Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 30 Juni 2013

Reformasi Diolok-olok ‘Soeharto’



Reformasi Diolok-olok ‘Soeharto’
Oleh: Danang Probotanoyo
    ‘Soeharto’ mengejek dari bak-bak truk dan stiker-stiker, “Piye le kabare, penak jamanku  ta?” (Jawa).  “Bagaimana kabarnya nak, enak di zaman saya kan?”. Olokan yang sangat tendensius dan klaim sepihak.  Propaganda menyesatkan tadi bertebaran di mana-mana sekarang. Berusaha menggiring psikis Bangsa Indonesia untuk menyesali bahkan mengutuk penggulingan rezim Soeharto pada Mei 1998.  
     “Penak jamanku ta?” merujuk komparasi era Soeharto (Orba) berkuasa dengan era reformasi sekarang.  Klaimnya: zaman Soeharto dipersepsikan serba lebih enak dibanding sekarang. Acuannya pada dua parameter pokok yang cenderung pragmatis, yakni: sosial ekonomi serta  keamanan dan ketertiban di masyarakat. Betulkah era Soeharto lebih enak?
KKN ‘DNA’ Orba
      Era Soeharto, semuanya serba artificial, palsu, ditutupi dan ditekan. Segala yang nampak  ‘baik-baik’ saja, sesungguhnya kontradiktif dengan realita dan kosmetik belaka. Muaranya  demi ‘stabilitas nasional’ (baca: kestabilan kekuasaan Soeharto).
      Terlalu ceroboh klaim semasa Soeharto kondisi sosial ekonomi serta merta dikatakan lebih bagus. Tak perlu njlimet, argumennya sangat sederhana, bahwa pembangunan serta pertumbuhan ekonomi yang dicapai Soeharto ternyata memiliki pondasi yang keropos dan tak langgeng. Segala koar-koar kemajuan, nyatanya hanya mampu bertahan hingga 1997 saja. Ketika badai krisis moneter menerjang, orang baru siuman bahwa bangunan ekonomi rezim Soeharto sangat rapuh dan akhirnya ambruk karena tidak memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Perekonomian era Soeharto disangga tumpukan hutang luar negeri yang dahsyat. Selaras itu, sumber daya alam Indonesia dikuras asing kolaborator rezim. Terjadi paradox di era Soeharto: bangsa kaya raya SDA, tapi hutangnya segunung, rakyatnya pun banyak yang miskin. Biang keroknya mudah ditebak: bangsa ini dicekik korupsi. Angkanya membuat bergidik. Rata-rata 40% APBN bocor dikorupsi, itulah yang dikatakan begawan ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Trio: Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi ciri khas era rezim Soeharto. Segala perikehidupan  di zaman Soeharto tak luput dari KKN. Dari mengurus KTP, melamar PNS, masuk ABRI, menjala order proyek, bahkan mencari hutangan ke bank pun perlu KKN. Ingat, Edy Tanzil yang menggondol triliunan rupiah dari satu eks bank BUMN kala itu, berkat katebelece pejabat penting. Banyak  pengusaha di era Soeharto  meraksasa dalam sekejap berkat fasilitas, katebelece dan hubungan personal dengan pejabat yang kolusif dan nepotis. Ada tren pula, anak atau saudara pejabat menjadi konglomerat instan yang diendorse kekuasaan orang tua atau familinya. Mereka rakus memonopoli dan mengkapling negeri ini. Proyek penunjukan langsung dan berbagai fasilitas kemudahan yang eksklusif dinikmati sanak saudara dan kroni pejabat. Istilah ‘tata niaga’ marak saat itu, untuk menyamarkan ‘bisnis broker’ alias bisnis calo keluarga pejabat. Dari bisnis perdagangan cengkeh hingga jeruk Kalimantan dicaloi anak pejabat. Mereka meraup untung besar nyaris tanpa modal. Impor ribuan mobil oleh anak pejabat tanpa pajak menjadi modus culas  proyek ‘mobil nasional’.
     Bisnis percaloan keluarga pejabat Orba yang kolusif dan nepotism, sekarang  menurun dan bermetamorfosis menjadi pengkaplingan bisnis oleh orang parpol. Impor daging sapi ‘jatahnya’ Luthfi Hassan cs. Pengadaan Al Quran oleh Zulkarnaen Djabar dan anaknya, Dendy Prasetya. Fasilitas olah raga bagiannya M. Nazarudin dan rekan. Dana PPID teruntuk Wa Ode Nurhayati. Para koruptor tersebut bukan muncul ujug-ujug. Mereka lahir dalam lingkaran sistem dan budaya korupsi warisan Orba. Mental KKN yang kadung  mendarahdaging, sebagai jejak ‘DNA’ Orba. Penyebabnya karena anasir-anasir Orba pengidap KKN kronis justru bersimaharaja di setiap infrastruktur politik, lembaga negara dan birokrasi sekarang ini. Mereka menularkan  virus KKN kepada generasi pascaOrba.
Termuat di Koran Merapi, Medio: Juni 2013
      
