kamu.”
“Sering-sering
Kamu ke kos-kosanku, Cung! Terutama pas tanggal tua, he..he..he.”
“Iya,
Mas, nanti aku bawakan Kimpul sama Ganyong.”
“Semprul kowe! Dua bulan aku KKN di
dusunmu disuguh itu terus, habis itu aku opname di rumah sakit. Ususku pada
lengket,
tahu!”
Setelah makan kenyang dan geguyonan, Henky mengajak Kuncung ke
sebuah “Butik Baju Bekas Import”.
“Lho,
ngapain kita ke sini, Mas?”
“Beli
pakaian bagus bekasnya orang Taiwan. Duitmu kan masih sisa banyak, kan?
“Buat
apa Mas? kaosku ini masih bagus kok, kan baru tahun 2009 kemarin dapatnya.”
“Jangan
dipakai lagi! Malu-maluin. Entar setelah memakai baju baru, Kamu akan aku potret. Sekalian
nanti beli kaca mata hitam, biar keren.”
“Buat
apa di potret, Mas?! KTP-ku masih lama kok habisnya.”
“Siapa
mau bikin KTP, dodol! Kamu akan aku
bikinin paspor! mau tak kirim ke
Kuwait, jadi TKI disana, mau?”
“Enggak,
ah, di tv
banyak TKI babak belur dihajar majikannya. Sudah begitu nggak dibayar lagi, ya
kan Mas? Tahu begitu kenapa masih juga kita ngirim orang ke sana ya, Mas.”
“Mboh! Tanya saja sama ‘orang di kaosmu’
itu.”
“Emang
dia pernah jadi TKI disana, Mas?”
“Cung,
lama-lama kamu tak antemi,
lho, ngomongin ‘orang itu’ terus.
Mumet
aku, Cung!”
“Emang,
‘orang itu’ suka marahin Mas Henky, ya? Kok, Mas Henky mumet.”
“Gara-gara
dia, kos-kosanku naik. Ibu kos keberatan mbayar listriknya, tahu kamu! Sudahlah, jangan ngomongin ‘orang itu’ lagi, perutku
jadi mules setiap noleh ke kaosmu
itu. Masih banyak hal yang lebih penting daripada dia, ya, kan?”
Mereka pun pulang kembali ke kos-kosan Henky.
Kuncung tampak lebih ganteng dengan baju baru tapi bekas itu. Apalagi di atas
sakunya tertera huruf
China. Sedang kaos yang tadi dikenakan Kuncung dibuntal tas kresek hitam. Henky memerintahkan Kuncung memberikan kaos
dan kreseknya ke tukang becak yang mangkal
di Alun-alun Utara.
“Matur nuwun, ya, ‘Den,”
kata si bapak tukang becak.
“Sama-sama
pak. Semoga itu bisa ngrejekeni bapak,”
kata Henky, yang merasa plong kaos itu
tak ada didepannya lagi.
Sampailah mereka di kamar kos Henky. Tiga jam full, Henky memberi training
bagaimana cara mengoperasikan BB
itu. Maklum, ngajari Kuncung menggunakan BB sama dengan ngajari anak TK menghitung luas segitiga. Gampang namun menjadi
susah, karena pikiran nggak nyampai, alias lelet.
Tak lupa si Kuncung dipotret dengan BB itu.
“Buat
apa fotoku ini, Mas?”
“Buat
headshot di akunmu. Jangan lupa rubah
namamu dari Kuncung menjadi Charly, ingat itu!”
Sebulan kemudian, di rumah bapak kepala
dusun, tempat si Charly
alias Kuncung tinggal, nampak orang ramai berkumpul. Semua orang dusun hadir di
situ, termasuk Jambul dan Kuncir, sobat si
Kuncung. Mereka membicarakan hal ketidakmunculan Kuncung selama sebulanan. Ini
sudah menjadi keresahan bersama, karena Kuncung juga absen pada semua
kegiatan warga.
“Benar
Pak Kadus, jangankan untuk urusan kegiatan warga, terhadap kami pun si Charly alias
Kuncung sudah merasa nggak membutuhkan
lagi,” ujar Jambul dan Kuncir.
“Lho,
bukankah selama ini dia selalu memerlukan kalian bila menghadapi masalah? Kalian kan sobat karibnya,” ujar Pak
Kadus.
“Itu
dulu Pak Kadus. Sekarang sudah nggak lagi semenjak dia memiliki
banyak kawan baru. Katanya, kawan barunya itu sekitar 4.000 orang. Keren-keren
lagi. Sekarang Charly nggak mau bergaul dengan kami lagi. Sehari-harinya hanya di dalam kamar, toh
dengan begitu saja dia sudah bisa memiliki ribuan teman. Itu kata Simboknya,
lho, Pak,” tukas Jambul dan Kuncir kompak.
Link: http://www.radarsby.com/radarsurabaya%20pdf/6.pdf
Yogyakarta, Maret
2014, Seusai Melihat
Berita Kampanye
Catatan:
-
Kendurian:
Hajadan
- Besek: Kotak makanan dari bambu
-
Cengengas-cengenges:
Ketawa-tawa - “Nasi Kucing”:
Nasi bungkus sambal teri porsi kecil
-
‘Le: Dari Tole
(anak laki di Jawa) - Mboh:
Tak tahulah
-
Paklik:
Paman
- Ngeres : Jorok
-
Kombor:
Longgar -
Ketoprak: Sandiwara Bahasa Jawa