Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Selasa, 23 April 2013

Piala Oscar dan Kalungan Bunga Untuk Koruptor

Termuat di KORAN MERAPI, Medio: April 2013
      Secara etimologi, korupsi dari corruptus (latin), artinya tindakan yang merusak atau menghancurkan. Dalam bahasa Belanda disebut Korruptie berarti kebusukan, keburukan, kebejadan, ketidakjujuran; pun dalam Bahasa Arab disebut Riswah artinya penggelapan, kerakusan, amoralitas dan penyimpangan dari kesucian. Sampling tiga bahasa saja sudah menunjukkan tak adanya kebaikan secuilpun dari perilaku korupsi.
     Terjadi paradoks, para pelaku korupsi sama sekali tak merasa dirinya bersalah. Mereka tak ada empati sedikit pun terhadap  penderitaan nasib ribuan bahkan jutaan  orang miskin. Ada bayi anak orang miskin mati karena perlakuan diskriminatif rumah sakit, seorang nenek di Sumsel terpaksa mencuri singkong demi mengisi perut cucunya yang kelaparan atau serial drama bunuh diri ibu beserta anaknya di berbagai daerah akibat himpitan ekonomi, belum lagi jutaan anak putus sekolah karena ketiadaan biaya. Itu semua merupakan korban-korban yang nyata dari para koruptor.  Para koruptor mencuri uang negara yang seharusnya bisa untuk “ngopeni” jutaan orang miskin. Mereka layaknya “kanibal” yang tega memakan jatahnya orang miskin, sebagaimana dikatakan Ellias Canetti.  

sumber gambar: monsterbego.blogspot


Piala Oscar Untuk Koruptor
      Lebih tidak lucu  lagi, para koruptor justru berupaya meminta simpati dan dukungan  publik yang menjadi korbannya, ketika dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang berpura-pura mendadak “sakit” parah, tergolek tak berdaya di rumah sakit atau menampilkan muka memelas kemana-mana naik kursi roda. Mereka lihai berakting, waktu kampanye berakting akrab dengan rakyat serta berjanji  memperjuangkan nasib mereka. Setelah menduduki kursi kemudian korupsi lantas berakting sakit. Sungguh, mereka tak kalah piawai dibanding Jennifer Lawrence dan Daniel Day Lewis pemenang Piala Oscar 2013.
     Selain akting sakit,  menjadi trend di kalangan koruptor  memerankan dirinya sebagai “korban konspirasi” atau “orang terdzalimi”. Ada Susno Duadji yang merasa didzalimi oleh atasan, kolega dan institusinya ketika berstatus pesakitan. Simak juga erangan Angelina Sondakh di depan pengadilan yang menyebut mantan koleganya, M. Nazarudin, sebagai “manusia terjahat di muka Bumi” yang telah menyeretnya ke bui. Begitupun ketika mantan menpora, Andi Alfian Mallarangeng,  dijadikan tersangka dalam skandal  Hambalang, sudah tak terhitung lagi pembelaan Rizal Mallarangeng terhadap sang kakak seraya mengatakan “ada kekuatan besar” dibalik itu. Terlalu mudah ditebak bahwa pihak yang dianggap sebagai “kekuatan besar” yang menjerumuskan  Andi Mallarangeng sebagai tersangka adalah pemilik kekuasaan, baik di pemerintahan maupun internal partainya.
     Melodrama pembelaan koruptor terkadang perlu didramatisasi seheroik mungkin. Siapa yang tidak berdiri bulu kuduknya, kala melihat Anis Matta mengepalkan tinju ke angkasa berkomat-kamit melantunkan penggalan ayat suci dan meneriakkan nama Tuhan, sebagai reaksi ditetapkannya  Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS), sebagai tersangka kasus suap impor daging sapi. “Ada konspirasi besar untuk menghancurkan PKS”, lebih dramatis lagi: “ada konspirasi Zionis dibalik penetapan Luthfi sebagai tersangka”, begitu yang dikatakan mereka.
     Hal paling menggelikan saat Anas Urbaningrum, selaku (mantan) Ketua Umum Partai Demokrat ditetapkan KPK sebagai tersangka terkait kasus Hambalang. Dalam pidato pengundurun dirinya selaku Ketum Demokrat (23/2), secara eksplisit Anas mendudukkan dirinya selaku “korban” juga. Muncullah kalimat apologia “bayi yang lahir tak diharapkan”. Publik tentu paham telunjuk Anas  terarah ke partainya, tak terkecuali kepada SBY.  Ingatan publik jusru memandang sebaliknya: Anas adalah “anak angkat” kesayangan SBY. Anas ibarat anak yang pergi meninggalkan rumahnya di Komisi Pemilihan Umum (KPU), saat banyak komisioner KPU lainnya masuk bui karena korupsi. Anas hengkang ke Demokrat, partainya SBY. Sebagai anak baru di Demokrat, Anas dapat perlakuan istimewa dari SBY dan didudukkan sebagai Ketua Bidang Politik. Butuh waktu lama bagi orang lain untuk mendapat kepercayaan SBY yang sedemikian tinggi. Di tahun 2010 melalui kongres di Bandung, Anas bahkan menjadi orang nomor satu di jajaran DPP Demokrat alias menjadi ketua umum. Selain dukungan suara peserta kongres, tak bisa ditampik bahwa posisi ketua umum tentulah harus figur yang disukai dan direstui SBY. Di luar nalar, bila orang yang dibenci SBY bisa menjadi Ketum Demokrat. SBY melihat Anas sebagai sosok yang (konon) cerdas dan santun  sebagaimana harapan SBY bagi kader-kader di partainya.  Bagi SBY, Anas adalah aset berharga partai. Tak masuk akal bila Anas menganggap dirinya bak “bayi yang lahir tak diharapkan” (SBY), justru Anas adalah “anak adopsi” kebanggaan SBY. Apologi “bayi” Anas hanya upaya pengaburan masalah hukum untuk disulap menjadi kasus politik. Harapannya, publik bersimpati dan menganggap Anas sebagai korban kedzaliman. Mudah-mudahan publik lebih percaya KPK daripada Anas.  Publik hanya menanti Anas menepati janjinya berjalan bak ksatria menuju Monas. Rakyat tak sudi terhadap  akal-akalan politisi ikhwal teori konspirasi lagi.   
sumber gambar: tempo.co

