Judul
Buku : MENATAP INDONESIA 2015, Antara Harapan dan Tantangan
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Cetakan : I, 2015
ISBN : 978-979-709-896-4
Tebal
Buku : xvii + 285
Oleh:
Danang Probotanoyo
Pergantian tahun 2014 ke 2015 kali ini ditandai
dengan pergantian presiden. Indonesia memiliki presiden baru sejak sepuluh tahun terakhir. Era Susilo Bambang Yudhoyono yang
telah memimpin negeri ini selama satu dekade, berakhir pada tanggal 20 Oktober
2014. Ya, sejak itu pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan M.
Jusuf Kalla resmi menjadi presiden dan wakil presiden hingga 2019 mendatang. Melihat
rekam jejaknya ketika menjadi Walikota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta, rakyat
sangat berharap banyak Jokowi mampu
membawa perubahan saat menjadi RI-1. Sewaktu menjadi Walikota Solo, Jokowi
banyak menorehkan prestasi sehingga dirinya pernah
dinobatkan sebagai salah satu walikota terbaik di dunia. Di Solo, Jokowi memindahkan para PKL dari trotoar jalan ke pasar-pasar yang
dibangun khusus untuk mereka. Nyaris tanpa gejolak sama sekali. Jokowi
berkali-kali mengatakan, semua itu berkat “diplomasi makan siang” bersama para
pedagang yang akan direlokasi olehnya. “Diplomasi kultural” Jokowi terbukti berhasil.
Begitupun
saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi banyak
membuat gebrakan. Revitalisasi waduk di Jakarta serta merelokasi penduduk
bantaran sungai ke rusunawa adalah kiat Jokowi untuk
menanggulangi banjir di Ibukota. Demi meningkatkan
kinerja birokrasi pemerintahan DKI Jakarta, Jokowi membuat langkah fenomenal
dengan “lelang jabatan”.
Resensiku di Kedaulatan Rakyat, Medio: Januari'15 |
Namun, memimpin Indonesia tentu jauh berbeda dari “sekadar” memimpin
sebuah kota atau propinsi. Cakupan
permasalahan, jumlah penduduk, dan luasan wilayah Indonesia tentu jauh lebih besar dan kompleks daripada
Jakarta apalagi Solo. Belum lagi di akhir 2015
nanti Indonesia masuk dalam MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang penuh
tantangan. Ide dasar MEA adalah liberalisasi barang, jasa,
investasi, tenaga kerja terampil dan pasar modal dalam kawasan ASEAN. Dengan adanya arus manusia, modal dan barang yang bebas bergerak dalam MEA,
muncul kekhawatiran bahwa Indonesia – yang
berpenduduk 242,3 juta atau 40 % total populasi
MEA -- hanya menjadi target pasar. Hal itu sangat
beralasan mengingat kekuatan ekonomi Indonesia mencapai 878,2 milyar Dollar AS
atau sekitar 38 % kekuatan ekonomi ASEAN. Tanpa ada MEA
pun, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan negara ASEAN lainnya beberapa tahun belakangan. Defisit perdagangan
terbesar didapat dari Singapura dan Thailand.
Salah
satu penyebab rendahnya daya saing Indonesia adalah
infrastruktur yang buruk. Peringkat
infrastruktur Indonesia ada diurutan ke-61, Thailand (47), Malaysia (29),
Singapura (2). Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (82), Laos (84) dan
Filipina (96) (hal. 70). Pemerintahan Jokowi bertekad ingin memperbaiki secara
besar-besaran infrastruktur yang buruk ini. Jurus menaikkan harga BBM (pengalihan
subsidi BBM)
pun diambilnya per 1 November silam. Infrastruktur yang
buruk membuat investor asing kerap berpikir ulang bila akan berinvestasi ke Indonesia.
Beberapa investor kakap lebih memilih menanam modal ke negara tetangga. Samsung
Electronics dari Korsel membangun pabrik telepon genggam berkapasitas 40.000
pekerja di Vietnam. Blackberry asal Kanada juga menetapkan Malaysia sebagai
basis produksinya. Selain infrastruktur yang buruk, para calon investor kerap
dipusingkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Adanya aturan perijinan yang
berbelit-belit dan lama, serta masih maraknya pungli membuat para investor
terbebani ekonomi biaya tinggi. Alih-alih menjadi produsen untuk ekspor, para
pengusaha kita lebih suka menjadi importir barang made in luar negeri. Lebih murah dan bagus katanya. Cangkul dari
Tiongkok lebih murah dari cangkul buatan Ceper, Klaten.
Sulitnya
untuk memulai berbisnis di Indonesia tercermin dari survey yang dilakukan Data International Finance Corporation.
Menurut lembaga tersebut, Indonesia
berada di peringkat ke 120 dari 189 negara yang disurvey (2014). Singapura di
peringkat pertama, Malaysia (6), Thailand (18), Brunei (59), Vietnam (99),
Filipina (108). Penyebab rendahnya peringkat Indonesia: tingkat kesulitan untuk
mendapatkan pasokan listrik, rumitnya perijinan untuk memulai bisnis, aturan dalam
pembayaran pajak, pelaksanaan kontrak (hal 77).
Namun demikian, MEA harus dipandang sebagai
sebuah peluang daripada ancaman. Untuk itu perlu kerjasama dari semua pihak
agar tercipta iklim berusaha yang kondusif di Indonesia. Hindari kegaduhan
politik yang tak perlu dan berkepanjangan. Karena salah satu faktor sukses
Indonesia dalam menghadapi MEA adalah modal sosial yang telah dimiliki dan
menjadi ciri khasnya (hal. 187). Jangan lupa, saat
ini Indonesia sedang mengalami “bonus demografi” yang sangat menguntungkan dari
sisi produktifitas. Sebanyak 60-70% dari total penduduk Indonesia berada dalam rentang usia produktif (15-64
tahun). Bila semua penduduk produktif itu terkelola dengan baik, terserap dunia
kerja, niscaya akan meningkatkan produktifitas nasional secara signifikan.
Sebaliknya bila tak tersedia lapangan kerja dan buruknya iklim untuk berusaha,
bonus demografi menjadi sumber masalah baru. Terjadi penumpukan jumlah
pengangguran. Membaca
tuntas buku ini, niscaya akan membuat kita lebih optimis di tahun 2015 ini. Bangsa Indonesia harus percaya bahwa tantangan dan peluang bak dua sisi mata uang.
Di balik tantangan ada peluang. Tinggal bangsa ini mau mengambil peluang atau
malah gemetaran melihat tantangan bak melihat hantu.
Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumnus UGM