Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Senin, 05 Oktober 2015

Cak Nun Meneropong Poligami




Resensiku di Kedaulatan Rakyat, Medio: Okt '15

Judul Buku : Istriku Seribu                                          
Pengarang   : Emha Ainun Jadjib
Penerbit      : Bentang
Cetakan      : I, Agustus  2015
ISBN          : 978-602-291-117-3

Oleh: Danang Probotanoyo
     Membaca karya Emha Ainun Nadjib (akrab disapa “Cak Nun”) niscaya akan menambah cakrawala pengetahuan kita tentang banyak hal. Sosoknya memang dikenal sebagai manusia “multidimensi”. Kiranya tak ada yang menyanggah bila orang menasbihkan beliau sebagai budayawan, seniman, penyair, esais, musisi sekaligus pendakwah. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu membuat penyampaiannya memiliki beragam perspektif. Di atas panggung, audiens kerap tak sadar sedang mendengar “ceramah” rohani dari Cak Nun karena memakai medium kultural: musik, tetembangan, bahkan banyolan.

       Buku esai “Istriku Seribu” karya Cak Nun ini mengupas masalah poligami. Tentu saja tidak serta merta didedah secara telanjang dari kacamata dalil agama ansich. Diakui atau tidak, isu poligami sangatlah sensitif sekaligus seksis untuk dibahas. Pro dan kontra selalu terjadi kala menemukan praktik poligami di masyarakat. Dibukunya ini isu poligami diletakkan Cak Nun dalam konteks kehidupan bermasyarakat.

      Dalam konteks sifat Allah, ar-Rahim dimaknai sebagai “cinta ke dalam”, “cinta vertical”, “cinta personal” dalam diri Rasulullah terhadap Khadijah maupun Aisyah. Berposisi dialektis dengan ar-Rahman (cinta meluas, horizontal, keluar), yakni cinta dalam konteks sosial, saat Rasulullah beranjak sepuh. Implementasinya pada “istri sosial” yakni istri-istri yang diambil berdasar pertimbangan sosial: beberapa janda korban peperangan hingga sejumlah wanita teraniaya (hal 48). Bahkan konsep ar-Rahman bagi Rasulullah meluas lagi, yakni cinta beliau kepada umatnya. Hal ini nampak pada saat Rasulullah jelang wafatnya dengan menyebut “ummatiii…ummatiii…” alias “umatku…umatku..” Mungkin itulah sebabnya Allah menyediakan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim”, Rahman dulu baru Rahim, beres cinta sosial dulu baru ketenteraman cinta pribadi (hal 64).
 
Resensiku di Kedaulatan Rakyat, Medio: Okt 2015
   
 Syariat yang memperkenankan orang mengambil istri hingga empat kerap dijadikan legitimasi praktik poligami tanpa melihat dimensi lanjutannya. Padahal sudah terang benderang dalil “Kalau engkau takut tak akan bisa berbuat adil, maka satu istri saja.” Lalu, ada manusia sombong yang berani berkata “aku bisa berbuat adil!” Tidak sedikit para pelaku poligami saat ini kurang memahami “konsep” ar-Rahman dan ar Rahim. Mereka lebih mengedepankan “cinta pribadi” daripada “cinta sosialnya”. Memiliki banyak istri dengan “agunan” harta, bahkan harta tak halal, semisal korupsi.

     Dengan mengutamakan konsep cinta ar-Rahman, akan menuntun manusia untuk mencintai sesamanya tanpa perkecualian. “Cintaku memenuhi jiwaku, kalian semua adalah ribuan, jutaan istri ar-Rahman-ku. Kalian semua kuperistrikan demi cinta utamaku kepada ‘Yang Paling Berhak’ atas cintaku,” ujar Cak Nun puitis, mengungkapkan kecintaan kepada seluruh manusia, bukan hanya kepada satu, dua, tiga atau empat orang (wanita) saja (hal 59). Sebuah buku permenungan yang arif menyikapi fenomena poligami.

