Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 16 Desember 2012

Indonesia dalam Perspektif Wayang "Bengal"

Resensi Saya di Seputar Indonesia (Koran Sindo), Desember 2012

Judul Buku : LUPA ENDONESA                                         
Penulis        : Sujiwo Tejo
Penerbit       : Bentang (PT Bentang Pustaka)
Cetakan       : September 2012
Tebal           : xiii + 218
ISBN           : 978-602-8811-87-3

    “Tulisannya  memang ‘kurang ajar’”, kata Dahlan Iskan dalam pengantar buku ini (viii). Bagi yang kenal atau sekadar tahu saja, siapa dan bagaimana Sujiwo Tejo, tentu sepakat dengan Dahlan Iskan.  Julukan  “Dalang Edan” atau “Dalang Mbeling” sudah lama disematkan orang kepada Sujiwo Tejo. Dalang asal Jember lulusan ITB ini pantas mendapatkannya, sebab dalam setiap pementasan wayang kulitnya, Sujiwo  jarang  mengandalkan cerita pakem yang selama ini dipegang teguh para dalang kesohor dan sepuh dari tanah Jawa. Sering cerita dibuatnya sendiri,  bersumber  dari situasi dan kondisi sosial, politik dan berbagai fenomena yang sedang hangat dibicarakan. Kalau, toh, memainkan  cerita atau lakon wayang yang pakem, Sujiwo dengan nakalnya membelokkan alur cerita secara liar ke berbagai arah. Dialog para wayang  kerap diisi humor satir bahkan sarkastik yang bisa mengenai siapa saja, baik  politisi, aparat hukum hingga ke penguasa negeri. Kritis dan humoris, itulah  dua kata yang akan dilontarkan orang ketika  menyaksikan pertujukan wayang dan membaca tulisan-tulisan Sujiwo.
Kemampuannya mengurai dan mengkritisi segala persoalan pelik dengan bungkus humor yang lumayan cerdas, layak mendapat acungan jempol. Di tangan dan mulutnya, segala persoalan ditelanjangi habis-habisan, tanpa perlu merasa bersalah ke berbagai pihak yang “terhantam”  kritik dan humornya. Memang itulah cara Sujiwo Tejo. Dengan humornya, masyarakat diajari agar tak mudah meluapkan amarah apalagi anarki yang lepas kendali  dalam merespon setiap fenomena yang mengusik rasa keadilan. Hasil penelitian Baron (1978), menyimpulkan bahwa humor dapat menurunkan agresifitas orang yang sedang marah. Bahkan Further et al. (dalam Guilmette, 2008) mengatakan , “humor mengandung muatan positif yang dapat menurunkan perasaan tegang (tension) dan mengurangi perasaan cemas (anxiety), sehingga membantu orang dalam masa penyembuhan. Jadi, jangan sepelekan humor!
Sumber gambar: writeisthenewwrong.blogspot

     Dalam jagat pewayangan, pakeliran Sujiwo dikenal sebagai pentas cerita carangan atau malah cerita sempalan. Buku terbaru Sujiwo Tejo (release beberapa hari lalu),  berjudul: LUPA ENDONESA; hakikatnya  tak beda dengan pentas wayangnya di atas panggung. Kali ini pentas tidak di panggung pakeliran, namun dituangkan dalam bentuk literasi atau tulisan. Buku LUPA ENDONESA, merupakan kumpulan tulisannya yang terbit setiap hari Minggu di harian Jawa Pos. Publik lebih mengenal sebagai “Wayang Durangpo” ketika masih di Jawa Pos. “Durangpo” sebuah akronim rekaan Sujiwo dari kepanjangan “Nglindur Bareng Ponokawan”. Nglindur (bahasa Jawa) artinya mengigau, jadi “Durangpo” bisa diartikan mengigau bersama Ponokawan. Mengigau artinya berbicara dalam tidur. Orang mengigau yang diomongkan memang sekena-kenanya, tanpa aturan dan batasan. Jadi “Wayang Durangpo” dimaksudkan untuk membicarakan  apapun (fenomena yang lagi hangat) dalam gaya humor dan candaan khas para Ponokawan (para abdi kesatria atau raja di pewayangan).
      Melalui para Ponokawan, terdiri dari : Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Mbilung, Cangik dan Limbuk, Sujiwo membedah berbagai permasalahan kontemporer dalam alur cerita wayang carangan dan sempalan. Buku LUPA ENDONESA ini terbagi atas 6 tema besar: Cinta Tanah Air, Dasar Manusia, Lupa-Lupa Ingat, Fulus, Oh, Fulus, Kecanduan Berharap dan Negeri Mimpi, tak hanya menawarkan humor khas Ponokawan, namun di sana-sini  bisa dijumpai  berbagai kerlip butir-butir mutiara kearifan yang bersumber dari nilai filsafati bahkan agama. Contohnya dalam personifikasi tokoh Hanoman. Meskipun (Hanoman) berwujud monyet, namun hatinya manusia. Jadi, “kemanusiaan” seseorang tak tergantung wujudnya, namun tergantung esensi. Sesuatu yang tak berwujud manusia bisa saja disebut manusia karena punya esensi “kemanusiaan” seperti Hanoman itu (hal 45).
       Dibalik kebengalan celoteh Sujiwo dalam mendalang, Dia tak  risih  sesekali menyelipkan pesan moral dan nilai-nilai keagamaan. Dalam dialog antara Dewi Sariwati dengan Gareng (suaminya), sang Dewi bertutur, “ Ibadah sembahyang tidak untuk dipamer-pamerkan, yang penting niatnya”. Bahkan, dalil agama “mendirikan Shalat” dimaknai secara kontekstual oleh Gareng dengan tuturannya, “ Kalau semua warga sembahyang dengan benar, niscaya tak ada orang susah di negeri ini, karena semua suka membantu sesamanya” (hal 4). Sebuah pemaknaan kontekstual “mendirikan Shalat”,  yang tak terhenti  pada laku ibadahnya  tapi ke laku sosial atau kesalehan sosial.
     Situasi politik negeri ini pun tak luput dari bidikan celoteh satir Ponokawannya Sujiwo. Wacana penaikkan harga BBM, yang  mencuat beberapa waktu lalu, dengan cerdas dianalogikan bermuka duanya para politisi senayan (satu muka ke rakyat dengan menolak wacana penaikkan harga BBM, satu muka lainnya diarahkan untuk menjilat penguasa dengan menyokong ide penaikkan harga BBM) disamakan dengan muka banyak yang dimiliki Batara Guru akibat ingin melihat kemolekan Dewi Wilutama yang selalu beringsut posisinya (hal 156).
      Kekonyolan banyolan Sujiwo dalam buku ini ditampakkan antara lain hal kelupaan Gatotkaca mendaftarkan ke MURI  atas kemampuannya  menghancurkan gunung, berkat ajian Brajamusti dan Brajalamatan yang dimilikinya (hal 30).
      Terlepas dari kekurangan yang ada, seperti pemberian judul setiap cerita dalam bukunya yang terkesan “dipaksakan”,  Sujiwo telah berusaha memperkenalkan wayang beserta ceritanya kepada khalayak luas lewat buku ini.  Meski judul bukunya LUPA ENDONESA (Indonesia), hakikatnya Sujiwo justru mengajak bangsa Indonesia untuk tidak melupakan segala persoalan yang ada, melainkan harus menghadapi dan menyelesaikannya.  Pun Sujiwo mengingatkan bahwa kita memiliki  wayang sebagai warisan adiluhung nenek moyang yang mesti dilestarikan. Bahkan  Unesco sejak 2003 telah mengakui wayang sebagai  warisan mahakarya dunia tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity), dan memasukkan wayang  dalam Daftar Representatif  Budaya Tak Benda Warisan Manusia.  Jadi, dengan membaca Buku LUPA ENDONESA ini, justru akan membuat kita tidak apatis dan melupakan segala permasalahan bangsa. Tak lupa sembari mengingatkan bahwa kita memiliki  Wayang yang begitu dahsyat.
 
Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM, Penulis Opini, Esai, Cerpen dan Timbangan Buku

Masyarakat "Sakit" Jaman Modern


Judul Buku : Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme   
                      Jean Baudrillard
Resensi Saya Termuat di LAMPUNG POST, Desember 2012
Penerbit      : JALASUTRA
Penulis        : Medhy Aginta Hidayat                             
Terbit         : I, Juni 2012
Tebal          : xii+176 halaman
ISBN          : 978-602-8252-77-5
Harga         : Rp 38.000
     
      Bisakah membayangkan seandainya hari ini tidak ada tv, telepon, HP,  faximile, internet, e-mail, mesin fotocopy, pesawat terbang atau obat vaksin anti virus? Tentu hidup terasa menjadi sulit, beresiko dan  lamban. Beda bila pertanyaan tadi terlontar ratusan tahun silam. Di jaman modern ini, berbagai kemudahan didapatkan manusia untuk  melakukan pelbagai aktivitas hidup berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Waktu dan jarak relatif tak menjadi kendala bagi manusia untuk melakukan transaksi atau menjalin relasi. Manusia benar-benar termanjakan oleh modernisme.
     Namun, modernisme sebagai paradigma peradaban modern tak sepenuhnya menjamin kebahagiaan hidup manusia. Di banyak hal, paradigma modernisme justru dianggap gagal membuat pencerahan dalam kehidupan manusia. Lebih jauh lagi,  modernisme dipandang sebagai penyebab munculnya berbagai anomali bahkan penyakit sosial masyarakat modern atau patologi modernitas. Sebagai antithesis modernisme muncul kerangka berpikir baru yang disebut postmodernisme. Yakni wacana kesadaran yang mencoba menggugat kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme. Postmodernisme menghadirkan  kegairahan utuk memperluas cakrawala estetika, tanda dan kode seni  modern. Wacana kebudayaan ini  menyertai kejayaan kapitalisme, kemajuan teknologi  informasi yang menggiring lahirnya budaya konsumerisme, realitas semu, dunia hiperrealitas dan simulasi disertai dengan tumbangnya nilai guna dan nilai tular oleh nilai tanda dan nilai simbol.
gambar Walt Disney

     Kajian mengenai postmodernisme muncul sebagai bentuk gugatan terhadap kegagalan wacana modernisme sebagai pencerahan hidup manusia. Pauline M. Rosenau (1992) setidaknya mencatat lima alasan penting munculnya gugatan postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme dipandang telah gagal menciptakan perbaikan menuju masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana diharapkan. Kedua, Ilmu pengetahuan modern tidak bisa lepas dari tindakan penyalahgunaan untuk kepentingan kekuasaan yang menyimpang. Ketiga, terjadi banyak ketidaksesuaian antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, pudarnya keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern serba mampu memecahkan persoalan-persoalan  manusia. Munculnya berbagai anomali dan penyakit sosial sebagai pembuktiannya. Kelima, ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistik dan metafisik manusia karena terlalu berpatokan pada paradigma fisik.
      Jean Baudrillard (filsuf Perancis) merupakan sosok penting pemikir kebudayaan postmodern. Pemikiran Baudrillard menjadi kunci penting untuk memahami pengertian dan watak postmodernisme.  Menurut Baudrillard, masyarakat Barat (dan dunia secara umum) sekarang ini adalah masyarakat konsumen, yakni masyarakat yang haus mengonsumsi segala sesuatu tidak hanya yang berwujud riil namun juga obyek tanda. Sesuatu tidak lagi dinilai berdasar manfaat atau harganya melainkan berdasar prestise dan makna simbolisnya. Kalau mengacu pada telaah dan definisi yang dilakukan Baudrillard tersebut, sangat pas dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Disaat sebagian dunia mengalami krisis ekonomi, Indonesia menjadi salah satu dari sedikit negara yang mampu menunjukkan kinerja perekonomiannya untuk tetap tumbuh. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi terutama karena sokongan konsumsi di dalam negeri. Setiap hari bermunculan gerai-gerai waralaba, minimarket maupun mall-mall. Pola konsumsi masyarakat, terutama kelas menengah-atas, kerap kali hanya mengacu pada lifestyle, gengsi dan persaingan. Gonta-ganti aneka asesoris, gadget atau kendaraan hanya untuk mengejar “wah” dari pihak lain atau semata untuk prestise pribadi. Soal kegunaan barang atau besaran  harga tak lagi menjadi ukuran. Gejala masyarakat yang tergila-gila akan simbol pribadi  ditangkap dengan baik oleh para produsen berotak kapitalis. Setiap saat kaum kapitalis  menambahkan satu atau beberapa fitur baru pada satu merek barang. Tujuannya mengeksploitasi kerakusan konsumen pada “produk baru” yang bisa mendongkrak gengsi bila memilikinya. Tak heran terjadi antrean panjang setiap ada launching produk baru, yang kenyataannya hampir tidak berbeda dengan produk sejenis sebelumnya. Dalam era kapitalis sekarang ini nilai guna dan nilai tukar telah dikalahkan oleh suatu nilai baru, yakni nilai tanda dan nilai simbol (hal 60 ). Inilah gejala mayarakat yang sakit di era modern sekarang.
       Buku ini berisi percik-percik pemikiran Jean Baudrillard yang menelanjangi akibat modernisme yang menyebabkan masyarakat modern menjadi masyarakat yang “sakit” karena tergila-gila pada simbol. Terjadilah eksploitasi nafsu konsumtif masyarakat “sakit” tersebut oleh kapitalis lokal maupun global. Buku ini memberi pencerahan teoritis yang gamblang dan komprehensif bahwa tak selamanya modernisme membawa kebaikan.

