Oleh : Danang Probotanoyo
Cerpenku Termuat di
"Inilah Koran" (Bandung), Medio: Maret 2014
|
Mungkin Ibuku dulu nyidam cabe rawit: hijau dan
membakar. Bisa pula keseringan
makan
kacang koro, yang bila terkunyah oleh
geliginya bak roda stoomwals beradu dengan bebatuan di jalan pada proyek pengaspalan. Jangan
tanya prestasiku di kampus! Mendapat
nilai B apalagi A adalah anugrah
bagiku. Maklum, aku jarang
tepekur duduk di ruang kuliah mendengarkan dosen ceramah. Predikat “aktivis”, membuatku lebih sering berorasi daripada mendengarkan
dosen berteori. “Ah, semua dosen dan para pengamat di media hanya berwacana
saja, kapan mereka melakukan aksi
nyata untuk merubah keadaan?” gerutuku selalu. Digelandang aparat lalu diinterogasi dan intimidasi adalah ujian mentalku. Benjol di kepala
dan memar sukujur badan terkena
pentungan
polisi,
kuanggap latihan ketahanan fisik. Pedih
dimata akibat
hujan gas air mata aparat,
merupakan wujud empatiku, sebagai pengganti gelombang air mata
kepedihan hidup,
rakyat negeri ini. Jelas, aku
bukanlah mahasiswa ideal, karena tidak pernah kenal indeks prestasi yang fenomenal. Bagiku, kemampuan mengartikulasi
apa yang dimaui rakyat dalam tiap aksi demonstrasi merupakan nilai tersendiri.
Aku senang dan bangga menjadi
demonstran. Kelak, bila kampus tidak mengeluarkan surat DO, dan aku bisa lulus
walau dengan
nilai pas-pasan, aku ingin tetap
berjuang, mengabdi jadi
aktivis LSM. Mengapa tidak menjadi anggota parlemen sekalian? Kan, mereka juga
memperjuangkan aspirasi rakyat, dibayar mahal pula. Begitulah seloroh teman-teman kepadaku. Parlemen? Adakah orang parlemen di negeri ini yang
sarat dengan idealisme untuk memperjuangkan rakyat? Parlemen terlalu pragmatis!
Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Itulah salah satu
kekukuhanku. Terkadang memunculkan salut dan simpati, namun tak sedikit yang
mengejek dan anti. Terserah orang mau bilang apa, yang penting aku tidak
sendiri. Aku bersama rakyat! Aku adalah penyambung lidah rakyat sebagaimana
Bung Karno!
Tibalah
saatnya kala teman-teman melihat dan mengatakan “aku berubah.” Apanya yang berubah? Aku masih menyimpan
bara! Ya, tapi bara
yang sudah ditinggalkan Sang Bayu, hanya berkedipan dan sungkan menyemburkan jilatan
api kemarahan lagi, sanggah mereka. Terkadang omongan mereka hal diriku ada sedikit benarnya. Aku bak megaphone
yang sudah lowbat, tidak sekencang
dulu ketika
berteriak: Turunkan BBM! Gantung Koruptor! Hidup rakyat! Hidup mahasiswa!
Lawan! dan seabreg kalimat-kalimat heroik
lainnya,
khas aktivis.
Sekarang,
keberpihakanku yang teramat dalam justru kutujukan ke Erna, mahasiswi Fakultas Psikologi. Awalnya, aku turut membela dan bersimpati
terhadap unjuk rasa yang dilakukan rekan-rekan mahasiswa Fakultas Psikologi. Mereka
menolak biaya ekstra di fakultas itu. Demonstrasi di siang yang menyengat itu, membuatku mencari penawar dahaga. Itulah
awal perjumpaanku dengan Erna di kantin fakultasnya. Aku mengenal Erna tanpa
sengaja. Kalau cuma teman mahasiswi yang cantik, sudah banyak kumiliki. Namun,
Erna lain dimataku. Dia spesial banget! Klise memang, kalau aku mengumbar puja-puji.
Berkat Erna,
aku mulai sedikit berubah. Dari mulai seringnya aku hadir di
ruang kuliah, hingga absenku pada beberapa aksi unjuk rasa di boulevard kampus. Rekan-rekan aktivis mulai jengah. Kusampaikan ke mereka bahwa aku
sedang mengejar ketertinggalan akademis. Lucu juga, padahal semua tahu, dulunya aku tak
peduli perkuliahan. Yang penting IP tidak kurang dari dua
koma nol, cukuplah. Sekarang aku berubah, aku sangat peduli kuliah. Semua
karena Erna. Teman-teman yang tak suka berpolitik sangat mendukungku kembali ke ruang kuliah. Hal yang
bertolak belakang kudapat dari teman-teman
aktivis. Beberapa diantara mereka dengan kejam memberi stempel “aktivis insyaf” kepadaku. Ini
ironis, ada teman yang
mendekat sekaligus ada yang menjauhiku. Aku tak peduli, yang
penting kepedulianku terhadap
Erna tidak berkurang,
bahkan bertumbuh dari waktu ke waktu. Cintaku sedang berkecambah, perlu kusiram dan kupupuk terus. Kepada
beberapa rekan aktivis yang masih menyambangiku, aku hanya bisa membesarkan hati mereka.
setidaknya aku mendukung kalian
secara moral.”
