Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Senin, 18 Februari 2013

Soeharto dan Jokowi, Pemimpin Gaya Mataraman


Resensi Saya dimuat di KORAN JAKARTA, Februari 2013
Data Buku:
Judul Buku : FALSAFAH  JAWA  SOEHARTO  &  JOKOWI, Menjadi Pemimpin   Kharismatis ala Soeharto dan Jokowi       
Penerbit      : Araska                                                                           
Penulis        : Ki Nardjoko Soeseno
Terbit          : I, Januari 2013
Tebal           : 154

ISBN           : 978-602-7733-82-4

Oleh :Danang Probotanoyo

Indonesia merupakan negara yang memiliki keragaman paling banyak di dunia. Contohnya  dalam jumlah suku bangsa. Menurut catatan BPS ( 2010), Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa. Dari sebanyak itu, Suku Jawa merupakan  suku yang paling menonjol. Salah satu penyebabnya terkait jumlah populasi etnik Jawa yang mencapai 40% dari total populasi rakyat Indonesia. Implikasinya, nyaris di segala sendi kehidupan negeri ini etnis Jawa tampak  dominan, tak terkecuali di ranah politik kekuasaan. Dari enam presiden yang pernah dimiliki negeri ini, hanya Habibie yang beretnik non-Jawa. Akibatnya mau tak mau, suka tidak suka, budaya dan falsafah hidup orang Jawa  mewarnai idiomatical politik-kekuasaan di Indonesia.   
     Berbicara hal etnik dan budaya Jawa,  tak bisa lepas dari dua pusat kebudayaan Jawa, yakni Yogyakarta dan Surakarta (Solo). Beberapa pemimpin Indonesia modern yang berasal dari dua daerah tersebut memiliki gaya kepemimpinan yang kental dengan falsafah dan budaya Jawa. Lepas dari kelebihan dan kekurangannya, sosok Soeharto dan Jokowi adalah contoh  pemimpin yang ‘Njawani’ (kental nilai-nilai Jawa-nya).
                                
                        
      Soeharto yang pernah memimpin negeri ini hingga 32 tahun adalah figur pemimpin yang gigih meletakkan falsafah dan nilai-nilai budaya Jawa dalam corak dan strategi kepemimpinannya. Sejarah masa kecil hingga remajanya yang sarat dengan  kepahitan hidup, telah menempa Soeharto sebagai sosok yang gemar ‘laku’ olah batin dan olah rasa. Segala perilaku, ucapan hingga bahasa tubuhnya merefleksikan nilai-nilai dan falsafah orang Jawa. Terlepas dari penilaian bahwa Soeharto otoriter, namun harus diakui semasa berkuasa ia disegani kawan maupun lawan. Tak ada yang berani membantah ucapan dan perintahnya. Semua pembantu dekatnya termasuk para menteri  merasa perlu  mendapatkan ‘restu’ dahulu untuk sekedar bicara ke publik. Kalimat, “Menurut petunjuk bapak presiden,” ala Harmoko saat menjabat sebagai menteri penerangan, merefleksikan pentingnya restu Soeharto dalam segala hal. Ada lagi Moerdiono, selaku menteri sekretaris negara, bergaya bicara yang kelewat lambat, takut salah dalam menerjemahkan maksud Soeharto.
     Soeharto orangnya cenderung pendiam, tenang dan penuh misteri. Tak pernah meledak-ledak. Senyum pun hanya dalam kadar minimalis. “The smiling general” label orang terhadap  Soeharto yang memiliki senyum khas. Diamnya Soeharto bukanlah diamnya orang kebanyakan atau diamnya orang yang tak pandai bicara. Diamnya Soeharto sebagai perwujudun ‘Laku Tapa Meneng’ yang ia jalani sejak tahun 1936 dibawah bimbingan Kyai Daryatmo. Falsafah: Ojo Lali, Ojo Kagetan dan Ojo Dumeh merupakan fase pengalaman batin yang harus dilalui Soeharto sebelum mencapai level Meneng atau ‘diam’ (hal 31). Dengan Meneng, manusia diharapkan bisa mengalahkan dirinya sendiri menuju kesempurnaan hidup. Hasilnya, Soeharto berhasil menguasai jutaan manusia lain serta menguasai sistem masyarakat dalam tempo relatif lama. Soeharto pun termasuk orang Jawa yang setia pada ajaran ‘pituduh’ atau bimbingan dan sebisa mungkin menghindari ‘wewaler’  atau larangan dalam budaya Jawa. Satu contohnya, usaha Soeharto dalam  mengamalkan petuah ‘mikul dhuwur mendhem jero’, yang artinya sebisa mungkin mengangkat kebaikan orang dan menyimpan kesalahan orang tersebut. Meski memandang pendahulunya, Presiden Soekarno, memiliki kesalahan, namun Soeharto tidak mau mengadilinya (hal 36).
                                                                                                                
      Indonesia masa kini pun memiliki Jokowi sebagai representasi pemimpin yang sarat dengan falsafah budaya Jawa dalam memimpin. Profil Jokowi yang kelewat sederhana  dibanding jabatannya serta gaya kepemimpinannya yang merakyat refleksi nilai-nilai budaya Jawa: ‘ojo dumeh’ (jangan mentang-mentang). Memenangkan dua kali pemilihan Walikota Solo – periode II dengan angka di atas 90% -- yang berlanjut dengan terpilihnya Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta menjadi bukti kecintaan rakyat pada pemimpin yang bersahaja dan merakyat. Meski bermodal  kapital  relatif kecil dibanding lawannya, namun dengan pendekatan langsung ke rakyat kecil dan marginal, Jokowi menang dalam pilgub DKI. Falsafah yang dipegangnya adalah ‘Jaya Tanpa Banda’ (menang dengan harta yang tak berlebih). Kemenangan yang didapat pun tak membuatnya jumawa. Ia amalkan petuah bijak Jawa ‘Menang Tanpa Ngasorake’, mencapai kemenangan tanpa mempermalukan pihak yang kalah (hal 55). Usai pemilukada langsung menyambangi Fauzi Bowo, bahkan meminta maaf karena telah ‘menyusahkannya’. Sikapnya pun sangat terpuji ketika secara spontanitas mencium tangan Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah, mantan atasannya yang pernah menghina dengan mengatakan ia sebagai ‘orang bodoh’, padahal jabatannya sekarang setara dengan Bibit bahkan lebih prestisius.
      Tanpa menafikan keluhuran nilai-nilai budaya etnik lainnya, buku ini sekedar ingin memperkenalkan falsafah dan nilai budaya Jawa dalam praktek kepemimpinan ala Soeharto dan Jokowi.