RUMAH BOLA
Oleh : Danang Probotanoyo
Menyandang nama besar, kebarat-baratan dan
kedengaran bagus seperti yang kumiliki, dahulu tidak membuatku bangga sama
sekali, apalagi besar kepala. Justru perasaan malu sering menderaku ketika dihujani
ledekan dari kawan sepermainan di kampung maupun di sekolah. Namaku kedengaran
aneh untuk ukuran kampung dan sekolahku saat itu. Namaku demikian mencorong di
tengah nama-nama: Rebo, Selamet, Sugeng, Sutar, Wagimin, Ponijan, Ngatijo dan
nama-nama kampung lainnya yang beredar di kampung dan sekolahanku saat itu.
Cerpen saya, termuat di Radar Surabaya; Medio: Januari 2014 |
Namun,
gara-gara bola juga, sewaktu kecil rumahku tak pernah sepi dari pertengkaran
kedua orang tuaku. Mirip
duel abadi “ El Clasico” antara Barcelona vs Real Madrid.
“Pokoknya aku ingin besok si Maradona jadi pemain sepak bola profesional! Biar seperti
Maradona yang asli itu,” ujar bapakku.
“Bapak jangan memaksakan ego! Mana ada
pemain bola di sini yang bisa hidup layak?
Yang kaya, mah, pemain bola di luar negeri sono,”
ibu tak mau kalah.
“Aku berharap dia jadi tentara seperti kakeknya. Lagian, selain
bisa untuk kebanggaan
dan melindungi keluarga, jadi tentara
banyak enaknya. Lihat itu bupati, gubernur,
anggota DPRD, direktur BUMN hingga
presiden adalah tentara atau setidaknya mantan
tentara,” Ibu mencoba berargumen.
Meski ibuku
hanya tukang jahit rumahan, tapi beliau cukup berpengetahuan. Kuliahnya
terputus gara-gara diajak kawin oleh kawan aktivis kampusnya. Ya, Bapakku itu.
Bapak dulunya mahasiswa perantauan yang kuliah di Pendidikan Ilmu Sosial. Keduanya
tak tamat kuliahnya. Kawin muda selagi berstatus mahasiswa menyebabkan
Opa—ayahnya bapakku—menilai bapak tak bisa dijadikan harapan dan panutan bagi
adik-adiknya. Opa terpukul. Bapak diultimatum: berani menikah harus berani
bertanggung jawab sendiri!
Melalui jalan yang berliku, bapak bisa memiliki kios kecil
di pasar kecamatan. Usahanya tak maju-maju karena kegilaannya pada bola. Di saat
pedagang lain menggunakan waktunya untuk urusan yang terkait kegiatan berdagang, bapak justru sedang asyik bersorak-sorak di tribun stadion. Dasar Bonek! Itu belum seberapa,
segala laba dagang dari kios
yang seharusnya bisa untuk mengembangkan usaha, justru dibuang-buang untuk
membeli tiket-tiket pertandingan. Pun tak terhitung pembelian tiket kereta api,
bis bahkan kapal, untuk mengejar satu turnamen yang menarik dan penting. Semua
aktribut sepak bola sangat menyesaki rumah sempit kami. Poster pemain dan tim sepak bola lebih banyak tertempel
di dinding dibanding foto keluarga. Bahkan nyaris semua pakaian yang dikenakannya adalah
kaos tim sepak bola dan nama pemain bola terkenal. Waktu aku kecil hampir semua kaos yang aku kenakan juga kaos bola, sama punya bapak, cuma berbeda
ukuran, maklum dia yang membelikan. Barang
satu-dua, ibuku
juga dibelikan, tapi tidak pernah mau pakai. Mosok perempuan disuruh pakai ginian,
kata ibu satu kali. Ibumu lebih memilih daster kumal sebagai kostum
kesebelasannya, canda bapak kepadaku.
Akibat tabiat
yang sangat berlebihan dalam mengumbar hobinya tersebut, lambat laun usahanya
mundur dan akhirnya bangkrut. Belum cukup, hutang kami pun menumpuk gara-gara kegilaannya
pada bola. Bapak tetap bergeming. Bola atau mati! Mungkin itu moto hidupnya. Dasar Bonek! Dari
situlah prahara mulai menimpa keluarga kami. Apes, rumah tempat kami berteduh akhirnya mesti dilepas
kepada Pak Ribut, kawan bapak sesama pedagang di pasar. Menurut cerita, hutang bapak kepada Pak Ribut sudah mencapai
puluhan juta rupiah. Kami terpaksa pindah dan mengontrak sebuah rumah petak kecil di satu gang kumuh. Ibu
masih menerima jahitan. Bapak bermodalkan etalase tanggung dagang aneka
kebutuhan seperti: gula, rokok, sabun, odol dan sejenisnya. Kami secara ekonomi
makin sempit, namun itu tidak membuat
kegilaan bapak pada bola mengendur.