Danang Probotanoyo, Pusat Studi Reformasi Indonesia, Alumnus UGM

Rabu, 12 Desember 2012

Jenderal Profesional dalam Pusaran Perang Arab-Israel


Data Buku:

Resensi Saya Termuat di KORAN JAKARTA, Desember 2012
Judul Buku : Mission Accomplished, Catatan Rais Abin       
Penerbit     : Penerbit Buku Kompas
Penulis       : Dasman Djamaluddin
Terbit        : I, September 2012
Tebal         : xvii+233
ISBN        : 978-979-709-665-6

     Timur Tengah adalah kawasan “terpanas” di muka Bumi ini. Pangkal masalahnya bermacam-macam:  perebutan kekuasaan secara internal, sengketa tapal batas hingga tumpang tindih klaim  ladang minyak. Ujungnya, kerap timbul perang  di kawasan tersebut.
     Namun, sumbu ledak yang hingga kini  belum benar-benar padam adalah konflik Arab-Israel, khususnya persoalan Palestina. Berulang kali dua entitas bangsa tersebut terlibat perang besar. Dimulai tahun 1948, saat Israel memproklamirkan negaranya. Disusul Perang Enam Hari di tahun 1967 dan Perang Yom Kippur di tahun 1973. Perang lebih kecil antara lain Perang Israel-PLO di Libanon tahun 1982, Perang Hizbullah-Israel tahun 2006 dan Perang Hamas-Israel di tahun 2009 dan 2012. Di sela-sela itu hampir setiap hari terjadi konflik skala kecil secara sporadis. Kebencian dan dendam seakan sudah mendarah daging antara Arab dan Israel. Kata “damai” begitu mahal bagi pihak-pihak yang berseteru. Konflik yang sudah berumur 64 tahun pun tak kunjung usai. Namun demikian bukan berarti tak ada kemajuan sama sekali. Paling tidak dari sekian banyak negera Arab seteru Israel, ada Mesir dan Yordania yang telah berdamai dengan negara Zionis itu.
      Perdamaian antara Mesir dan Israel adalah yang paling fenomenal. Dikatakan begitu sebab  Mesir adalah negara terkuat secara militer dan berpenduduk terbesar diantara negara-negara Arab. Mesir pula yang menjadi kekuatan inti dan dominan pasukan Arab di setiap perangnya melawan Israel. Setelah ditanda tanganinya Perjanjian Camp David antara Mesir dan Israel pada tahun 1979, maka konflik Arab-Israel menurun eskalasinya. Meski perang secara sporadis dan kecil-kecilan tetap berlangsung hingga kini, setidaknya perang skala besar tak ada lagi pasca berdamainya Mesir-Israel.
      Indonesia patut berbangga, salah satu putra terbaiknya: Mayjend Rais Abin, menjadi aktor penting dalam proses menuju perdamaian Mesir-Israel. Sehabis perang Yom Kippur, PBB menempatkan pasukannya di Timur Tengah dengan label UNEF II (United Nations Emergency Force). Tugas UNEF II menjaga perbatasan Mesir-Israel. Rais Abin menjadi panglima UNEF II periode 1976 - 1979  menggantikan Letjend Bengt Liljestrand dari Swedia. Disini nampak jelas kehebatan seorang Rais Abin. Pertama, Rais Abin  merupakan perwira Asia pertama yang diangkat PBB menjadi panglima pasukan perdamaian PBB. Bahkan Rais Abin hingga kini menjadi satu-satunya perwira TNI yang berkedudukan tertinggi di pasukan perdamaian PBB. Kedua, terpilihnya Rais Abin sebagai panglima pasukan perdamaian PBB penengah konflik Arab  vs Israel tidaklah  mudah. Selain butuh skill kemiliteran yang mumpuni, kecakapan diplomasi tingkat tinggi pun diperlukan. Sebab, menjadi panglima pasukan perdamaian PBB salah satu syaratnya harus mendapatkan persetujuan dari kedua pihak yang bertikai (Mesir dan Israel). Tentunya bukan perkara mudah bagi WNI mendapatkan persetujuan dari Israel. Sebabnya Indonesia merupakan negara muslim sebagaimana Mesir seteru Israel saat itu. Indonesia juga sagat mesra dengan Mesir. Pasalnya, Mesir negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Secara politis Indonesia juga pendukung setia perjuangan Bangsa Palestina melawan pendudukan Israel. Ditambah lagi Indonesia tidak menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.   
sumber gambar: sekedartahu.blogspot

     Sederet latar belakang tersebut, rasanya mustahil orang Indonesia bisa “dipercaya” Israel. Berkat kepiawaian dan kapabilitas Rais Abin semua itu bisa terjadi. Bahkan Menteri Pertahanan Israel kala itu, Shimon Peres, hingga berkata-kata, “Suatu preseden yang unik bahwa Kami menyetujui Panglima Pasukan PBB dari negara yang tidak mengakui Israel.” (hal 38).
Kelak kemampuan Rais Abin yang luar biasa dalam berdiplomasi mengantarkannya pada penugasan-penugasan yang berkaitan dengan diplomasi. Tercatat Ia pernah menjabat sebagai Duta Besar untuk Malaysia, Singapura dan menjadi Sekjend Pelaksana Harian KTT Gerakan Nonblok (hal 119,165).
     Membaca buku ini seolah mengingatkan anak bangsa bahwa kita pernah memiliki tentara professional yang diakui dunia, bukan hanya soal kemampuan berperang saja namun juga professional dalam berdiplomasi. Kedua, konflik Arab-Israel tak akan terselesaikan dengan jalan perang terus, harus dicari titik temu lewat jalan diplomasi. Rais Abin telah memulainya lewat peran yang signifikan dalam menggiring Mesir-Israel menuju proses perdamaian. 

