Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Senin, 27 Agustus 2012

Komodo-Komodo di Kabinet


sumber gambar:wwwfblogs
     Kalau ditanya:  binatang apa yang paling menyita perhatian Bangsa Indonesia saat ini? Jawabnya tentu  Varanus Komodoensis alias Komodo. Ya, Komodo sekarang sedang naik daun berkat adanya dua perhelatan  di tingkat dunia maupun di level Asia Tenggara. Adalah lembaga New7 Wonder Foundation yang beralamatkan di Zurich, Swiss, sebagai penyelenggara event  bertajuk New7 Wonder of Nature ( tujuh keajaiban alam yang baru), dimana Komodo dari Indonesia sampai sejauh ini sudah masuk dalam daftar 10 besar dunia. Meskipun terdapat pro kontra terhadap kredibilitas lembaga penyelenggaranya,  paling tidak “event” tersebut turut melambungkan nama Komodo itu sendiri. Kedua, adanya event olah raga dua tahunan bagi bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara (SEA Games), dimana pada penyelenggaraan ke XXVI kali ini, Indonesia berkedudukan sebagai tuan rumah yang mengambil lokasi penyelenggaraan di  Palembang dan Jakarta.  Pemilihan Komodo – yang  diberi nama  Modo dan Modi—oleh pihak Indonesia SEA Games Organizing Committee ( INASOC) sebagai maskot  SEA Games 2011 sangatlah tepat.  Disini terjadi efektifitas kerja yang cerdas, karena ada dual promotion bagi Komodo dalam waktu yang berbarengan.
      Sebegitu pentingkah hewan Komodo bagi Bangsa Indonesia?  Bukankah Indonesia memiliki begitu banyak binatang yang tidak kalah eksotik dan langka dibanding Komodo? Sebagai negara  di daerah tropis, dengan alamnya yang subur dan berhutan-hutan,  Indonesia memang  termasuk sedikit negara di dunia ini yang memiliki diversitas flora-fauna yang kaya. Di antara ribuan spesies binatang yang dimiliki Indonesia, Komodo memang memiliki  posisi yang istimewa. Pertama,  Komodo merupakan spesies langka peninggalan jaman Jurassic – sekitar 150-200 juta tahun yang lalu – yang masih hidup di Bumi hingga kini.  Kedua,  Bangsa Indonesia wajib bersyukur karena meskipun dunia ini sangatlah luas, ternyata Komodo tidak dijumpai di lain tempat kecuali di Indonesia. Komodo hanya ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), tepatnya  di Pulau Komodo, dan beberapa pulau kecil disekitarnya.
     Perjuangan menjadikan Komodo sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia hendaknya didukung oleh semua lapisan masyarakat. Tidak terkecuali Presiden SBY maupun  Wakil Presiden Boediono dalam beberapa kesempatan memberi himbauan supaya masyarakat mendukung Komodo melalui Vote Komodo ke nomor 9818. Bila akhirnya Komodo menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia dan menglobal, dampaknya tentu akan positif bagi Bangsa Indonesia. Ke depan bisa diprediksi akan terjadi banjir  wisatawan  mancanegara (wisman) ke Indonesia untuk berkunjung ke NTT dan melihat secara langsung hewan Komodo di habitatnya yang asli. Seperti diketahui hingga saat ini proyeksi kunjungan wisman ke Indonesia kurang tersebar merata.  Rata-rata  mereka hanya “familiar” dengan Pulau Bali dan Keraton Yogyakarta.  Padahal, bila akhirnya  Komodo mendunia akan terjadi imbas positif, setidaknya Komodo bisa menjadi Ikon bagi Negara Indonesia dalam multi purpose dan semakin menancapkan image: Komodo adalah Indonesia dan Indonesia adalah Komodo. Ini akan persis dengan Australia yang dikenal sejagad sebagai Benua Kangguru, atau Panda sebagai ikon khas negeri China. Ini opportunity, karena di dunia ini sangat jarang  ada negara yang memiliki fauna khas yang sekaligus bisa menjadi ikon ataupun “brand” bagi bangsanya, kecuali Australia dan China. Bahkan, Thailand yang terkenal dengan julukan Negeri Gajah Putih tidak bisa serta merta mengklaim dirinya “pure” sebagai Negeri Gajah, karena faktanya binatang Gajah tersebar luas dari Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Begitupun Brasil, tidak mungkin menjadikan Ular Anaconda sebagai ikon negerinya, karena faktanya Anaconda bebas bermigrasi ke negara tetangga Brasil yang dilalui sungai Amazon, sehingga Anaconda menjadi milik beberapa negara. Lagi pula Anaconda memiliki banyak kemiripan dengan Ular Piton maupun Ular Sanca yang tersebar luas di seluruh dunia.