Sampai pada
suatu hari, ketika aku sudah berangkat ke sekolah, bapak dan ibu bertengkar
hebat. El Clasico! Padahal, dini harinya bapak baru saja tiba dari Jakarta,
nonton pertandingan Persija lawan PSMS Medan di Stadion Utama Senayan, Jakarta.
Rupanya selagi bapak tidur karena kelelahan dari perjalanan jauh, ibu mencopoti
semua poster sepak bola dari seluruh dinding rumah. Tak ketinggalan semua
slayer dan bandana yang berbau sepak bola diambil semua oleh ibu dari lemari penyimpanannya.
“Jangan, Bu! Nanti bapak marah besar bila
ibu senekat itu,” aku berusaha mencegah Ibu.
“Kamu kan tahu sendiri, bapakmu lebih
mencintai bola daripada kita! Bertahun-tahun
kita
hidup susah karena kegilaannya pada bola. Harta
kita ludes juga dimakan bola sialan itu!”
Ibu meradang.
“Tapi, aku takut bapak nanti murka, Bu!” ratapku
penuh was-was.
“Aku yang bertanggung jawab! Kegilaan ini
harus diakhiri sampai disini. Lihat!
etalase dagangan hampir kosong melompong dimakan
bola! Lama-lama mesin jahitku pun
akan dimakannya! Bola membuat kita hancur!
Bola membuat kita menjadi kere! Tahu
kamu!” Ibu membentak.
Sejurus
kemudian segala aktribut bola milik bapak dionggokkan ibu di halaman depan kontrakan. Ibu pergi ke dapur dan
mengambil jerigen minyak tanah. Wuzz, dalam sekejap semua aktribut bola
kebanggaan bapak dilahap api yang disulut ibu. Karena takut sesuatu bakal terjadi, aku pun langsung pergi ke
sekolah tanpa sempat pamit. Saat itu aku masih duduk di kelas dua SMP. Sudah
cukup mengerti dan memahami semua yang menimpa keluargaku. Tepat dugaanku, bersamaan
ludesnya semua aktribut bola bapak karena dilahap api yang disulut ibu, menyeret mereka dalam api pertengkaran yang
sangat hebat. El Clasico! Kalau bertengkar masalah bola, aku sudah kenyang menyaksikan itu. Tapi, ini lain.
Pertengkaran terakhir itu berujung tak bertegur sapanya kedua orang tuaku.
Bapak merasa harga diri dan martabatnya sebagai kepala keluarga sudah
dilecehkan ibu. Demikian ibu menunjuk
hidung bapak sebagai biang keladi terpuruknya kami. Ini bukan El
Clasico biasa!
Setelah tiga
bulan “perang dingin”, ibu membawaku pindah ke rumah kakek – bapaknya ibu—di
Magelang, tiga puluh kilometer utara
Yogyakarta.
Bagaimana
dengan Bapak? Football, Now and Forever!
begitu kira-kira semboyannya. Hidup
menyendiri di rumah kontrakan tidak membuatnya surut dalam menggauli bola.
Padahal semua petaka keluargaku, jujur saja semua gara-gara bola. Hidup
menyendiri bukannya dipakai bapak untuk merenung dan introspeksi atas semua
yang telah terjadi. Hidup menyendiri justru kesempatan! Kesempatan lebih
leluasa mengumbar kegilaannya pada bola. Bapak merasa bebas merdeka karena di
rumah tidak ada oposan lagi, ya, ibuku. Sedang Ibu masih berkutat dengan usaha
jahitan kecil-kecilannya di rumah kakek. Cukup untuk kami berdua. Lagian kami
sering dibantu kakek dari pensiunannya sebagai tentara. Terkadang naluri
sebagai anak muncul dalam diriku. Sesekali aku menengok bapak ke Yogya.
Bapak senang setiap ketemu aku. Tapi, tetap seperti dulu, omongannya selalu tidak bisa lepas dari bola! Kulihat etalase bapak
mulai penuh lagi. Artinya ada sedikit kemajuan. Mungkin sekarang bapak lebih
giat berusaha, pikirku dalam hati.
“Dagangan itu juga hasil dari bola, kok, Le,” kata bapak sambil nunjuk etalasenya.
Hah?! bola
lagi, bola lagi, gumamku dalam hati.
“Sebulan lalu aku menang besar dalam
taruhan. Ketika itu aku pegang Persib, yang
akhirnya menang dua kosong atas PSIM,”
imbuh bapak enteng.
Meski jelek begitu,
bapak masih menunjukkan rasa tanggung jawabnya kepada keluarga walau dalam ukuran yang minim. Setiap aku mau
pulang sehabis
menjenguk beliau, tak lupa bapak titip uang untuk kuberikan
ke ibu.