Selasa, 04 Desember 2012

Narkoba Mempermalukan Artis Hingga Presiden



Allah Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca seribu tanda-tanda
(“Membaca Tanda-tanda”, Taufiq Ismail,1982)
   
      Pemimpin harus memiliki kepekaan dan kemampuan “membaca tanda-tanda” atau dalam terminologi jawa bersifat Waskita: tanggap dan mampu melihat jauh ke depan.  Karut marut berbagai persoalan begitu deras menerpa republik. Harusnya itu dijadikan sebagai tanda, sinyal bahkan alarm bagi para pemimpin untuk segera  menuntaskan segala problem bangsa. Jangan bebal dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Alam telah banyak mengajari “membaca tanda-tanda”. Sebelum Gunung Merapi meletus dahsyat di tahun 2010 diawali gelombang hijrah binatang-binatang ke pemukiman di kaki gunung.  Begitupun Tsunami akan menerjang dengan introduksi gempa dan surutnya air laut. Setiap fenomena  memiliki  tanda-tanda sendiri. Dikirim atas kemurahan Sang Pencipta agar manusia mengambil pelajaran, hikmah sekaligus antisipasi. Saat ini persoalan narkoba tengah mengintai eksistensi bangsa dan rakyat Indonesia.  Begitu massifnya gangsiran penyalahgunaan narkoba, niscaya kelak mampu merobohkan republik ini. 
Termuat Di Koran MERAPI, Medio: November 2012

       Dramatisasi pemberitaan penyalahgunaan narkoba begitu gegap gempita. Korban pun terus berjatuhan. Namun lacur, semua itu tak membuat para pemimpin  mengeluarkan segenap sumber daya dan kewenangan yang dimiliki untuk bersungguh-sungguh membasminya.  Apa masih kurang terbaca oleh para pemimpin ancaman nyata narkoba? Data yang dihimpun BNN (Badan  Narkotika Nasional) ada 3,8 juta manusia Indonesia pemakai  narkoba di tahun 2011. Sedang menurut Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) ditahun 2012 setidaknya ada 5 juta orang Indonesia pengguna narkoba. Dengan angka kematian  50 jiwa per hari gara-gara narkoba laknat. Data di atas kertas tersebut tak jua menerbitkan bulu kuduk pemimpin. Padahal episode penangkapan produsen, pemasok, pengedar hingga pemakai nyaris tersaji ke publik setiap hari.  Pemakainya pun mulai bervariasi dan meluas. Kalau dulu kebanyakan pemakainya adalah pelajar dan kalangan anak muda secara umum. Kini pengguna yang tertangkap  beragam profesi dan usianya.  Awal tahun lalu beberapa pilot pesawat komersil tertangkap sebagai pengguna narkoba. Di satu daerah kepolisian di Sumatera, sebanyak 114 polisinya memiliki tes urine yang positif kandungan narkobanya.  Berita wakil rakyat yang tertangkap tengah nyabu pun kerap dilansir. Yang terbaru, seorang hakim di Bekasi tertangkap tengah pesta narkoba di rumah karaoke.  Dampak penyalahgunaan narkoba sangat mengerikan meliputi kerusakan fisik dan mental pemakainya.

     Publik tersentak manakala penyalahgunaan narkoba mulai berdampak destruktif dan terjadi ekternalisasi dari pemakainya. Awal tahun ini, Afriyani Susanti yang bersekutu dengan narkoba mencabut sembilan nyawa manusia lain memakai Xenia mautnya.  Semua heboh, termasuk para pemimpin. Namun, seperti biasa, selewat tragedi seram itu, semua menjadi “biasa” lagi. Padahal, drama Afriyani “dihadirkan” agar warga bangsa memiliki effort yang super ekstra dalam mengatasi narkoba. Yang terjadi justru sebaliknya. SBY sebagai pemimpin tertinggi republik malah memiliki rasionalitas yang berkebalikan dengan opini publik. Alih-alih berusaha keras membabat penyalahgunaan narkoba, yang ada seolah  memberi “opportunity” narkoba untuk berbiak lebih lanjut di republik ini. Setelah ratu penyelundup mariyuana di Bali asal Australia, Schapelle Leigh Corby,  diberi grasi, langkah SBY  makin tak terbendung. Setidaknya sudah 19 permintaan grasi terpidana narkoba ditanda-tangani SBY.  MA tak mau kalah, ikut-ikutan dengan menganulir hukuman atas pemilik pabrik ekstasi di Surabaya, Hanky Gunawan, dan pemilik 5,8 kg heroin Hillary K Chimezie asal Nigeria. Lupakah pada horor yang ditimbulkan Afriyani kala berasyik masyuk dengan narkoba?  
     Syak wasangka terjadi politik pencitraan di mata internasional menyeruak bersamaan hujan grasi itu. Alasan kemanusiaan terhadap para gembong dan penjaja narkoba terlalu dramatis.     