Dus, orang Orba bermental korup masih mendominasi di era reformasi. Labelnya ‘zaman reformasi’, namun mentalitas dan karakternya masih Orba. Faktanya, reformasi telah dibajak para Orbais. Itu cukup sebagai penjelas terhadap tuduhan orang bahwa (seolah) era reformasi KKN-nya lebih marak daripada era Orba. Kuncinya ada di faktor informasi belaka. Zaman Soeharto nyaris tidak ada keterbukaan informasi publik. Pers dikontrol ketat, kebebasan bersuara dibungkam. Akibatnya, meski korupsi era Soeharto merajalela, namun pemberitaannya sangat minim. Hantu breidel bergentayangan dan sering memakan korban di era Soeharto. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dikooptasi rezim Orba. Pembedanya: kebebasan pers dan bersuara sekarang sudah lebih terjamin. Skandal korupsi besar kecil yang melibatkan pejabat atau kroninya tak akan luput dari santapan publik.
      Hal keamanan dan ketertiban masyarakat dikiranya lebih baik zaman Soeharto. Yang ada  rakyat ditekan habis-habisan. Rezim Soeharto kerap merepresi pihak-pihak yang berseberangan. Kasus penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996, Trisakti, penculikan aktivis dan penghilangan paksa orang merupakan catatan buram jelang Soeharto runtuh. Hak milik individu kerap diabaikan. Penggusuran kepemilikan tanah dan bangunan selalu mengatasnamakan ‘pembangunan’. Ganti rugi dilakukan semena-mena dan sepihak. Pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jateng bisa menjadi gambaran ketidakberdayaan petani manakala tanahnya ‘diminta’ negara. Yang Mbalelo dianggap tidak pro pembangunan, subversif, apes-apesnya distempeli PKI (Partai Komunis Indonesia). HAM menjadi tak begitu penting. Peluru kerap dimuntahkan aparat yang menelan korban rakyat. Tak terhitung, sudah berapa nyawa melayang dalam kasus-kasus seperti Tanjung Priok, Talang Sari, Sampang  dan masih banyak lagi.                   


Pelestarian Orba       
     Klaim ‘penak jamanku’ (enak zaman Soeharto) sangat menyesatkan. Dihembuskan anasir lama yang masih bercokol. Segala anomali sekarang tak lebih sebagai warisan Soeharto. Rakyat mudah rusuh, karena selama 32 tahun dikekang habis-habisan, tak pernah diajari hidup berdemokrasi dan tak ada pembelajaran keadaban dalam berbeda pendapat. Itu semua buah penyeragaman secara paksa di era Soeharto.
    KKN yang marak saat ini karena mentalitas dan budaya KKN sudah terbangun kuat sejak era Soeharto. KKN sebagai masterpiece Orba dilestarikan dan dibiakkan antek-antek Orba yang berkuasa. Perekonomian yang nampak indah sesaat di era Soeharto menyisakan problem dan hutang hingga kini. Kekayaan alam semakin habis diobral ke asing sejak dulu.    


     Tumpukan piring kotor yang ditinggalkan Soeharto tak juga dicuci, karena politisi dan penguasa binaan Soeharto masih berpesta hingga kini. Jadi, kalau zaman sekarang dianggap “tak enak”, itu tak lebih sebagai warisan era lalu yang dilestarikan antek-anteknya.

Sabtu, 08 Juni 2013

Yogyakarta Pelopor Polemologi, Kikis Kekerasan



Oleh : Danang Probotanoyo
     
     Bangsa Indonesia konon terkenal sebagai bangsa yang ramah, toleran dan suka bergotong royong. Namun faktanya, kerusuhan, amuk massa, tawuran dan perkelahian kerap kita saksikan dan kita baca dari berbagai media. Ironisnya itu terjadi nyaris setiap hari. Sebaran lokus kejadian juga merata, baik di perkotaan maupun di kawasan pinggiran; di Jawa maupun luar Jawa. Pelakunya pun tak mengenal status dan strata apapun. Laki, perempuan, tua muda bahkan belia pun terkadang ada di dalam pusaran kekerasan. Pemicu pelbagai bentuk kekerasan yang terjadi pun sangat beragam. Mulai dari yang bermuatan politis, rasa keadilan yang terabaikan (bisa subyektif), ketidakpuasan kelompok, menyangkut SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) hingga ke persoalan yang remeh temeh macam buntut pertandingan bola. 
Termuat di Harian Jogja, Medio: Juni 2013