“Tapi, bagaimana dengan ucapanmu
dulu? Kamu sering berujar: jika melihat
kesewenangan mesti kita lawan dengan
tangan, jika tak bisa dengan tangan dengan
mulut, jika tak bisa dengan mulut
dengan hati, namun bukankah itu selemah-lemah
perlawanan,” sindir kawan-kawanku.
“Ada saatnya kita bicara dan ada
saatnya kita diam, ada saatnya kita konfrontasi ada
saatnya kita negosiasi dan
kompromi,” aku membela diri.
“Mana ada idealisme perjuangan dinegosiasikan
apalagi dikompromikan!” sergah
mereka.
Aku terdiam dan terpojok.
Kehadiran Erna dalam diriku berbarengan
dengan masalah keluarga yang tengah kuhadapi.
Sebagai mahasiswa perantauan, aku sepenuhnya tergantung kiriman dana orang tua. Aku bukan anak orang
kaya. Bapakku hanya pengawas di satu
perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Ibuku tidak bekerja, adikku pun berjumlah
tiga.
“Bud, sebaiknya kamu kuliah di Jawa!
Bagaimanapun,
kualitas
pendidikan disana
lebih bagus. Apapun kami lakukan agar kelak kamu menjadi orang sukses
dan bisa
membantu adik-adikmu,” begitu pesan
kedua orang tuaku.
Semua
berjalan lancar-lancar saja, kecuali kuliahku yang terbengkalai karena aku
menjadi aktivis. Sampai suatu
ketika, datanglah kabar buruk dari Sumatera: bapak di PHK! Dunia serasa gelap. Kelanjutan studiku terancam. Di saat kritis itulah muncul Erna mengisi hari-hariku. Studiku
yang semula akan kandas di tengah jalan,
bisa berjalan normal lagi. Bukan karena aku memanfaatkan kesempatan dengan
hadirnya Erna,
namun semua itu semata-mata kebaikan Om
Bambang, papanya
Erna. Menjadi pejabat
di satu instansi negeri, Om Bambang secara status dan ekonomi bisa diandalkan.
Apalagi anaknya cuma satu, ya, Erna itu. Aku tidak meminta, Om Bambanglah yang bersimpati
kepada nasibku. Mungkin karena melihat kesungguhanku terhadap Erna. Atau barangkali Erna-lah yang merengek
ke papanya karena tak mau kehilangan aku.
Entahlah, yang jelas segala biaya hidup dan kuliahku, Om Bambang yang
menanggungnya sekarang ini.
Dilematik bagiku: tetap menjadi orang kritis namun mesti pulang
ke Sumatera sebagai orang gagal;
atau tetap ingin mewujudkan cita-cita
kedua orangtuaku, menjadi orang sukses dan
kelak bisa membantu keluarga.
“Bud, alangkah baiknya bila kamu sekarang lebih konsentrasi
kepada kuliah saja. Aku
dulu juga pernah kuliah
dan tahu persis nasib teman-temanku yang
menghabiskan waktu
studinya sia-sia.
Mereka memang gigih memperjuangkan nasib rakyat dan terlalu banyak
mikirin negara. Namun mereka justru melupakan
nasibnya sendiri. Banyak diantara
mereka yang di DO oleh
kampusnya. Atau kalaupun lulus dengan
prestasi yang sangat
pas-pasan dan susah
untuk mendapat pekerjaan.” Itulah persuasi yang terus didengungkan
Aku terjepit dan tersudut. Bayangan keinginan
kuat untuk membantu keluargaku kelak, bersinergi dengan kebaikan Erna dan papanya, meruntuhkan apa yang aku yakini selama
ini. Pelan namun pasti, pengaruh Om Bambang semakin mendalam. Aku sudah
kehilangan jati diri. Om Bambang menumpukiku dengan budinya. Subsidi untuk kuliahku mengalami peningkatan. Banyak fasilitas kudapatkan dari Om
Bambang. Sebuah Blackberry, laptop dengan
spec aduhai serta sebuah motor matic diberikannya untukku. Aku tak ingin mengecewakan Om Bambang dan Erna. Kedua orang
tuaku semula tak setuju dengan semua itu.
“Om Bambang tulus menolongku. Beliau tak
banyak menuntut. Aku hanya
disuruh
bersungguh-sungguh dalam studi. Bila kutampik, studiku bakal hancur dan aku
pulang kampung.