Harusnya rasa kemanusiaan SBY lebih tepat untuk  jutaan rakyat  yang menjadi korban langsung dan tak langsung dari  kejahatan narkoba.  Nyatanya Beliau lebih memilih Corby dan kawan-kawan.
     “Kiriman” sosok Afriyani Susanti beserta “genosidanya” tak jua dipahami sebagai “tanda-tanda” ancaman keruntuhan bangsa karena  narkoba. Tuhan masih bermurah, dikirimnya lagi  Novi Amelia, sebagai “tanda-tanda” berikutnya. Mengendarai mobil setengah telanjang dan di bawah rasukan narkoba, Novi sukses membuat tujuh orang terjengkang  di wilayah Taman Sari, Jakarta Barat, 11 Oktober lalu. Dua kasus tragis itu, janganlah membuat bebal dengan ketidakbisaan  membaca “tanda-tanda” dari-Nya.
     Yang sangat memalukan  adalah kekeliruan  SBY pada pemberian grasi terpidana mati Meirika Franola (Ola). Vonis mati yang mendera Ola sejatinya  sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali kasusnya pada 27 Februari 2003. Namun, SBY mengampuninya dan memberikan grasi pada 26 September 2011 sehingga hukuman Ola  berubah dari hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Belakangan terbukti  bahwa pemberian grasi untuk Ola tersebut  salah total dan cukup memalukan. Pasalnya, Ola bukan hanya sebagai kurir narkoba sebagaimana disampaikan SBY dan para pembantu dekatnya ketika ditanya hal pertimbangan pemberian grasi itu.  Menurut BNN, Ola ternyata sebagai pengatur bisnis narkotika, bahkan saat dirinya masih mendekam di rumah tahanan  Pondok Bambu, Jakarta. Fakta ini didapat dari  keterangan seorang tersangka berinisial NA yang ditangkap BNN tanggal 4 Oktober lalu di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, ketika yang bersangkutan kedapatan membawa sabu-sabu seberat 775 gram dari India ke Indonesia. NA mengaku Ola-lah sebagai otak yang menyuruhnya menyelundupkan barang haram itu. Argumen bahwa pemberian grasi kepada terpidana kasus narkoba sudah melalui pertimbangan masak dan mendalam menjadi terbantahkan, setidaknya dalam kasus Ola ini. Bahkan pemberian grasi kepada Ola tersebut bisa dipandang sebagai kecerobohan yang sangat fatal. Ini harus menjadi bahan evaluasi dan koreksi bagi presiden dan seluruh jajarannya yang berkompeten dalam memberikan pertimbangan kepada presiden pada proses pemberian grasi. Semua harus mempertimbangkan suara publik yang lebih luas. Dalam kasus ini,  ungkapan Latin: Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) menemukan kebenaran. Ketika mayoritas rakyat mengatakan bahwa penjahat narkoba jangan diampuni dan layak dihukum berat, seyogianya seorang pemimpin harus mengindahkannya.
      Diluar kekeliruan fatal atas pemberian grasi kepada Ola tersebut, ada satu yang pasti, bahwa langkah meringankan para gangster narkoba bisa memberi sinyal welcome bagi kawanannya untuk lebih intensif berdagang narkoba di Indonesia. Apanya yang kurang menarik dari Indonesia bagi para gangster itu? Jumlah penduduknya terbanyak nomer empat di Bumi. Pertumbuhan ekonomi pun konon lagi bagus-bagusnya (nomer dua) di dunia. Daya pikat tertinggi bagi “investor narkoba” untuk datang berbondong-bondong ke Indonesia adalah adanya berbagai “insentif” berupa ringannya hukuman dan obral grasi. 
       Pemimpin harus lekas tersadar dan menjadi arif membaca tanda-tanda dari Tuhan. Mumpung Tuhan “masih” bermurah.  Lain waktu bisa jadi bukan sejenis Afriyani dan Novi lagi yang dikirimkan sebagai “tanda-tanda” ancaman keruntuhan bangsa akibat narkoba.  Apa mau menunggu sampai ada kejadian  pilot narkoba menghujamkan pesawat dan seisinya? atau aparat yang otaknya terlamur narkoba lantas menyalakkan senjata ke umum, seperti di film-film?
      Semua ini mesti disikapi presiden bahwa ternyata Tuhan masih berkenan memberi pertanda agar kita kembali tersadar akan bahayanya narkoba. Memang, gara-gara narkoba Novi boleh jadi malu karena foto seronoknya beredar luas, pun SBY  malu karena keliru menilai Ola; namun yang pasti bangsa ini tak boleh ragu sedikitpun untuk memerangi penyalahgunaan narkoba!