      Bila dikaitkan dengan situasi perpolitikan Indonesia saat ini,  Komodo pun  seakan  memiliki nilai yang sangat unik  serta “menentukan”.  Sekedar mengingat, pada reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II yang baru lalu memunculkan sedikit polemik pada individu  menteri-menteri yang saat ini sedang “berurusan” dengan Komodo.  Pertama,  pada Kementerian Pemuda dan Olah raga, di bawah Andi Malarangeng, sedang dibelit kasus dugaan suap pembangunan wisma atlit untuk penyelenggaraan SEA Games kali ini—dengan tokoh sentralnya  Nazarudin.  Publik menjadi terheran-heran, manakala  posisi  Andi Malarangeng ternyata tidak tergantikan  pada reshuffle yang lalu, meskipun Kementeriannya sedang ada masalah. Mau tak mau Andi Malarangeng sebagai Menpora harus mampu menghapus kesan minor  yang terlanjur hinggap di  kementeriannya, yaitu dengan menjadikan Komodo “Modo dan Modi”  berjaya dan menjadi juara umum pada SEA Games kali ini. Polemik kedua adalah terpilihnya kembali Menteri Mari Elka Pangestu (MEP) yang semasa menjabat sebagai Menteri Perdagangan menuai banyak kontroversi dengan  terjadinya banjir produk impor aneka kebutuhan pokok ke Indonesia. Lagi-lagi Presiden SBY dalam reshufflenya kemarin bikin “hatrick” dengan  mengejutkan banyak pihak. Pasalnya SBY ternyata masih mempercayai MEP untuk duduk dikabinetnya, sekedar yang bersangkutan hanya berseser posisi dari Menteri Perdagangan ke Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.  Bagi MEP tiada cara lain guna  menebus segala “kekurangannya” dimasa lalu, kecuali dengan cara  menjadikan Komodo sebagai salah satu keajaiban  dunia. Nampak menggelikan, dua menteri SBY yang tengah menjadi sorotan publik tersebut nasib kedepannya benar-benar “ditentukan” oleh binatang Komodo. Seribu lebih atlit dan ofisial Indonesia yang akan bertanding di SEA Games nantinya harus all out agar si Komodo “Modo dan Modi” bisa berjaya dan menjadi juara umum melalui raihan medali. Begitupun 240 juta rakyat Indonesia sisanya turut berjuang demi kejayaan Komodo melalui pijitan jempolnya di keypad hapenya masing-masing. (Medio, November 2011)

Hikayat Orang Kuat dan "Buaya" (Fenomena Cicak Vs Buaya)


     Samson, Hercules, Goliath, Bima adalah sosok-sosok makhluk kuat atau orang kuat dalam mitologi kuno. Deskripsi secara umum makhluk atau orang kuat tersebut adalah bertubuh besar-berotot dan tenaga super tanpa tanding. Namun kebanyakan dari mereka justru punya kelemahan dalam softskill, yaitu kurang perasa terhadap keadaan sekitar karena terdistorsi tubuhnya yang besar, dan kurang dalam kemampuan penalaran yang jernih karena lebih mengutamakan kerja  otot daripada kerja otak. Realitasnya, orang kuat tidak hanya ada dalam legenda dan mitos, Orang kuat benar-benar nyata eksistensinya di dunia. Dia ada di samping kiri-kanan dan depan-belakang kehidupan kita. Namun orang kuat di dunia modern ini bukanlah sosok seperti Bima dan kawan-kawan. Orang kuat di dunia nyata adalah makna konotatif yang melekat pada individu atau sekelompok individu dimana segala sumber daya yang ada dalam dirinya sering kali mampu mengatasi setiap hambatan pranata yang terbentuk di lingkaran kehidupannya. Orang kuat dengan segala kuasanya bisa menelikung siapa saja yang dipandang mengancam atau mengusik ketenangannya. Dengan kuasanya pula, orang kuat senantiasa mengabaikan dan akhirnya menjadi imun terhadap segala norma, hukum dan pranata di lingkungan sosialnya. Bahkan orang kuat sering kali mengidentifikasi dirinya sebagai aturan atau  hukum itu sendiri. “Hukum adalah saya, saya adalah hukum”, begitulah postulat yang mereka bikin sendiri dan dipaksakan untuk diterima secara mentah-mentah oleh lingkungan sosialnya.
