Resensi Saya dimuat di KORAN JAKARTA,
Maret 2013
|
Judul Buku : Ensiklopedi
Istri-Istri Raja Jawa, Mengupas Kisah dan Biografi Istri-Istri Raja Jawa Berdasar Fakta
Sejarah
Penerbit : Araska
Penulis : Krisna Bayu Adji
Terbit : I, Februari
2013
Tebal : 166
ISBN : 978-602-7934-01-6
Apa yang terpikir hal seorang wanita Jawa bersuami? Bayangannya tentu
pada sosok wanita yang: penurut, tukang ngalah, ‘nrima’ dan sederet kepasrahan
berkonotasi inferior dan lemah. Citra positif seorang istri Jawa melekat pada gesture dan perilakunya: kalem, lemah-lembut dan gemulai. Itu semua
merupakan ciri umum seorang istri Jawa atau perempuan Jawa secara umum. Stigma
Inferioritas istri Jawa tadi menjadi sebuah kewajaran mengingat kuatnya konsep patriarki pada Budaya Jawa. Lelaki dalam ranah Budaya Jawa sering
diposisikan sebagai kaum yang dominan dan penentu. Beberapa ungkapan Jawa
mengilustrasikan itu, seperti: “Wanita itu, surga
nunut neraka katut,” artinya bahwa wanita hanyalah penyerta ketika laki-laki
(suaminya) mendapat kemuliaan; begitupun saat laki-laki (suami) celaka atau
sengsara maka wanita (istri) ikut serta pula. Ada pula ungkapan yang terdengar diskriminatif
bagi perempuan Jawa, yakni: kanca wingking. Terjemahan bebas
konsepsi kanca wingking adalah seorang istri Jawa, memiliki fungsi
“hanya” berkisar di area belakang atau area servis. Kegiatannya hanya seputaran:
sumur, dapur dan kasur. Mereka mesti terampil dalam urusan domestik rumah
tangga, seperti memasak, mencuci, mengasuh anak dan melayani suami.
Harkat dan martabat perempuan mulai terangkat setara dengan lelaki semenjak
adanya gebrakan “emansipasi” yang dilakukan R.A Kartini pada awal abad 20. Persepsi publik mungkin menganggap bahwa era
pra-Kartini, kaum perempuan (istri) Jawa senantiasa diselimuti kabut kegelapan,
keterbelakangan dan kebodohan. Lebih-lebih pada masa ketika Jawa masih berupa
kerajaan-kerajaan. Padahal tak selamanya begitu. Melalui bukunya yang berjudul
“ Istri-istri Raja Jawa, Mengupas Kisah dan Biografi Istri-istri Raja Jawa
Berdasar Fakta Sejarah”, Krisna Bayu Adji justru banyak memaparkan fakta yang
sebaliknya. Diantara cengkeraman budaya patriarki yang kuat, ternyata banyak
istri Jawa maupun para istri Raja Jawa yang memiliki peranan signifikan dalam scope rumah tangga, masyarakat maupun negara.
Buku ini mengupas dalam riwayat dan kisah
singkat istri para raja sejak masa Kerajaan Medang, periode Jawa Tengah
hingga masa Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman. Tak hanya istri Raja Jawa,
buku ini juga menguak kisah dan riwayat tokoh-tokoh wanita Jawa bersumber dari
Serat Centhini, prasasti, sejarah, legenda bahkan mitos yang hidup di
masyarakat Jawa. Berusaha mengungkapkan fakta bahwa tak selamanya wanita
mengalami keterkungkungan dalam jeruji patriarki, justru wanita di garda
terdepan yang memberi pencerahan.
Berpijak pada persepsi filosofis masyarakat Jawa, wanita dimaknai dengan
“wani ditata” dan sekaligus “wani nata”. Dalam pengertian wani ditata, wanita (istri) mesti
melaksanakan semua perintah suami, mengikuti apa mau suami. Wani nata, wanita berfungsi layaknya
tangan kanan suami, berani memberi pertimbangan atas pemikiran dan kehendak
suami, sehingga tercipta keputusan yang baik. Kerja sama layaknya sebuah tim
antara suami dan istri ini menjadi kunci keharmonisan rumah tangga dan
kemaslahatan masyarakat. Hubungan simbiosis
mutualisma antara suami-istri disimbolkan layaknya hubungan antara warangka dengan curiga (keris dengan sarungnya). Sejarah banyak mencatat dengan
tinta emas sepak terjang istri-istri Jawa dan istri para Raja Jawa yang
melebihi lelaki. Bila di jaman modern ini wajah hukum kita senantiasa terlihat
bopeng, tak lain karena hukum tak jua kunjung ditegakkan. Hukum masih senantiasa
memihak penguasa dan pengusaha (orang berduit). Padahal semasa Kerajaan
Kalingga, di Jawa Tengah, sekitar tahun 674 M, Ratu Shima sebagai penguasa
sekaligus seorang istri berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu, meski
hukum memakan korban anaknya sendiri (hal 105). Begitupun yang dilakukan Nyi
Ontosoroh, selaku istri simpanan pembesar Belanda berani menentang hukum
kolonial Belanda yang diskriminatif terhadap perempuan dan kaum pribumi. Ada
lagi kisah Roro Mendut, yang berani menentang sistem perpajakan yang tak adil
di masa Kerajaan Mataram. Roro Mendut pun ternyata mempelopori sistem pemasaran
rokok yang cukup canggih pada masa itu (hal 149).
Masih banyak lagi tokoh perempuan Jawa selaku istri orang biasa maupun istri Raja dalam buku ini yang memiliki andil dan kepeloporan di berbagai aspek kehidupan. Mereka antara lain: R.A. Kartini, Nyi Ageng Serang, Sri Pramodawardhani, Tribhuwana Wijayatunggadewi dan lain-lain. Buku ini sangat layak dibaca untuk membuka mata bahwa sejarah negeri ini ternyata dipenuhi wanita-wanita luar biasa. Koreksian untuk buku ini pada judulnya, ada ketidaksesuaian dengan isinya. Judulnya: “Istri-Istri Raja Jawa”, isinya justru mengupas semua wanita Jawa yang menonjol termasuk yang berkedudukan sebagai Istri Raja Jawa.