Lagian, aku tidak ingin kehilangan Erna.” kataku kepada Bapak-Ibu. Mereka akhirnya pasrah saja. Hari-hari
berlalu seperti biasa. Kuliah dan kebersamaan dengan Erna menjadi rutinitas
baruku. Dari seorang “Soe
Hok Gie”
pelan-pelan menjadi “Romi
dan Juli,” itulah ledekan yang kuterima.
Sampai pada suatu ketika aku mulai
menyadari ada yang tidak wajar. Perlahan tapi pasti segala, aset Om Bambang meningkat pesat. Tanah
ada dimana-mana, begitupun rumah. Di garasi rumahnya berjejalan tiga mobil
mewah. Pun, Tante Bambang sekarang ini punya hobby shooping ke Singapura setiap bulan. Motor matic pemberian Om
Bambang telah mangkrak
pula. Sekarang
kemana-mana aku dan Erna mengendarai Honda City terkini. Aku mulai curiga, jangan-jangan
Om Bambang…, ah, aku
tak sampai hati berpikiran jelek kepada mereka. Positive thinking,
itulah kata-kata yang sering kudengar dari mulut Erna. Dia kan calon psikolog.
Pagi itu, ketika aku masih enak-enakan
tidur, mendadak Agung teman satu kostku mengetuk pintu kamarku cukup keras.
“Bud, buka pintu! Bud, cepat! ada sesuatu yang penting.”
“Ada apa? Aku masih ngantuk, semalaman habis ngerjain paper, nih.”
“Cepat buka pintu! Ini menyangkut kamu
dan Erna.”
Akupun bergegas keluar kamar dengan
masih menahan kantuk.
“Yang bener?! ini menyangkut aku dan
Erna?”
“Nih, baca sendiri!”
Agung menyodorkan sebuah koran lokal
kepadaku.
“Bukankah Drs. Bambang Mulyono, M.M,
Kepala Dinas Pendapatan Daerah, itu Om
Bambang bokapnya Erna?” kata Agung.
“Benar Gung, itu Om Bambang.”
Akupun membaca koran yang disodorkan
Agung. Jeder! bak disambar petir, akupun lunglai. “Drs. Bambang Mulyono, M.M, Kepala Dinas
Pendapatan Daerah, semalam ditahan Kejaksaan Negeri. Tersangka ditahan karena
diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi dana APBD senilai lima puluh milyar
rupiah.” Begitulah isi
sebagian berita. Dengan gugup kuhubungi
Erna yang sudah tiga hari ini menemani mamanya ke Jakarta untuk sebuah
keperluan.
“Benar, semalam papa
sudah ngasih kabar ke kami, bahwa beliau dijemput pihak
Kejaksaan untuk ditahan. Sebelumnya Mama dan aku memang sudah diberitahu
papa
kemungkinan
tersebut. Seminggu yang lalu surat ijin pemeriksaan dari bupati sudah
turun,” kata Erna sesengukan diseberang telpon.
“Mengapa kamu menyembunyikan itu
semua dariku?”
“Sungguh, Bud, aku malu terhadap semua, terutama Kamu. Aku nggak tahu mesti
berbuat apa. Lalu Mama mengajakku
untuk sementara waktu meminta pertimbangan Opa
di Jakarta.”
Langit serasa mau runtuh. Aku seolah sedang menuju
lorong yang gelap yang tak ada terang di ujungnya. Aku harus menerima
ini sebagai kenyataan. Aku tidak boleh meninggalkan Erna, tidak akan.
Pagi itu, sebulan setelah Om Bambang di
tahan, kucegat
angkot di jalan depan kos-kosan. Sudah sebulanan ini aku menanggalkan dan
mengembalikan semua barang-barang pemberian Erna dan keluarganya. Aku malu
menerima dan memakai semuanya,
yang ternyata dari hasil korupsi. Sampailah angkot di depan Gedung Pengadilan
Negeri. Hari itu aku mendampingi Erna untuk menghadiri sidang perdana Om
Bambang. Dibanding keluarga besar Om Bambang yang ada disitu, sebenarnya akulah
yang paling hancur. Aku merasa sebagai orang
paling nista dibanding sang terdakwa sendiri. Dari jendela luar ruang sidang,
rekan-rekan aktivisku dulu,
menyoraki dan mengacung-acungkan spanduk : Ganyang Koruptor! Namun yang lebih
mengenaskan, mereka juga menyoraki aku sebagai pengkhianat rakyat! Mereka
anggap aku antek koruptor yang ikut menikmati
duit haram hasil merampok uang rakyat. Kakiku serasa tak menjejak tanah, jiwaku
seolah telah pergi meninggalkan ragaku di kursi pengunjung ruang sidang itu.
Aku serasa telah mati.