Termuat di KORAN MERAPI, Medio: April 2013 |
Terjadi paradoks, para pelaku korupsi sama sekali tak merasa dirinya
bersalah. Mereka tak ada empati sedikit pun terhadap penderitaan nasib ribuan bahkan jutaan orang miskin. Ada bayi anak orang miskin mati
karena perlakuan diskriminatif rumah sakit, seorang nenek di Sumsel terpaksa
mencuri singkong demi mengisi perut cucunya yang kelaparan atau serial drama
bunuh diri ibu beserta anaknya di berbagai daerah akibat himpitan ekonomi,
belum lagi jutaan anak putus sekolah karena ketiadaan biaya. Itu semua merupakan
korban-korban yang nyata dari para koruptor.
Para koruptor mencuri uang negara yang seharusnya bisa untuk “ngopeni” jutaan orang miskin. Mereka
layaknya “kanibal” yang tega memakan jatahnya orang miskin, sebagaimana
dikatakan Ellias Canetti.
sumber gambar: monsterbego.blogspot |
Piala
Oscar Untuk Koruptor
Lebih tidak lucu lagi, para
koruptor justru berupaya meminta simpati dan dukungan publik yang menjadi korbannya, ketika dijadikan
tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang berpura-pura
mendadak “sakit” parah, tergolek tak berdaya di rumah sakit atau menampilkan
muka memelas kemana-mana naik kursi roda. Mereka lihai berakting, waktu
kampanye berakting akrab dengan rakyat serta berjanji memperjuangkan nasib mereka. Setelah menduduki
kursi kemudian korupsi lantas berakting sakit. Sungguh, mereka tak kalah piawai
dibanding Jennifer Lawrence dan Daniel Day Lewis pemenang Piala
Oscar 2013.
Selain akting sakit, menjadi
trend di kalangan koruptor memerankan
dirinya sebagai “korban konspirasi” atau “orang terdzalimi”. Ada Susno Duadji
yang merasa didzalimi oleh atasan, kolega dan institusinya ketika berstatus
pesakitan. Simak juga erangan Angelina Sondakh di depan pengadilan yang
menyebut mantan koleganya, M. Nazarudin, sebagai “manusia terjahat di muka
Bumi” yang telah menyeretnya ke bui. Begitupun ketika mantan menpora, Andi
Alfian Mallarangeng, dijadikan tersangka
dalam skandal Hambalang, sudah tak
terhitung lagi pembelaan Rizal Mallarangeng terhadap sang kakak seraya
mengatakan “ada kekuatan besar” dibalik itu. Terlalu mudah ditebak bahwa pihak
yang dianggap sebagai “kekuatan besar” yang menjerumuskan Andi Mallarangeng sebagai tersangka adalah
pemilik kekuasaan, baik di pemerintahan maupun internal partainya.
Melodrama pembelaan koruptor
terkadang perlu didramatisasi seheroik mungkin. Siapa yang tidak berdiri bulu
kuduknya, kala melihat Anis Matta mengepalkan tinju ke angkasa berkomat-kamit melantunkan
penggalan ayat suci dan meneriakkan nama Tuhan, sebagai reaksi ditetapkannya Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS),
sebagai tersangka kasus suap impor daging sapi. “Ada konspirasi besar untuk
menghancurkan PKS”, lebih dramatis lagi: “ada konspirasi Zionis dibalik
penetapan Luthfi sebagai tersangka”, begitu yang dikatakan mereka.
Hal paling menggelikan saat Anas Urbaningrum, selaku (mantan) Ketua Umum
Partai Demokrat ditetapkan KPK sebagai tersangka terkait kasus Hambalang. Dalam
pidato pengundurun dirinya selaku Ketum Demokrat (23/2), secara eksplisit Anas
mendudukkan dirinya selaku “korban” juga. Muncullah kalimat apologia “bayi yang
lahir tak diharapkan”. Publik tentu paham telunjuk Anas terarah ke partainya, tak terkecuali kepada
SBY. Ingatan publik jusru memandang
sebaliknya: Anas adalah “anak angkat” kesayangan SBY. Anas ibarat anak yang
pergi meninggalkan rumahnya di Komisi Pemilihan Umum (KPU), saat banyak
komisioner KPU lainnya masuk bui karena korupsi. Anas hengkang ke Demokrat,
partainya SBY. Sebagai anak baru di Demokrat, Anas dapat perlakuan istimewa
dari SBY dan didudukkan sebagai Ketua Bidang Politik. Butuh waktu lama bagi
orang lain untuk mendapat kepercayaan SBY yang sedemikian tinggi. Di tahun 2010
melalui kongres di Bandung, Anas bahkan menjadi orang nomor satu di jajaran DPP
Demokrat alias menjadi ketua umum. Selain dukungan suara peserta kongres, tak
bisa ditampik bahwa posisi ketua umum tentulah harus figur yang disukai dan
direstui SBY. Di luar nalar, bila orang yang dibenci SBY bisa menjadi Ketum
Demokrat. SBY melihat Anas sebagai sosok yang (konon) cerdas dan santun sebagaimana harapan SBY bagi kader-kader di
partainya. Bagi SBY, Anas adalah aset
berharga partai. Tak masuk akal bila Anas menganggap dirinya bak “bayi yang
lahir tak diharapkan” (SBY), justru Anas adalah “anak adopsi” kebanggaan SBY.