Primordialisme Korupsi
     Selain akting para tersangka korupsi di atas, muncul pula fenomena “tim sukses” tersangka korupsi maupun sikap dukungan terhadap tersangka korupsi. Mereka membangun opini publik, kalau perlu dengan konferensi pers segala. Hal terbaru dalam jagad perkorupsian di Indonesia adalah membawa-bawa unsur primordialisme sempit dalam mendukung tersangka korupsi. Orang akan membela dan memberi dukungan “moril” kepada tersangka korupsi yang seorganisasi, satu komunitas ideologis bahkan kalau perlu primordial keagamaan. Dalam kasus suap impor daging sapi muncul tuduhan “ada konspirasi Zionis”. Tentu harapannya agar publik – yang  notabene mayoritas beragama Islam dan mendukung Palestina – akan jatuh hati dan bersimpati pada penerima suap itu.   Dalam kasus Anas Urbaningrum, berbondong-bondonglah mantan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang sekarang terwadahi dalam KAHMI, memberi dukungan kepada Anas. Tak terkecuali Mahfud MD, yang mesti tergopoh-gopoh menyambangi rumah Anas pasca ditetapkannya dia sebagai tersangka. Sebagai pendekar hukum, apakah tak sebaiknya Mahfud menengok Jamal, si sopir angkot, yang sempat meringkuk di sel polisi gara-gara dianggap lalai menyebabkan penumpangnya mati, loncat dari angkot itu? Hal yang tak pernah dialami Rasyid Rajasa, anak menteri yang menyebabkan dua orang mati sekaligus karena mengendarai mobil mewahnya kelewat cepat.
     Dari primordialisme organisasi sempit semacam itu bisa ditarik dua dua hal ironistik. Pertama, kelak memberi pelajaran kepada calon-calon koruptor di masa depan pentingnya masuk organisasi. Melakukan korupsi akan lebih pede (baca: percaya diri) bila ada payung organisasinya. Kedua, patut dipertanyakan konduite dan kredibilitas organisasi maupun oknum-oknum di dalamnya dalam menyikapi tindak pidana korupsi. Mestinya para koruptor tak layak dibela secara organisatoris maupun per-individu anggota, bahkan sekedar untuk dukungan moral pun tak pantas. Jelas-jelas korupsi itu tak bermoral, kok, didukung secara moral. Jangan beri karangan bunga juga buat mereka. Kalau sikap dukung mendukung itu diteruskan, lama-lama akan terjadi “banalitas” atas kejahatan korupsi sebagaimana pemikiran Hannah Arendt. Korupsi hanya dipandang sebagai kekhilafan biasa, jauh dari harapan sebagai extra ordinary crime. Mungkin para pendukung tersangka korupsi itu bersemboyan: “dukamu adalah dukaku/duka kita”. Asal saja tidak keterusan: “korupsimu adalah korupsiku/korupsi kita.”

Danang Probotanoyo, Mantan Aktivis’98, Pegiat Antikorupsi, Pusat Studi Reformasi Indonesia Alumni UGM