Tumbal Orang Kuat
Sejak Indonesia berada dalam genggaman komunitas yang menamakan dirinya Orde Baru, pada periode itulah bermunculan orang-orang kuat bak jamur di musim penghujan hingga kini. Bangunan otoritatif Orde Baru kokoh tak tergoyahkan selama 32 tahun karena disangga oleh orang-orang kuat di bawah pimpinan orang super kuat, Soeharto. Dalam sejarahnya orang kuat senantiasa membawa tumbal – orang-orang lemah atau yang diperlemahkan – di setiap gerak langkah dalam merayakan privilege akan kekuasaannya. Dan, tentu saja orang kuat biasanya tidak tersentuh sanksi hukum sedikitpun atas perilaku sewenang-wenangnya itu. Siapa yang berani mengadili apalagi memberi vonis hukuman kepada orang super kuat Soeharto. Dalam contoh kasus pembunuhan aktivis perburuhan Marsinah di awal 90-an, orang kuat yang berada dibelakang kematiannya sama sekali tidak diciduk apparatus hukum. Orang kuat lain yang diduga sebagai dalang pemberangusan kebebasan pers – lewat operasi kotor penghilangan nyawa wartawan Bernas – Fuad Muhammad Syafrudin (Udin) dipertengahan 90-an hingga kini masih “tak terbaca” oleh kacamata hukum positif Indonesia. Bahkan operator lapangan yang notabene adalah orang lemah—setidaknya secara kuasa, moral dan kapital – dalam kasus Udin tersebut, hingga kini tidak terendus atau mungkin ada kesengajaan menutupi lubang hidung aparat penegak hukum agar tidak mampu mengendusnya. Contoh kasus berikutnya adalah pemberian asupan arsenic terhadap aktivis HAM, Munir, yang menyebabkan suami Suciwati tersebut perlaya – kala berada di pesawat yang membawanya dari Jakarta menuju Negeri Belanda—hingga kini meninggalkan jejak kecurigaan yang mendalam bahwa ada “sidik jari” orang kuat yang tertinggal. Lagi-lagi orang kuat masih melenggang dengan bebasnya.
Metamorfosis Orang Kuat ke Buaya
Fenomena orang kuat memang senantiasa mewarnai lika-liku konstelasi mainstream sosial, politik, hukum, ekonomi dan budaya di negeri ini. Anehnya, berbagai pengalaman buram pelanggaran HAM dan hukum yang melibatkan orang kuat selama ini, terkesan bahwa hukum kurang berdaya atau sengaja tidak diberdayakan. Kekisruhan “Kriminalisasi” aktivis antikorupsi pun tidak mengesampingkan peran orang-orang kuat atau setidaknya individu yang merasa dirinya kuat. Metafora buaya-cicak merupakan spontanitas alam kesadaran bagi pihak yang memaklumatkan istilah tersebut. Tanpa tedeng aling-aling, pihak tersebut mengidentifikasi dirinya dengan fauna buaya yang berprofil besar, kuat, ganas, tak terkalahkan dan suka memangsa apa saja yang dipandang lebih lemah dari dirinya. Dengan penuh keangkuhan sosok yang menjelmakan dirinya sebagai sang buaya mengatribusikan perumpaan hewan cicak kepada pihak lain yang dipandang secara subyektif lebih lemah dan  kalah berani dari dirinya. Sang buaya pun meradang bukan kepalang manakala mengetahui sang cicak dengan mata awasnya mulai meneropong segala tingkah laku dirinya. Imbasnya adalah diseretnya “cicak-cicak” dengan berbagai dalih yang serba simpang siur. Penyalahgunaan wewenang tiba-tiba menjadi frasa begitu penting yang digunakan untuk menelikung dua “pentolan cicak” tersebut. Padahal sudah puluhan bahkan mungkin ribuan kali penyalahgunaan wewenang menjadi duet kata yang hampir tidak bermakna di negeri ini, karena biasanya bisa digantikan dengan eufimisme kesalahan prosedur ataupun  kesalahan administratif dengan pamrih dimaklumi tanpa sanksi hukum apapun juga.
Boomerang
Ketika dalil penyalahgunaan wewenang bagai bergantung di benang lapuk dan tidak mempunyai landasan yang kuat dan tepat maka dicarikanlah formula tuduhan lain yaitu isu suap-menyuap, jika nanti isu tersebut kembali bisa dinihilkan karena tiada bukti yang memadai, entah dalil apalagi yang bisa dikenakan nantinya. Salah-salah dibelakang hari frasa penyalahgunaan wewenang bisa berbalik arah menjadi boomerang kepada pihak yang merasa dirinya kuat yang telah menyeret “dua ekor cicak”, sehingga credit title kisah selanjutnya bisa berubah menjadi diseretnya sang buaya akibat penyalahgunaan wewenang dalam menangani “dua cicak” tersebut. Pada akhirnya sang makhluk kuat, buaya, bisa mendapatkan pawang sepadan yang mampu mengatasi sepak terjang keganasannya. Dan semoga saja buaya jadi-jadian tersebut tidak mengalami kemalangan destruktif hingga akhirnya “dikuliti” untuk kemudian dibikin “souvenir”, dipajang dan dipertontonkan di “etalase sejarah” oleh khalayak pendamba keadilan di negeri ini.
(Medio : November 2009)