Apologi “bayi” Anas hanya upaya pengaburan masalah hukum untuk disulap menjadi
kasus politik. Harapannya, publik bersimpati dan menganggap Anas sebagai korban
kedzaliman. Mudah-mudahan publik lebih percaya KPK daripada Anas. Publik hanya menanti Anas menepati janjinya
berjalan bak ksatria menuju Monas. Rakyat tak sudi terhadap akal-akalan politisi ikhwal teori konspirasi
lagi.
sumber gambar: tempo.co |
Primordialisme
Korupsi
Selain akting para tersangka korupsi di atas, muncul pula fenomena “tim
sukses” tersangka korupsi maupun sikap dukungan terhadap tersangka korupsi.
Mereka membangun opini publik, kalau perlu dengan konferensi pers segala. Hal
terbaru dalam jagad perkorupsian di Indonesia adalah membawa-bawa unsur
primordialisme sempit dalam mendukung tersangka korupsi. Orang akan membela dan
memberi dukungan “moril” kepada tersangka korupsi yang seorganisasi, satu
komunitas ideologis bahkan kalau perlu primordial keagamaan. Dalam kasus suap
impor daging sapi muncul tuduhan “ada konspirasi Zionis”. Tentu harapannya agar
publik – yang notabene mayoritas
beragama Islam dan mendukung Palestina – akan jatuh hati dan bersimpati pada
penerima suap itu. Dalam kasus Anas
Urbaningrum, berbondong-bondonglah mantan anggota Himpunan Mahasiswa Islam
(HMI), yang sekarang terwadahi dalam KAHMI, memberi dukungan kepada Anas. Tak
terkecuali Mahfud MD, yang mesti tergopoh-gopoh menyambangi rumah Anas pasca
ditetapkannya dia sebagai tersangka. Sebagai pendekar hukum, apakah tak
sebaiknya Mahfud menengok Jamal, si sopir angkot, yang sempat meringkuk di sel
polisi gara-gara dianggap lalai menyebabkan penumpangnya mati, loncat dari
angkot itu? Hal yang tak pernah dialami Rasyid Rajasa, anak menteri yang
menyebabkan dua orang mati sekaligus karena mengendarai mobil mewahnya kelewat
cepat.
Dari primordialisme organisasi sempit semacam itu bisa ditarik dua dua
hal ironistik. Pertama, kelak memberi pelajaran kepada calon-calon koruptor di
masa depan pentingnya masuk organisasi. Melakukan korupsi akan lebih pede (baca: percaya diri) bila ada
payung organisasinya. Kedua, patut dipertanyakan konduite dan kredibilitas organisasi maupun oknum-oknum di dalamnya
dalam menyikapi tindak pidana korupsi. Mestinya para koruptor tak layak dibela
secara organisatoris maupun per-individu anggota, bahkan sekedar untuk dukungan
moral pun tak pantas. Jelas-jelas korupsi itu tak bermoral, kok, didukung
secara moral. Jangan beri karangan bunga juga buat mereka. Kalau sikap dukung
mendukung itu diteruskan, lama-lama akan terjadi “banalitas” atas kejahatan
korupsi sebagaimana pemikiran Hannah
Arendt. Korupsi hanya dipandang sebagai kekhilafan biasa, jauh dari harapan
sebagai extra ordinary crime. Mungkin
para pendukung tersangka korupsi itu bersemboyan: “dukamu adalah dukaku/duka
kita”. Asal saja tidak keterusan:
“korupsimu adalah korupsiku/korupsi kita.”
Danang
Probotanoyo, Mantan Aktivis’98, Pegiat Antikorupsi, Pusat Studi Reformasi
Indonesia Alumni UGM