Danang Probotanoyo,  Pusat Studi Reformasi Indonesia (CIRS) Alumni UGM

Minggu, 18 November 2012

Perempuan Korupsi, Perempuan Menjadi Korban


Perempuan Korupsi, Perempuan Menjadi Korban

“Door Duisternis Tot Licht”
Termuat Di KORAN MERAPI, Medio: Oktober 2012
Itulah kalimat monumental R.A. Kartini dalam bahasa Belanda. Armijn Pane menerjemahkannya ke bahasa Melayu atau Indonesia: “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Azimat sakti Kartini lebih dari seabad silam begitu membekas. Kalimat tersebut puncak pemaknaan seluruh perjuangan Kartini bagi “kemerdekaan” kaumnya dari keterbelakangan pendidikan dan ketidaksetaraan sosial dibandingkan kaum lelaki. Berkat perjuangan emansipasi Kartini, terbongkarlah sekat-sekat patriarki pembelenggu perempuan untuk maju, lepas dari bayang-bayang dan dominasi lelaki. Semenjak itu perempuan Indonesia secara moril memiliki hak dan peluang yang sama dengan lelaki dalam hal  pendidikan dan kehidupan sosial. Hancur pula mitos perempuan sebagai “kanca wingking” lelaki alias pelapis suami dengan idiomatik sekedar urusan: sumur, dapur dan kasur; pelan-pelan pun sirna. Terlebih sekarang secara normatif dan yuridis negara memberi jaminan dan proteksi pada perempuan. Ada Undang-undang Pemilu yang mengakomodasi kuota 30% kursi parlemen untuk perempuan, UU No.23 Tahun 2004 perihal penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga diadakannya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Teoritis, rasanya sudah tak ada peluang bagi kaum lelaki di jaman modern ini untuk sewenang-wenang dan diskriminatif – secara institusional maupun personal – kepada perempuan. Secara kasuistis pasti ada anomali di sana-sini dari yang umum dan normal, namun semakin mereduksi. Finally, perempuan di republik ini sekarang telah sejajar dengan lelaki dalam segala hal. Dari sekedar kepala desa, bupati, gubernur, menteri hingga presiden perempuan telah kita miliki.             
Sumber gambar ini: unpam.us
Korupsi Ranah Lelaki   
     Ironisnya, kesejajaran perempuan dan lelaki saat ini tidak hanya dalam  peranan yang baik dan lumrah saja, namun menjalar ke hal korupsi. Terasa ganjil, karena sejak kemerdekaan, korupsi senantiasa menjadi “domain” lelaki. Era Soekarno, kasus dugaan korupsi menyeret nama Ruslan Abdulgani (Menlu), Syamsudin Sutan Makmur (mantan menteri penerangan), dan direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, sampai ditangkap (Wikipedia).  Jaman Soeharto atau Orba, tidak perlu ditanyakan lagi korupsinya. Era kekuasaan Soeharto  merupakan  masa keemasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Saat itu para koruptor nyaris tak tersentuh hukum. Alasannya jelas, karena Soeharto lebih mementingkan “stabilitas” versinya sendiri. Dia tidak menginginkan pemerintahannya goyah akibat image korupsi yang mewabah di jajaran pemerintahan dan birokrasinya. Agar terhindar dari cap rezim korup, cara yang ditempuh rezim Soeharto adalah merepresi pers agar tak menulis berita “miring”. “Peluru breidel” setiap saat bisa menerjang dan membuat media massa terkapar tak bernyawa lagi. Harian Sinar Harapan pernah merasakan dibreidel gara-gara mengangkat korupsi Pertamina dan pembangunan TMII. Pun Tempo bernasib sama ketika mewartakan pembelian kapal bekas dengan harga selangit. Senjata pamungkas “pasal subversif” setiap waktu bisa membuat pimpinan redaksi mati kutu. Itu bisa menjawab omongan orang-orang yang sering mengatakan (tanpa dasar), korupsi di era reformasi lebih marak daripada eranya Soeharto. Padahal, Soeharto cuma menyembunyikan “kotoran” di bawah permadani indah yang bernama “stabilitas” dan pertumbuhan. Maskot korupsi terbesar di jaman Soeharto yang sempat tersiar adalah “gunung korupsi” Pertamina, dengan prahara rebutan “harta karun” Thahir (eks pejabat pertamina) di Singapura, antara Pertamina versus Kartika (janda Thahir).
“Ibu, Ibu, Ibu”
    Jelas, dari jaman Orla, Orba hingga reformasi sekarang ini, kasus-kasus korupsi dijejali kaum lelaki. Sayangnya, rekor dominasi lelaki mulai terpecahkan belakangan ini. Nama-nama perempuan tersangkut kasus korupsi (dan derivatnya) mulai bermunculan secara masif. Beberapa sosialita tenar tersandung kasus korupsi, sebut: Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Mindo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati, Neneng Sri Wahyuni hingga Miranda S. Goeltom. Mereka bukan perempuan biasa-biasa saja, dalam status sosial maupun pendidikannya. Jabatannya juga tidak “ecek-ecek”. Ada anggota DPR, direktur perusahaan hingga mantan pejabat BI. Secara akademis ada yang sarjana, S-2 bahkan profesor doktor. Artinya, secara kasat mata, mereka adalah produk sukses emansipasi perempuan Indonesia, buah perjuangan Kartini lebih seabad silam. Ini memerlukan kajian komprehensif dan elaborasi yang dalam, apakah ini gejala emansipasi yang kebablasan? Ataukah ini bentuk lain dari jeratan patriarki masa kini? Bisa jadi para perempuan koruptor tersebut hanyalah “korban” permainan syahwat korupsi para lelaki. Dibelakang Mindo, Angie dan Neneng, ada nama Nazarudin (dan beberapa lelaki kuat yang belum tersentuh). Begitupun para penyuap Wa Ode Nurhayati hingga masuk bui, yang ternyata kaum lelaki. Publik paham, awal terseretnya Wa Ode akibat ocehannya hal korupsi di Banggar DPR (mayoritas lelaki).  Ini mengingatkan kisah Mahabharata pada episode perjudian kursi kekuasaan Astinapura, antara Duryudana dan Yudistira, yang berakhir dengan dipermalukannya Drupadi (ditelanjangi) akibat dijadikan  taruhan para wayang lelaki tersebut. Kate Millett (1977) pernah mengatakan, bahwa patriarki membuat perempuan di bawah kontrol kekuasaan, gagasan, kebiasaan dan kebudayaan  lelaki. Sekarang terbukti, sistem koruptif yang selama ini diciptakan dan digeluti para lelaki (pihak dominan), ternyata telah menular ke  perempuan. Ibarat istri baik-baik yang terpapar HIV-Aids akibat suami yang “suka jajan” di luaran.
    Perlu gelombang kedua “pembebasan” perempuan dari kungkungan jerat sistem koruptif  serta indoktrinasi ideologi korupsi dari kaum lelaki korup. Para aktivis pembela perempuan dan pejuang feminisme harus bergerak untuk membendung perilaku koruptif yang kadung meluas di kalangan perempuan sendiri. Sebab, korban terbesar akibat korupsi di negeri ini adalah kaum perempuan juga. Setidaknya, berdasar data di BPS (2010), dari 32,53 juta jiwa penduduk miskin, 70% diantaranya adalah perempuan. Jumlah buta aksara kaum perempuan pun lebih tinggi daripada lelaki, yakni 12,28% , sementara laki-laki 5,84%. Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi, yaitu 248 per 100.000 kelahiran hidup. Jelas, beberapa parameter kualitas hidup yang rendah tersebut berkorelasi dengan kemiskinan. Telaah sederhana mengatakan bahwa kemiskinan yang diidap oleh  masyarakat dalam suatu negara merupakan buah meruyaknya perilaku korupsi di negara tersebut.  Artinya, semakin banyak perempuan yang terjerumus dalam perilaku korupsi semakin banyak pula perempuan-perempuan lain yang menjadi korbannya. Ini merupakan anomali emansipasi yang diperjuangkan Kartini dan pejuang-pejuang perempuan lainnya. Ibarat kata emansipasi yang menyimpang tadi malah senjata makan tuan bagi  para perempuan sendiri. Harus ada penolakan yang kuat dari kaum perempuan itu sendiri untuk menolak terlibat dalam aksi-aksi korupsi di segala lini. Perempuan harus kembali ke fitrahnya sebagai sokoguru pendidikan karakter manusia. Jangan nodai identitas perempuan sebagai makhluk yang identik dengan kelembutan dan kasih sayang. Itulah keutamaan seorang ibu. Sebagaimana Nabi pernah mengatakan “ibu” hingga tiga kali disusul “bapak” (sekali), ketika ditanya orang, siapa yang pantas dihormati. Ayo, perempuan, jangan mau ikutan korupsi!
Danang Probotanoyo
Peneliti Pusat Studi Reformasi Indonesia (CISR) Alumni UGM

