Oleh: Danang Probotanoyo
Cerpen Saya, Termuat di Harian Joglosemar,
Medio: September 2012
|
Perjuangan Mulyono hampir memperlihatkan hasil. Bapak dan Emaknya sedang berdiskusi di ruang tengah. Yes, pikir Mulyono senang. Dua bulan tanpa lelah dan penuh kengototan, Mulyono membujuk mereka. Segala argumentasi sudah Mulyono sampaikan hampir tak bersisa. Perlawanan mereka mendekati titik akhir menjadi kemenangan Mulyono.
“Mul,
kesini sebentar. Apakah Kamu sudah berpikir masak-masak tentang hal itu? Kamu
yakin dengan pilihanmu itu?” Bapak memanggil dan langsung memberondong Mulyono
dengan pertanyaan.
“Benar,
‘Lek Yanto bisa membantu? Jangan-jangan nanti Kamu tertipu, Mul,” timpal Emak.
“Seperti
yang telah kusampaikan kepada Bapak dan Emak sejak kemarin-kemarin, tekadku
sudah bulat. Aku ingin mengangkat martabat keluarga kita. Aku ingin maju dan
berubah. Aku nggak ingin begini-begini saja. ‘Lek Yanto nggak mungkin menipu,
terlalu besar resikonya buat hubungan persaudaraan kita, Mak,” Mulyono
meyakinkan.
“Yanto
mungkin enggak, bagaimana dengan teman-temannya yang dimintain tolong itu?”
Emak menukas.
“Pasrah
saja , Mak, Kita percayakan saja kepada ‘Lik Yanto.”
“Dahulu,
menjadi petani adalah mulia, tapi, Kamu ada benarnya juga, Mul, jaman
sekarang menjadi petani bukanlah suatu pilihan yang tepat, tapi suatu keterpaksaan.
Lahan semakin menyempit karena banyak diincar orang kota untuk didirikan pabrik
dan rumah. Anak-anak muda di desa menjadi lebih suka kerja menjadi buruh di
pabrik itu daripada nggarap sawah yang kian menyempit. Lebih celaka, orang
pintar suka memperberat beban Kita, para petani, dengan mempermainkan harga
gabah dan pupuk. Sudah begitu, pemerintah malah ngimpor beras terus”, keluh
Bapak.
“Kalau
benar-benar sudah bulat tekadmu, nanti sore kalau Ahong jadi kemari lagi,
terpaksa aku akan melepas sertifikat sawah yang tinggal satu-satunya. Ke depan
sumber penghidupan kita nantinya tinggal dua Sapi, lima Kambing dan dua puluhan
pohon kelapa di kebon belakang rumah. Itu sudah cukup buat Kami berdua”, kata
Bapak.
Singkat
cerita, Mulyono sudah diterima sebagai pegawai negeri di salah satu instansi
kabupaten tempat kelahirannya. Semua berkat jasa ‘Lek Yanto yang bekerja di
bagian kepegawaian kabupaten itu. Sawah bapaknya seluas satu hektar hanya
dihargai Ahong senilai Rp. 80 Juta. Pas sekali dengan tarif SK untuk pegawai negara
yang dibeli Mulyono lewat ‘Lek Yanto. Orang tua Mulyono sudah tidak punya
pilihan. Sawahnya sudah terjepit beberapa bangunan pabrik yang menghambat
pengairannya. Belum lagi, secara diam-diam terjadi kongkalikong antara Ahong dengan
‘Lek Yanto. Tersudut akan kebutuhan uang untuk menjadikan anaknya sebagai pegawai
negari di kota itu, menjadikan orang tua Mulyono tak bisa mengelak penawaran sawahnya
dengan harga murah.
Mulyono
merasa nyaman. Status baru sebagai pegawai negari dengan gaji sedang telah Ia
dapatkan. Terkadang hatinya digelayuti kegundahan. Manakala melihat teman
sekantor berperilaku tidak lumrah. Semula ia mencoba bertahan untuk tidak
terbawa arus teman. Dia tetap datang ke
kantor paling pagi ketika Matahari belum meninggi. Dia pulang paling belakang
ketika sore hari telah menjelang. Lama-lama Ia merasa sendiri dan tak tahan.
Ah,
teman-teman tak disiplin pun tetap saja naik gaji dan golongan, ngapain juga
aku mesti yang membuka pintu dan menutup pintu kantor setiap hari. Sesekali aku
ingin santai juga seperti mereka. Pikir Mulyono yang mulai tergoda. Semenjak
itu Mulyono pun berperilaku sama saja dengan
kawan-kawannya sekantor. Didikan orang tua dan pembawaan alami sebagai pemuda
desa yang sarat dengan nilai-nilai kegigihan dan kerajinan dalam bekerja mulai
Ia tanggalkan. Dimulai dari berangkat lebih lambat 15 menit, 30 menit, 60 menit,
bahkan terkadang tak datang sama sekali. Sejauh ini tak ada teguran atau komplain
yang disampaikan atasan kepadanya. Semua seragam, dari atasan sampai bawahan
sama saja. Mulyono dan teman-teman termanjakan. Kerja tanpa beban, namun gaji
dan golongan selalu ada harapan di tahun depan. Terkadang telinganya risih juga
ketika di sembarang tempat orang ramai menggunjingkan : Huh, makan gaji buta!
Atau umpatan yang lebih menyeramkan : Dasar tukang korupsi!
Siapa
yang makan gaji buta?! Kami disini mbayar, kami disini berinvestasi, seperti
yang lainnya, menanamkan sejumlah modal awal untuk mendapat laba setiap bulan,
walau harus Kami akui hasilnya lebih tinggi dari pasaran. Kalian saja orang
sirik! yang tak berkesempatan sebagaimana Kami. Aku juga bukan tukang korupsi,
setidaknya hingga hari ini. Kalau urusan
waktu, sih, kami memang suka mencuri. Toh, hanya waktu, apa ruginya negara?
Begitulah yang ada di benak Mulyono jika sedang jengah dengan suara sumbang
masyarakat terhadap abdi negara.
Sampai
pada suatu saat, ketika masanya datang, Mulyono pun telah memiliki jabatan baru
sebagai Kasie Pengadaan di kantornya itu.
“Mul,
Kita ambil saja penawaran dari PT Patgulipat itu, memang sih mereka sedikit
lebih mahal dibanding proposal dari perusahaan yang lain. Namun apa ruginya
bagi Kita? mereka bisa memberi kita komisi, sedang yang lainnya tidak. Lumayan,
lho, nanti Kamu aku jatah delapan puluh juta,” bisik Drs. Sugihartana, M.Si,
atasan Mulyono di kantor itu.
Mulyono
bimbang, dirinya belum punya pengalaman untuk itu. Namun, karena perasaan tak
enak kepada atasan, dia pun goyah. Gila, nilai yang ditawarkan Pak Sugih, pas
banget dengan modalku waktu masuk kesini. Impas! ah, benar-benar kebetulan yang
ajaib! Dengan uang segitu aku bisa mengganti sawah Bapak dan Emak, walau
dapatnya pasti jauh lebih kecil dibanding milik mereka yang dulu. Dengan begitu,
pelan-pelan aku tak perlu mensubsidi mereka lagi setiap bulannya. Aku bisa
mulai menata masa depanku sendiri. Gumam Mulyono dalam hati.
“Kalau
itu maunya Bapak, saya tinggal ngikut saja. Yang penting kita tahu sama tahu,
ya, Pak,” putus Mulyono.
“Tenang
saja, Mul, semua pasti aman, karena Kita nanti tidak ditransfer via bank, melainkan
menerima secara tunai. Tidak perlu takut kepada PPATK atau KPK, to.”
Semua
seakan berjalan lancar dan menyenangkan. Mulyono telah menerima uang bagiannya
secara cash dari perusahaan itu.
gambar: skalanews |
Ketika
waktunya pulang untuk menengok kedua orang tuanya, Mulyono sekalian mencarikan
sawah pengganti buat garapan Bapaknya. Sepetak sawah kecil di tetangga desa
telah Ia dapatkan.
“Kami
sebenarnya tidak mengharapkan itu, Mul, itu sudah menjadi kewajiban Kami,” ujar
Bapaknya.
Enam
bulan berjalan dalam kenyamanan dan aman. Masa apes pun tiba. Pegawai auditor
Badan Pemeriksa Keuangan Negara mencium ada yang tidak beres dalam proyek yang
ditangani Mulyono tersebut. Mulyono resah bukan kepalang. Masalah telah
berpindah ke Polisi dan Kejaksaan. Mulyono berikut Sugihartana, atasannya,
akhirnya ditahan. Setelah sebulan penahanan berkas pun dilimpahkan ke
Pengadilan.
“Saudara
Mulyono, S.E, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi, untuk itu kepada terdakwa, Hakim memutuskan pidana penjara selama dua
tahun penjara dan denda sebesar…..,” Thok..thok,
palu pun di ketok Hakim, tanda putusan usai dibacakan.
Sebulan
setelah dipenjara, Mulyono dijenguk Ibunya. Mulyono memohon ampun kepada
Ibundanya tersebut. Dengan terisak, Mulyono berujar,” Tapi, darimana Aku mesti
membayar denda yang dijatuhkan Pak Hakim, Bu?”
“Tenang,
Mul, sawah yang Kamu belikan tempo hari, sudah terjual bersama dengan semua
Sapi, Kambing dan rumah Kita, Syukurlah
semuanya bisa menutup denda yang dijatuhkan Hakim kepadamu. Mengenai Bapakmu
yang lagi mondok di rumah sakit karena stroke mikirin Kamu, biarlah Ibu nanti
yang memikirkannya sendiri, Kamu enggak usah khawatir disini.”
“Tanpa
rumah Kita lagi, dimana Ibu tinggal sekarang?” tanya Mulyono sambil terisak.
“Tak
usah kau pikirkan aku, Mul. Pak Lurah berbaik hati menyuruhku tidur di bekas
lumbung padi desa, mumpung belum panen, setelah itu tak tahulah aku”, beber
Emak mengenaskan.
Mulyono
lunglai dan akhirnya pingsan. Impian menjadi pegawai negeri telah menyeret
dirinya ke bui, bapaknya masuk rumah sakit dan ibunya menjadi gelandangan tanpa
rumah. Tragis benar nasib koruptor itu.