Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Jumat, 30 Januari 2015

Optimisme di Tahun 2015 (?)


Judul Buku : MENATAP INDONESIA 2015, Antara Harapan dan Tantangan
Pengarang  : Sri Hartati Samhadi, dkk.                                                               
Resensiku di Kedaulatan Rakyat, Medio: Januari'15
Penerbit      : Penerbit Buku Kompas
Cetakan       : I, 2015
ISBN           : 978-979-709-896-4
Tebal Buku : xvii + 285

Oleh: Danang Probotanoyo
     Pergantian tahun 2014 ke 2015 kali ini ditandai dengan pergantian presiden. Indonesia memiliki presiden baru sejak sepuluh tahun terakhir. Era Susilo Bambang Yudhoyono yang telah memimpin negeri ini selama satu dekade, berakhir pada tanggal 20 Oktober 2014. Ya, sejak itu pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan M. Jusuf Kalla resmi menjadi presiden dan wakil presiden hingga 2019 mendatang. Melihat rekam jejaknya ketika menjadi Walikota Solo hingga Gubernur DKI Jakarta, rakyat sangat berharap banyak Jokowi  mampu membawa perubahan saat menjadi RI-1. Sewaktu menjadi Walikota Solo, Jokowi banyak menorehkan prestasi sehingga dirinya pernah dinobatkan sebagai salah satu walikota terbaik di dunia. Di Solo, Jokowi memindahkan para PKL dari trotoar jalan ke pasar-pasar yang dibangun khusus untuk mereka. Nyaris tanpa gejolak sama sekali. Jokowi berkali-kali mengatakan, semua itu berkat “diplomasi makan siang” bersama para pedagang yang akan direlokasi olehnya. “Diplomasi kultural” Jokowi terbukti berhasil. Begitupun saat menjabat Gubernur DKI Jakarta, Jokowi banyak membuat gebrakan. Revitalisasi waduk di Jakarta serta merelokasi penduduk bantaran sungai ke rusunawa adalah kiat Jokowi untuk menanggulangi banjir di Ibukota. Demi meningkatkan kinerja birokrasi pemerintahan DKI Jakarta, Jokowi membuat langkah fenomenal dengan “lelang jabatan”.
Resensiku di Kedaulatan Rakyat, Medio: Januari'15
     Namun, memimpin Indonesia tentu jauh berbeda dari “sekadar” memimpin sebuah kota atau propinsi. Cakupan permasalahan, jumlah penduduk, dan luasan wilayah Indonesia tentu jauh lebih besar dan kompleks daripada Jakarta apalagi Solo. Belum lagi di akhir 2015 nanti Indonesia masuk dalam MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) yang penuh tantangan. Ide dasar MEA adalah liberalisasi barang, jasa, investasi, tenaga kerja terampil dan pasar modal dalam kawasan ASEAN. Dengan adanya arus manusia, modal dan barang yang bebas bergerak dalam MEA, muncul kekhawatiran bahwa Indonesia – yang berpenduduk  242,3 juta atau 40 % total populasi MEA -- hanya menjadi target pasar. Hal itu sangat beralasan mengingat kekuatan ekonomi Indonesia mencapai 878,2 milyar Dollar AS atau sekitar 38 % kekuatan ekonomi ASEAN. Tanpa ada MEA pun, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan negara ASEAN lainnya beberapa tahun belakangan. Defisit perdagangan terbesar didapat dari Singapura dan Thailand.