Damai itu Indah
     Banyak kaidah nilai-nilai yang tercampakkan disini. Hukum seakan sudah tak mempan lagi untuk mencegah individu dan kelompok untuk melakukan kekerasan. Kohesifitas yang menjadi perekat bangsa selama berabad-abad dan menjadi ciri  khas Bangsa Indonesia mulai tergerus menjadi kotak-kotak kepentingan dan kelompok.  Namun yang pasti semua itu berhulu adanya  satu kegagalan di dalam sistem pendidikan kita.  Beberapa dekade ini, pendidikan nasional kita terlampau memfokuskan diri pada upaya pencapaian nilai mata pelajaran dan perkuliahan semata. Mendidik dalam hakikat yang utuh yakni menciptakan insan yang berilmu pengetahuan sekaligus berakhlak mulia terabaikan sekian lama. Bangsa Indonesia telah lupa pada ajaran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, yang menggariskan pentingnya  pendidikan yang yang berorientasi mengasah otak (Verstandelijke opvoeding) tanpa melupakan asah jiwa atau budi pekerti (Geestelijke opvoeding). Langkah untuk mengoreksi kesalahan ini memang memerlukan waktu yang tidak sebentar. Memformat ulang pendidikan yang bermuatan budi pekerti untuk merubah karakter bangsa tidak bisa sekonyong-konyong jadi. Namun demikian kekerasan dan kerusuhan yang masih saja terjadi, setidaknya bisa kita reduksi dengan menanamkan pengertian bahwa ‘Damai itu Indah’.  Kata ‘Damai’ tidak hanya untuk diteriakkan tapi harus diajarkan dalam pelbagai institusi pendidikan.
     Ilmu Perdamaian atau Polemologi seharusnya diperkenalkan di institusi pendidikan, sehingga ke depannya akan bermunculan para praktisi dan ahli perdamaian sebagai problem solver bibit pertikaian. Memang pada awalnya Polemologi (Latin, Polemos=Perang/Sengketa) merupakan ilmu yang mengajarkan perdamaian yang dikaitkan dengan peperangan. Polemologi lahir seusai Perang Dunia II. Bernama lain Irenologi (berasal dari nama Irene/Dewi Perdamaian, mitos Yunani kuno). Semula perdamaian dalam Polemologi diartikan sebagai kondisi tak ada perang. Polemologi dimaksudkan menciptakan perdamaian dengan mencegah peperangan (Negative Peace). Arti perdamaian yang sempit tadi oleh Johan Galtung (1979) diperluas menjadi Positive Peace. Menurut Galtung, Perdamaian positif adalah perdamaian yang ditandai adanya solidaritas, integrasi, pemerataan, keselarasan dan pemenuhan HAM. Polemologi bukan hanya soal mengusahakan perdamaian dari situasi perang. Polemologi menyangkut masalah Human Self Fulfillment, menyangkut permasalahan yang terkait budi pekerti dan nurani manusia. Poin pentingnya bahwa kekerasan fisik (termasuk perang) akan membawa korban manusia secara langsung. Namun kekerasan akibat ketiadaan budi pekerti yang baik serta absennya nurani akan membawa kesengsaraan dan penderitaan lebih luas dalam jangka panjang.
Yogyakarta Persemaian Perdamaian 


     Yogyakarta sebagai gudangnya para pendidik, ilmuwan dan budayawan, hendaknya bisa menjadi garda terdepan dalam pengkajian, pengembangan dan penerapan Polemologi. Polemologi butuh sentuhan budi pekerti dari pendidik, olah rasa dari budayawan serta riset dan implementasinya di lapangan oleh ilmuwan. Atmosfer Yogyakarta yang relatif ‘adem’ sebagai miniatur Indonesia, sarat dengan multikultur dan multietnik sangat pas bagi persemaian Polemologi. Apalagi di Yogyakarta-lah, Polemologi mulai diperkenalkan hampir tiga dasa warsa yang lalu. Sekitar tahun 1983-1985 Fakultas Filsafat UGM pernah menyelenggarakan seminar Polemologi untuk yang pertama kali di Indonesia. Mungkin karena Polemologi hanya dikaji sebatas filosofi sehingga  gaungnya sudah tak ada lagi sekarang ini. Padahal bila dikembangkan menjadi ilmu yang aplikatif sangat membantu mengikis kekerasan yang sedang mewabah sekarang ini. Mudah-mudahan institusi pendidikan dan ilmuwan di Yogyakarta tergerak untuk menggalakkan Polemologi sebagaimana kursus pendidikan antikorupsi yang marak belakangan ini. Betapa indah negeri ini, bila tidak ada korupsi dan kekerasan.    

Danang Probotanoyo, Pemerhati Sosial, Pusat Studi Reformasi Indonesia (CIRS) Alumni UGM