Lionel Messi |
“Salam buat ibumu dan kakek. Jangan lupa
uang ini kamu berikan ke ibumu! Dan, yang
paling penting untuk kamu sampaikan kepada
ibumu, katakan bahwa uang ini dari bola
juga,” pesan bapak kalem.
Lama-lama aku
bisa gila sendiri karena telingaku terlalu sering “kemasukan” bola, tanpa aku
bisa “meniup peluit” untuk sekedar “turun minum” atau “pergantian pemain”.
Dalam perjalanan pulang ke Magelang, seringkali aku tersenyum bahkan ingin
tertawa sendiri di atas bis bila teringat kelakuan bapak. Sepertinya dia memang
bukan manusia lumrah! Tapi Alien yang
berasal dari planet antah berantah, bernama Planet Bola!
Dan, pada
suatu sore, sepulang aku dari les tambahan di sekolah, berita yang tak pernah
diharapkan seorang pun sampai juga kepada kami. Bapak meninggal! Yang lebih
menyayat hatiku, bapak meninggal karena bola! Lebih tepatnya beliau wafat
sewaktu menonton bola. Beliau
meninggal tak wajar dalam suatu kerusuhan penonton sepak bola di Kota Makassar.
Polisi hingga kini tak pernah bisa membawa kabar perihal siapa yang telah
menyebabkan bapak mati. Maklum, dalam kerusuhan seperti itu pelaku maupun
korbannya bisa siapa saja. Sangat sulit menentukan siapa pelempar batu segede
genggaman tangan yang mendarat telak di kepala bapak hingga terjadi pendarahan
otak.
Maradona |
Tiga tahun sepeninggal bapak, ibu menyusul bapak
menghadap Yang Maha Kuasa. Ibu ternyata mengidap kanker leher rahim stadium
lanjut. Itu baru kami ketahui setelah ibu masuk rumah sakit seminggu sebelum
meninggalnya. Ibu tak pernah merasakannya selama ini. Mungkin dikarenakan beban
pikiran telah membuatnya tidak merasakan gejala datangnya kanker itu. Jika
dipikir-pikir, beban pikiran ibu juga tak lepas karena mendapat “bola operan” dari bapak. Menjadi yatim piatu, aku dalam
pengasuhan kakek. Aku beruntung masih memiliki kakek yang mampu membimbingku
hingga menjadi “orang” dan berkeluarga. Entah karena sudah takdir atau alam
bawah sadarku ingin menyatukan dua keinginan orang tuaku yang berbeda, aku
sendiri tidak tahu. Yang jelas, aku merupakan lulusan Fakultas Pendidikan
Keolahragaan dengan predikat Cum Laude
dan sudah mengantongi brevet untuk
menjadi pelatih sepak bola! Gelar sarjana menjadi bekalku mendaftar sebagai
anggota TNI melalui jalur perwira karier. Karena aku lulusan termuda dan Cum Laude, aku pun diterima dan ditempatkan sebagai staf pengajar
di Akademi Militer, Magelang, dengan pangkat Letnan Dua.
Dua hal yang
paling aku syukuri dalam hidup: pertama, aku bersyukur walaupun kedua orang tuaku
terlibat dalam suatu konflik rumah tangga yang kronis, namun mereka tidak
pernah benar-benar berpisah
dalam bentuk perceraian. Kedua, atas kehendak Tuhan, aku bisa menyatukan dua
keinginan dari bapak dan ibu, menjadi
tentara dan akrab dengan sepak bola. Bahkan, aku mampu melampaui kedua keinginan tersebut. Aku bukan
sekedar tentara biasa, tapi aku perwira. Aku juga bukan sekedar pemain bola, tapi aku adalah pelatih
sepak bola sekaligus dosen olahraga bagi
Taruna di Akademi Militer.
Hikmah dari
sejarah hidupku itu membuatku tak ingin
memaksa anakku harus menyukai apa dan menjadi apa nantinya. Biar dia
tumbuh dan berkembang sesuai kemampuan dan bakatnya sendiri.
“Ayo Messi lekas
mandi! Jam pertandingan antara PSIM lawan Persija tinggal
satu jam
lagi. Kita mesti
cepat ke Mandala Krida, sebelum ibumu
pulang arisan dan melarangku
membawamu nonton bola” kataku sambil
menuntun Lionel Messi, anakku yang masih
berumur satu
setengah tahun ke kamar mandi.
Dasar Bola!
Yogyakarta, Januari
2014, Jelang Laga La Liga
Catatan :
Bonek (suporter fanatik Persebaya, Surabaya) : Banda nekat (Jawa = Bekal nyali besar)
Le : dari
’Tole’ (sebutan untuk anak lelaki di Jawa)