     Salah satu penyebab rendahnya daya saing Indonesia adalah infrastruktur yang buruk. Peringkat infrastruktur Indonesia ada diurutan ke-61, Thailand (47), Malaysia (29), Singapura (2). Indonesia hanya lebih baik dari Vietnam (82), Laos (84) dan Filipina (96) (hal. 70). Pemerintahan Jokowi bertekad ingin memperbaiki secara besar-besaran infrastruktur yang buruk ini. Jurus menaikkan harga BBM (pengalihan subsidi BBM) pun diambilnya per 1 November silam. Infrastruktur yang buruk membuat investor asing kerap berpikir ulang bila akan berinvestasi ke Indonesia. Beberapa investor kakap lebih memilih menanam modal ke negara tetangga. Samsung Electronics dari Korsel membangun pabrik telepon genggam berkapasitas 40.000 pekerja di Vietnam. Blackberry asal Kanada juga menetapkan Malaysia sebagai basis produksinya. Selain infrastruktur yang buruk, para calon investor kerap dipusingkan ketidakpastian hukum di Indonesia. Adanya aturan perijinan yang berbelit-belit dan lama, serta masih maraknya pungli membuat para investor terbebani ekonomi biaya tinggi. Alih-alih menjadi produsen untuk ekspor, para pengusaha kita lebih suka menjadi importir barang made in luar negeri. Lebih murah dan bagus katanya. Cangkul dari Tiongkok lebih murah dari cangkul buatan Ceper, Klaten.          
      Sulitnya untuk memulai berbisnis di Indonesia tercermin dari survey yang dilakukan Data International Finance Corporation. Menurut lembaga tersebut,  Indonesia berada di peringkat ke 120 dari 189 negara yang disurvey (2014). Singapura di peringkat pertama, Malaysia (6), Thailand (18), Brunei (59), Vietnam (99), Filipina (108). Penyebab rendahnya peringkat Indonesia: tingkat kesulitan untuk mendapatkan pasokan listrik, rumitnya perijinan untuk memulai bisnis, aturan dalam pembayaran pajak, pelaksanaan kontrak (hal 77).
    Namun demikian, MEA harus dipandang sebagai sebuah peluang daripada ancaman. Untuk itu perlu kerjasama dari semua pihak agar tercipta iklim berusaha yang kondusif di Indonesia. Hindari kegaduhan politik yang tak perlu dan berkepanjangan. Karena salah satu faktor sukses Indonesia dalam menghadapi MEA adalah modal sosial yang telah dimiliki dan menjadi ciri khasnya (hal. 187). Jangan lupa, saat ini Indonesia sedang mengalami “bonus demografi” yang sangat menguntungkan dari sisi produktifitas. Sebanyak 60-70% dari total penduduk Indonesia  berada dalam rentang usia produktif (15-64 tahun). Bila semua penduduk produktif itu terkelola dengan baik, terserap dunia kerja, niscaya akan meningkatkan produktifitas nasional secara signifikan. Sebaliknya bila tak tersedia lapangan kerja dan buruknya iklim untuk berusaha, bonus demografi menjadi sumber masalah baru. Terjadi penumpukan jumlah pengangguran. Membaca tuntas buku ini, niscaya akan membuat kita lebih optimis di tahun 2015 ini. Bangsa Indonesia harus percaya bahwa  tantangan dan peluang bak dua sisi mata uang. Di balik tantangan ada peluang. Tinggal bangsa ini mau mengambil peluang atau malah gemetaran melihat tantangan bak melihat hantu.     
 Danang Probotanoyo,  Centre for Indonesia Reform Studies, Alumnus UGM