Selasa, 13 November 2012

PAHLAWAN TERSISA DI MAKAM TUA

Oleh: Danang Probotanoyo
Cerpen saya, termuat di REPUBLIKA, medio: November 2012
    Senja temaram menjemput malam. Kumaidi duduk di kursi rotan tua yang nyaris berbentuk bulat mirip telur ayam. Kursi dan meja pasangannya tersebut pemberian Pak Sudjono (almarhum), bekas komandan peleton di PETA tempat Kumaidi bergabung dulu. Kursi itu masih kokoh walau pliturannya nyaris tak berbekas. Hanya meja nakas pasangannya yang sudah kelihatan reyot. Itu pun diusahakan Kumaidi agar bisa lebih lama lagi masa pakainya dengan diperkuat beberapa paku pada siku-sikunya. Kursi dan meja itu dikirim sendiri oleh Pak Sudjono pada tahun 1978 sebagai hadiah sekaligus bentuk solidaritasnya terhadap kekurangberuntungan nasib Kumaidi, sebagai sesama expejuang kemerdekaan. Pak Sudjono sendiri mengakhiri pengabdiannya kepada republik sebagai pensiunan di pabrik gula terbesar di kota mereka. Kondisi kontras dialami Kumaidi yang hingga sekarang masih terus berjuang, berjuang dan berjuang. Bedanya hanya pada medannya. Pada dekade 40-an, Kumaidi berjuang di medan perang demi eksistensi republik. Setelah kemerdekaan hingga sekarang, perjuangan Kumaidi di medan kehidupan riil sehari-hari demi eksistensi perutnya dan perut Sutinah, istrinya.    
    Sedikit gemetaran – khas orang lanjut usia—kedua telapak tangan keriput Kumaidi perlahan-lahan memilin klobot yang di dalamnya menyembul tembakau. Setelah tergulung ala kadarnya, diambilnya korek gas murahan untuk menyulut. Sekejab Kumaidi pun larut dalam kepekatan asap dan bau “rokok klobot” yang menyengat bagai dupa yang biasa di temui di makam-makam tua di Jawa. Sesekali tangan kanannya meraih gelas berisi kopi pahit pekat sebagai selingan dalam ritual rutinnya setiap senja. Sruput, ah, nikmatnya. 
    “Pak, akan kemana kita esok hari, kalau para petugas tramtib dan kecamatan itu datang melakukan eksekusi.”
     Suara Sutinah membuyarkan keheningan dan keasyikan Kumaidi, ketika secara tiba-tiba sosok perempuan tua itu menyeruak dari dalam rumah ke teras, tempat Kumaidi bersemayam. Kumaidi menyedot klobotnya lebih dalam menyebabkan pipinya bertambah kempot. Sambil menghela nafas panjang, Kumaidi berujar, “Entahlah Bu, aku sendiri belum tahu.” Sruput, kopi yang tinggal separo pun dimasukkan sedikit ke tenggorokan.
“Anak, kita tak punya, saudara-saudara pun sudah pada tiada di kampung halaman,” ujar Kumaidi lirih dan sendu. Masih membekas di pikirannya kedatangan Pak Lurah pukul setengah empat sore tadi.
“Saya hanya bertugas menyampaikan surat pemberitahuan eksekusi kepada Pak Kum, Saya tidak bisa berbuat apa-apa, Pak, karena pemerintah maunya begitu,” ujar Pak Lurah dengan sedikit tercekat, ketika menyampaikan surat eksekusi tanah dan rumah Kumaidi. Kedatangan Pak Lurah sore itu sudah untuk yang ke empat kalinya selama jangka waktu tiga bulan belakangan.
“Kalau untuk mempertahankan negeri ini dari cengkeraman Belanda dan Nipon aku bisa habis-habisan, sampai jiwa dan raga aku pertaruhkan,” ujar Kumaidi getir, sambil mengepalkan tangan dan memukulkannya pelan ke paha.
   “Kan, nggak lucu kalau aku harus mengangkat bambu runcing untuk mempertahankan secuil tanah dan gubug reot ini, padahal jelas-jelas ini tanah negara.”
    “Apalagi uang tali asih sebesar setengah juta telah kita terima sebulan lalu dan itupun telah habis buat nebus sepeda onthelku di pegadaian demi ngobati bronkitismu.”
    “Yang penting kita sudah selesai mengepak milik kita, jangan sampai ada yang tertinggal.”
“Bintang gerilya dan SK veteranku jangan sampai keselip, Bu. Itu satu-satunya kebanggaan milik kita, sekaligus penyambung hidup kita.”
“O, ya, Pak, apakah tunjangan veteran bulan ini telah kamu ambil di bank?” tanya Sutinah.
    “Ini simpan, tadi cuma aku kurangi buat beli mbako dan segelas es cincau di jalan, panas amat siang tadi, aku sampai seperti mau pingsan ngayuh sepeda.”  
***
sumber gambar: ada-akbar.com
     Tanpa terasa malam menggulung waktu. Namun, Kumaidi belum juga beranjak tidur. Lagi pula dalam kondisi dan situasi seperti yang sedang ia alami, apalah nikmatnya tidur apalagi leyeh-leyeh menikmati siaran televisi merek Grundig 14 inchi miliknya. Toh, TV tua itu telah dibungkus seprei oleh Sutinah dan dionggokkan di samping rumah beserta harta benda dekil lainnya. Kumaidi mondar-mandir di depan rumahnya. Dalam hitungan beberapa jam ke depan bakal diratakan dengan tanah oleh pihak berwenang lantaran berdiri di areal yang konon milik negara dan akan dijadikan “Jalur Hijau”. Itulah yang sering dilontarkan Pak Camat. Sesekali ia berjalan di bekas reruntuhan rumah para tetangga yang telah mereka tinggalkan sebulan lalu. Ada yang terpaksa pulang ke desa tempat asal mereka. Ada yang mencari kontrakan di gang-gang kumuh seputaran kota. Ada juga yang nekat pindah ke pinggir rel kereta api dan kolong jembatan layang. Sekarang di areal tersebut tersisa satu rumah reyot milik Kumaidi. Setelah mondar-mandir melihat situasi, Kumaidi pun duduk di atas dipan kayu tua di bawah Pohon Waru, di depan bekas rumah Mat Jumali, pedagang sate keliling. Dipan itu tidak dibawa yang empunya karena kondisinya memang rusak. Sewaktu tetangganya masih komplet tinggal di lingkungan tersebut, dipan itu difungsikan untuk sosialisasi dan bercengkrama antartetangga di waktu sore hingga malam. Sambil matanya nanar menatap hilir mudik kendaraan di kejauhan, tangan tuanya memegang rokok klobot kegemarannya. Tampak percikan api dikegelapan menyerupai kunang-kunang setiap kumaidi menyedot klobotnya. Kriet.. sejurus kemudian Kumaidi turun dari dipan. Kakinya meraba-raba tanah mencari sandal plastik merek Lily miliknya. Maklum, tempat itu gelap gulita karena sudah sebulan aliran listrik di daerah itu diputus. Listrik di rumah Kumaidi masih bisa menyala karena kreatifitas seorang mantan tetangganya yang “nyanthol” kabel PLN di pinggir jalan, tak jauh dari pemukiman Kumaidi. Si tetangga kasihan lantaran melihat pasangan lansia tersebut tinggal disitu sendirian tanpa penerangan sama sekali.
      Pelan-pelan Kumaidi membuka pintu rumahnya yang tidak terkunci. Dilihatnya dengan penuh rasa sayang dan iba sang istri tengah pulas tidur di atas tikar tanpa dipan dan kasur. Pelan-pelan sepeda onthel tuanya dikeluarkan. Tanpa membangunkan sang istri, Kumaidi pun berlalu. Empat puluh menit mengayuh sepeda sampailah dia di pemakaman tua. Pemakaman itu tampak terawat dan berlampu neon disana-sini. Pohon Kamboja dan Sri Rejeki menyemarakkan kuburan tersebut. Ya, pemakaman asri tersebut adalah Taman Makam Pahlawan tempat bersemayamnya jasad para kolega Kumaidi, termasuk Pak Sudjono mantan komandan peletonnya di PETA. Dengan hati-hati Kumaidi menyandarkan sepeda tuanya di pintu masuk makam yang terbuat dari besi. Kakinya melangkah. Sesekali ia berdiri tegak semampunya sambil menyilangkan telapak tangan memberi hormat ke arah beberapa batu nisan. Dia berhenti dan duduk bersila di atas rerumputan makam dan tafakur di depan batu nisan Pak Sudjono. Sambil melelehkan air mata, ia terlihat komat-kamit seolah mengadu kepada mantan komandannya tersebut. Setengah jam kemudian, matanya melihat ke arah pojok makam tak jauh dari tempatnya bersila. Ada sinar harapan merona di wajah sepuhnya. Kumaidi melihat arloji dibawah keremangan lampu neon makam, dia pun bergegas meninggalkan makam tersebut.
“Ah, untung masih jam setengah dua belas malam, masih cukup waktu,” katanya dalam hati penuh kemisteriusan.
***
      Pukul setengah lima pagi, Sutinah dibangunkan.
“Ayo, Bu, lekas kita berkemas untuk pindahan. Aku tak ingin nantinya kita yang diusir petugas  dari tempat ini. Aku tidak ingin anak-anak muda tersebut menghardik kita.”
“Tapi, kita mau kemana, Pak? Apalagi sepagi ini.”
“Sudah, ikuti saja perintahku, tolong kau bantu angkat kardus besar ini ke atas boncengan sepeda. Dua buntalan taplak meja berisi barang-barang yang tak terlalu berat, nanti kamu tenteng di kanan-kiri.  Aku nanti yang menuntun sepeda dengan kardus besar ini.”
Sutinah pun menuruti kemauan sang suami.
     “Lho, kemana barang-barang yang lain, Pak? Kemana kayu-kayu tua, gedhek tua dan selembar tipleks yang kemarin sudah kita persiapkan di samping rumah.”
     “Semalam semuanya telah aku pidahkan ke calon tempat  kita yang baru.”
     “Hah, sendirian kamu pindahkan semuanya?”
     “Ya, pada siapa lagi mesti minta bantuan, lagian kan aku tinggal nuntun si onthel, dialah yang mengangkut semuanya.”
     Sutinah pun penuh tanda tanya besar dalam benaknya, perihal kemana dia akan diajak pindah oleh Kumaidi.
     “Ayo, lekas kita jalan, mumpung belum bayak orang yang melihat.”
     Sepasang lansia tangguh itupun berjalan perlahan secara beriringin. Kumaidi di depan sambil menuntun sepeda yang telah dibebani kardus besar, sedang Sutinah mengiringi di belakangnya sambil menenteng dua buntalan di kanan-kiri.
      Satu setengah jam, sampailah mereka di tempat yang dituju.
      “Ayo, masuk Bu, nggak usah bengong, kan sudah seringkali aku mengajakmu kemari.”
      “Tapi, ini kan makam, Pak, tempat Pak Sudjono, Pak Waluyo, Pak Hadi dan teman-teman  seperjuangan bapak lainnya di makamkan.”
      “Iya, ini satu-satunya tempat yang disediakan pemerintah untuk menghargai kita-kita yang dulu telah berjasa mengusir penjajah dari republik. Memang, ini disediakan untuk kita  setelah tak ada umur alias wafat, tapi apa salahnya jika kita menyesuaikan diri dulu disini barang sebentar, sampai ajal menjemput.”
      Mata tua Sutinah mulai meneteskan air mata, disekanya satu persatu buliran air matanya dengan ujung kebaya lusuhnya.
“Sudah, Bu, kita terima saja, apa yang diberikan negeri ini kepada kita, tak ada faedahnya kita menyumpahi terus anak-anak muda yang tak tahu balas budi atas pengorbanan kita dulu. Mereka sudah hidup di alam merdeka berhak untuk menikmatinya, kita ikhlas saja.”
      “Di sebelah mana kita nantinya akan tinggal, Pak?”
     “Itu, disebelah pojok, utara nisan Pak Sudjono, kayu-kayu, tripleks, gedhek dan barang-barang lainnya telah aku taruh disana. Nanti kita tinggal merakitnya jadi gubug sederhana. Tempatnya lumayan lapang. Ada kalau cuma tiga kali empat meter, tempatnya pun strategis karena dua sisinya sudah ada tembok pagar makam.”
    “Tapi, Pak, apakah nantinya kita tak di usir lagi dari sini.”
    “Ini hak kita, Bu, mau kita ambil sekarang apa nanti tak ada bedanya bagi orang lain, lagian teman-teman di sini sangat mendukung dan sangat senang  menerima kita sekarang.”
    “Siapa yang kau maksudkan teman-teman disini, Pak?”
    “Pak Sudjono cs-lah!” jawab Kumaidi tanpa beban.
   “Tapi, pak…”
   “Aku, tahu mereka sudah terbujur kaku disini. Semalam, waktu aku nyekar mereka dan mengadukan nasib kita, karena kelelahan aku tertidur sejenak dengan memeluk nisan Pak Sudjono. Dalam tidur sekejab itu aku bermimpi bertemu Pak Sudjono dan yang lainnya. Mereka sangat senang bertemu aku, dan menyuruh aku untuk tinggal disini. Bahkan,  mereka berjanji kepadaku tak akan rela bila ada yang berani mengusik kita disini.”
     Sepasang lansia itupun menangis sesenggukan sambil berpelukan erat satu sama lain. 
Catatan :
Klobot : Kulit Jagung kering
Nyekar : Tabur bunga ke makam