Danang Probotanoyo, Pegiat Literasi dan Sastra di Kampung UGM

Jumat, 02 Oktober 2015

Gara-Gara “Torpedo” Sapi



   Dul Kenthut sangat mempercayai mitos. Termasuk dalam hal mitos makanan. Dul Kenthut sangat menyukai “torpedo” sapi, yang dipercayanya mampu meningkatkan stamina pria dan mendongkrak kejantanan.



 
Termuat di Harian Joglosemar, Sept 2015
     “Benar Jim, setelah makan “torpedo” badan langsung fit dan bergairah,” kata Dul Kenthut suatu ketika pada Jim Belong. “Ah, itu hanya sugesti. Belum ada risetnya itu, Dul,” tukas Jim Belong. Gara-gara mempercayai mitos itulah, Dul Kenthut selalu minta jatah “torpedo” sapi hewan kurban di kampungnya. Idul Adha tahun lalu, kampungnya menyembelih empat kambing dan seekor sapi jantan besar. Jauh hari sebelum penyembelihan, Dul Kenthut sudah “mengkapling” bagian alat vital sapi itu sebagai jatahnya. Jim Belong, Molly Geli dan Yu Cebret sebenarnya juga ingin “torpedo” sapi itu. Bukan karena mitosnya, melainkan rasanya memang enak. Apalagi gratisan.  Saking takutnya “torpedo” sapi itu jatuh ke orang lain, Dul Kenthut bela-belain nongkrongi sapi itu terus. Tibalah saat penyembelihan. Sapi sudah diikat kakinya lalu digulingkan dalam posisi rebah menyamping. Dul Kenthut iseng-iseng jongkok memegang-megang “torpedo” sapi tak berdaya tersebut. Saking kuatnya Dul memegang, sapi itu  berontak. Kaki belakangnya menyepak tepat di tengah selangkangan Dul. Dul Kenthut terjengkang dan mengerang kesakitan sambil memegang bagian tengah selangkangannya. Dul pingsan dan dilarikan ke puskesmas. 

Maksud hati ingin makan “torpedo” apa daya justru “terpedonya” sendiri menjadi korban.  
Sejak itu Dul Kenthut trauma dan tak mau makan “torpedo” sapi lagi. Idul Adha kali ini, Jim Belonglah yang kebagian rezeki “torpedo” sapi kurban.

Danang Probotanoyo

Senin, 14 September 2015

Taplak Penutup Aurat



Oleh: Danang Probotanoyo
 
Termuat di Harian Joglosemar, Medio: Sept 2015
    
Tujuh belasan kemarin menjadi hari yang menyenangkan sekaligus memalukan bagi Dul Kenthut. Menyenangkan karena berkat kecekatannya, Ia mendapat bagian hadiah  mahal dari tim panjat pinangnya. Bila Jim Belong teman setim hanya dijatah hadiah sarung, Dul Kenthut dijatah DVD player. Setiap tim berjumlah empat orang. Dalam timnya, Dul Kenthut ditugasi naik paling akhir. Posisi orang terakhir sangat menentukan kemenangan. Orang terakhir mesti bejuang merayap ke atas mengambil hadiah. Sebab dengan empat orang saja tak mungkin bisa menjangkau hadiah meski sudah saling berdiri di atas pundak temannya.
       “Jangan aku yang paling akhir, mending Jim Belong yang terakhir,” protes Dul Kenthut saat didapuk timnya sebagai orang terakhir. “Kamu pengalaman manjat pohon kelapa, Dul. Kami yakin kamu bisa memanjat pinang itu meski dibaluri oli dan vaselin,” Jim Belong meyakinkan Dul Kenthut. Secara aklamasi mereka akhirnya menunjuk Dul Kenthut sebagai orang terakhir.    
Termuat di Harian Joglosemar, Medio: Sept 2015
     “Hidup Dul Kenthut, hidup Dul Kenthut,” sorak para supporter melihat kegesitan Dul Kenthut menaiki batang pinang yang licin itu. Hup, akhirnya Dul Kenthut berhasil menjangkau bambu tempat hadiah bergelantungan. “Hore, hidup Dul Kenthut!” Namun teriakan mengelu-elukan Dul Kenthut seketika menjadi ledakan tawa seluruh penonton. Pasalnya Dul Kenthut nangkring di pucuk batang pinang tanpa celana sama sekali. Rupanya sang celana terlepas saat menjelang finish karena kolornya putus. “Ini Dul, tangkap!” seru Jim Belong sambil melemparkan taplak meja panitia untuk menutup aurat Dul Kenthut. 

Jumat, 04 September 2015

Pintar Menghadapi Kemarau Panjang



Oleh: Danang Probotanoyo
 
Opini Saya di Minggu Pagi KR, Medio: M-I Sept 2015
    
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sudah memberi warning bahwa musim kemarau tahun ini bisa lebih panjang dari biasanya. Selain karena anomali cuaca, kemarau panjang juga sebagai dampak fenomena El Nino. Musim penghujan di sebagian wilayah Indonesia diperkirakan baru akan datang di bulan November. Padahal sekarang bulan Agustus saja dampak kemarau kali ini sudah menyebabkan bencana kekeringan di mana-mana. Di pemberitaan-pemberitaan tersiar banyak petani merugi karena tanaman padinya mati  kekeringan tidak tersentuh air. Tak kurang 24 kabupaten dari 35 kabupaten di Jatim mengalami bencana kekeringan. Begitupun di daerah Wonosari, pemda setempat sibuk dropping air bersih untuk keperluan sehari-hari di beberapa wilayahnya.
      Bagi warga yang tidak mengalami bencana kekeringan hendaknya lebih mawas diri dan bijak dalam memperlakukan dan mempergunakan air di sekitarnya. Pergunakanlah air secukupnya dan untuk hal-hal yang penting saja. Dengan kata lain harus berhemat air mulai sekarang. Hal itu bisa dilakukan dengan merubah kebiasaan dalam pemakaian air. 
Opini Saya di Minggu Pagi KR, Medio: Sept 2015
     Caranya sederhana saja. Bila selama ini mencuci pakaian dengan dua atau tiga kali pembilasan, maka sekarang cukup dengan sekali bilas saja. Asal pemakaian deterjen tidak over dosis, tentu pembilasan sekali sudah cukup menghilangkan sisa deterjen dan kotoran dari pakaian. Dari pengurangan pembilasan ini saja sudah bisa dihemat air bersih satu hingga dua ember. Kedua, kebiasaan menyiram jalanan di depan rumah atau halaman untuk mengurangi debu berterbangan jangan lagi memakai air bersih dari kran atau sumur. Pergunakanlah air sisa pembilasan saat mencuci pakaian tadi. Bisa pula mempergunakan air bilasan cuci perkakas dapur yang ditampung dalam panci atau ember. Ketiga, aktifitas mencuci kendaraan baik motor, lebih-lebih mobil, yang sangat boros air hendaknya dikurangi dalam hal frekuensi pencucian maupun volume air yang digunakan. Motor atau mobil yang dipergunakan setiap hari sangat wajar bila tertempel debu sedikit. Jangan sedikit-sedikit lantas dicuci. Ataupun kalau kita tergolong orang yang mudah risih dengan motor atau mobil yang sedikit kotor, maka cukup pergunakanlah sulak atau kemoceng untuk membersihkan debu yang menempel itu. Setelahnya bisa dilap memakai kain kanebo yang sedikit basah.

      Dari sedikit merubah kebiasaan dalam pemakaian air tadi, betapa banyak air bersih dari sumur kita atau dari PDAM yang bisa dihemat. Dengan begitu, musim penghujan yang datangnya masih berbilang bulan, tak merisaukan kita akan kekurangan air.
Danang Probotanoyo