Sabtu, 10 Januari 2015

Lensa Kamar Putih Fariz R.M.



Oleh: Danang Probotanoyo
Kau bawa diri dalam khayal lensa kamar putih/Pengisi sepi akrab selama ini/Berjalan kaku tak sanggup berlagu/Berjuta harta terkubur dibawah sadarmu/Wajahmu tak lagi cerah ayu, berganti sendu/Tubuh yang menuntut tak kompromi tak mau tahu/Kau jual diri sebagai pengganti jenuh dan frustrasi/Membiarkan racun datang mengabdi untuk meronta/Terlentang tak sadar di dalam lensa kamar putih/Mencari mimpi yang tiada berarti/Tenggelam kenyataan hidup ini dalam semu/Mencoba lupakan yang lalu...
(Lensa Kamar Putih, Fariz RM/1984)


Esai Saya di KORAN TEMPO, Medio: Januari 2015
       Itulah baris-baris lirik lagu berjudul “Lensa Kamar Putih” yang hits di sejumlah radio nasional pada medio pertengahan 1984. Pelantunnya adalah Fariz Roestam Moenaf, yang akrab dipanggil Fariz RM, seorang musisi multi instrumentalis, komposer, arranger sekaligus singer. Remaja era  80-an sangat mengidolakan sosok Fariz RM. Bukan hanya kepiawaiannya bermain musik, tapi wajah tampannya sangat digila-gilai para gadis di era 80-an. Fariz RM banyak disebut salah satu pembaharu musik pop modern Indonesia. Bersama komunitas pemusik di Pegangsaan, seperti Chrisye (alm), Jockey Suryoprayogo dan Keenan Nasution, Fariz mengubah haluan musik Indonesia dari musik-musik “mainstream mellow”, menjadi musik dinamis, modern dan keren. Orang zaman dulu bilang “musik gedongan”. Fariz RM menyeruak diantara musik-musik melodius-mendayu ala Rinto Harahap, Pance Pondaag, Obbie Mesakh dan lain-lain. Solo karier perdananya membuat kehebohan publik musik Indonesia. Di awal tahun 1980 itu, Fariz RM mencuat dengan albumnya “Sakura”. “Sakura” bukanlah album biasa. Fariz RM memiliki referensi bermusik yang sangat bagus dalam meramu “Sakura”. “Sakura” menyuguhkan musik-musik danceable yang tak lazim di zaman itu. Ada warna disco ala “Saturday Night Fever” dari The Bee Gees. Juga sentuhan rock n roll, blues dan jazz ala Al Jerreau, Genesis hingga Earth Wind and Fire. Komplit! Lebih gilanya lagi, album Sakura digarap Fariz RM hanya seorang diri di studio rekaman. Seluruh instrumen musik Ia mainkan seorang diri, begitupun urusan teknis rekaman lainnya. Tak urung, Fariz RM menjadi fenomenal saat itu. “Anak ajaib” atau “anak jenius” sempat disematkan media kepada Fariz RM. Kepeloporan itu menjadi satu-satunya di Indonesia hingga kini. Belum pernah ada dalam catatan seorang musisi membuat album rekaman begitu total seperti halnya Fariz RM di album “Sakura” itu. Fariz RM pun menjadi kiblat poros musik tertentu di Indonesia. Muncullah terminologi “Pop Progresif” atau “Pop Kreatif” sebagai penunjuk jenis musik yang dimainkan Fariz RM. Kemasyuran Fariz RM membuat dirinya banyak diajak dalam berbagai kolaborasi musik. Tercatat Fariz RM menggawangi aneka band berbeda waktu itu, seperti: Badai Band, SYMPHONY, WOW!, Jakarta Rhythm Section, GIF, Transs, Superdigi dan entah berapa lagi? Selain main band dengan banyak grup, Fariz RM pun kebanjiran order  mencipta lagu, berpasangan duet nyanyi hingga mengaransir musik bagi banyak penyanyi. Dari Iis Sugianto, Ari Koesmiran, Andi Meriem Matalatta, Ebiet G. Ade hingga Vina Panduwinata pernah memakai jasa Fariz RM dalam berbagai keahliannya. 
Esai saya di KORAN TEMPO, medio: Januari'15

       Seperti kata pepatah, sesuatu yang ada di dunia tiada yang abadi. Ada pasang ada surut. Begitupun yang terjadi pada diri Fariz RM. Perlahan namun pasti, kariernya meredup di pertengahan 90-an. Fariz RM pun “menghilang” bak ditelan Bumi. Tiba-tiba “muncul kembali” di tahun 2007. Masih menimbulkan kehebohan sebagaimana kemunculannya di tahun 1980 itu. Bedanya, di tahun 1980, Fariz RM mengguncang publik musik Indonesia dengan suguhan musik yang melompat melampaui zamannya. Tahun 2007, Fariz RM mengguncang publik dengan penangkapan dirinya karena tersangkut narkoba! Ya, saat itu Fariz RM terpaksa mendekam di sel karena kepemilikan ganja. Dengan kebijakan para hakim pengadilan yang menyidangkannya, Fariz RM “diampuni” dan dirujuk agar direhabilitasi dari ketergantungan pada narkoba. Selepas itu, Fariz RM bak terlahir kembali. Ia justru semakin sering tampil di panggung-panggung maupun layar kaca daripada sebelum terciduk aparat karena narkoba. Berbagai raihan prestasi sempat Ia dulang lagi bak era keemasannya dulu. Salah satu yang prestisius adalah Fariz RM dinobatkan Majalah Rolling Stone sebagai salah satu dari “25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Sejarah” atau “The Immortals” (Yang abadi) di tahun 2008. Nyaris sejak keluar dari sel di awal 2008 hingga Desember 2014, Fariz RM tanpa jeda main musik di mana-mana.
      Dan, roda pun berputar ulang. Tanggal 6 Januari 2015, selang sehari setelah dirinya merayakan ulang tahun ke-56, Fariz RM kembali ditangkap polisi di rumahnya. Oleh Satuan Reserse Narkoba Kepolisian Resor Metro Jakarta Selatan, dirinya disangka menggunakan narkoba jenis heroin, ganja, dan sabu. Apa yang ada dalam lirik lagu “Lensa Kamar Putih” milik Fariz RM di awal tulisan ini, memberi gambaran bahwa narkoba nyata dalam meracuni, mengubur dan menenggelamkan para pemakainya. Bakat, karakter, harta serta raga semua tergadaikan demi mimpi semu yang ditawarkan narkoba. Kiranya tepat, apa yang disampaikan Presiden Jokowi dalam kuliah umumnya di UGM (9/12) bahwa negeri ini berada dalam darurat narkoba. Jokowi pun bertekad memerangi narkoba dengan tidak memberikan grasi pada pengedar narkoba.  
Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM