Oleh: Danang
Probotanoyo
Mantan
keyboardis Godbless, Yockey Suryo Prayogo, berujar di facebook (26/7), “Generasi musik pop sekarang ini harus sadar diri
bahwa mereka tidak menghasilkan produk-produk kultur pop yang lebih baik dari
generasi-generasi sebelumnya. Generasi hari ini lebih banyak tampil sebagai
konsumen yang mengkonsumi mentah-mentah produk budaya asing tanpa 'pendalaman'
untuk mengadaptasikannya dengan persoalan budaya yang terjadi ditengah
masyarakatnya sendiri.” Sebuah
kritikan dari maestro musik Indonesia terhadap (kualitas) musik Indonesia masa
kini.
Esaiku di KORAN MERAPI, Medio: Nov 2015 |
Jujur,
musik Indonesia kini (secara umum) mengalami kemunduran segi kualitas dibanding
masa-masa sebelumnya. Hal yang menonjol dari musik Indonesia masa kini adalah
kemampuannya mengakselerasi popularitas dan pundi-pundi materi pelakunya. Singkatnya,
kapitalisasi industri musik (juga
hiburan) Indonesia telah mengubah wajah humanisme para pelakunya. Budaya instan
di dunia musik saat ini kerap mengabaikan segi estetik dan tematik yang sarat
makna dan pesan. Tentu mereka yang “berani” keluar dari hegemoni budaya instan
dan berpaling dari tema-tema mainstream,
menjadi perkecualian.
Tema musik Indonesia kekinian menderita
keseragaman: dangkal dan teralienasi dari isu-isu sosial, kemanusiaan dan
lingkungan. Generasi musik sekarang gagap memberi makna kehidupan melalui karya
musikal. Patah hati, perselingkuhan, cinta yang banal dibumbui kosa kata alay
dan lebay mendominasi karya musik masa kini. Nyaris tiada ketertarikan mengangkat
masalah sosial, kemanusiaan dan lingkungan. Di titik itulah kemerosotan “kualitas”
musik Indonesia. Padahal musik Indonesia dulunya kaya warna dalam genre, performance maupun tema. Misalnya musik
bertema lingkungan hidup bertaburan sosok-sosok: Ully Sigar Rusady, Ritta Rubby
Hartland, Franky dan Jane, Leo Kristi hingga Ebiet G. Ade. Namun tidaklah haram
bila musisi lainnya mengangkat tema lingkungan hidup. Itulah pembuktian bahwa
musik (musisi) zaman dulu memiliki kepekaan terhadap fenomena di sekelilingnya.
Esaiku di KORAN MERAPI, Medio: Nov 2015 |
Bencana alam yang kerap melanda, meski
menyedihkan, pewartaannya di televisi bisa lebih “artistik” bila memakai musik latar
dengan tema yang pas. Itu bisa lebih menyentuh kalbu pemirsa demi menumbuhkan empati
dan mawas diri. Salah satu contoh bencana adalah kekeringan. Tahun ini sebagian
wilayah Indonesia diterpa kekeringan akibat musim kemarau yang cukup panjang. Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memastikan sejumlah daerah akan
mengalami hari tanpa hujan yang cukup lama. Kemarau yang panjang juga sebagai
dampak fenomena El Nino. Di Jawa Timur, 24 kabupaten dinyatakan darurat
kekeringan (Republika 29/7). Di banyak pelosok Nusantara, petani gagal panen akibat
kemarau berkepanjangan. Bendung Katulampa
sebagai “alarm” banjir kiriman dari Puncak ke Ibukota kini hanya menyisakan
debit air 100 liter per detik. Kondisi normalnya bendungan ikonik itu bisa
mengalirkan 20.000 liter air per detik. Kemarau kali ini sungguh menyayat hati.
Bencana kekeringan akibat kemarau
panjang sudah menjadi tema musisi masa lampau. Grup band asal Bandung, The
Rollies, yang kerap memainkan jazz rock, soul, funk hingga pop menggubah lagu “Kemarau”
pada 1978. Band yang dibentuk medio 1967
digawangi antara lain oleh Bangun Sugito (Gito Rollies), Deddy Stanzah, Delly
Rollies, Oetje F. Tekol, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa membawa warna baru
dengan mengusung brass section dalam
musiknya. Publik yang berumur 40-an tahun atau lebih kiranya sangat lekat
dengan lagu “Kemarau” The Rollies. Lagu tersebut menjadi backsound program acara bincang-bincang seputar lingkungan hidup di TVRI kala itu.
Lagu yang diciptakan Oetje F. Tekol ini sangatlah cocok untuk merenungkan kemarau
panjang yang berbuntut bencana kekeringan saat ini. Panas nian kemarau ini/ Rumput-rumput pun merintih sedih/ Resah tak
berdaya diterik sang surya bagaikan dalam neraka/ Curah hujan yang
dinanti-nanti/ Tiada juga datang menitik/ Kering dan gersang menerpa bumi yang
panas bagai dalam neraka/ Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh
lagi/ Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi. Kekeringan
alias berkurangnya atau hilangnya air permukaan bukan semata akibat kemarau
yang panjang. Susutnya air permukaan juga disebabkan ulah manusia sendiri. Tanah-tanah
kosong yang sejatinya untuk meresapkan air hujan, sekarang telah banyak ditutup
aneka bangunan. Air hujan yang turun sebagian besar justru digiring masuk ke
drainase langsung ke laut. Pantas saja kalau air tanah kian berkurang. Hutan yang
berfungsi sebagai tempat penyimpan air, melalui akar-akar pohonnya, digunduli
dijadikan area pertambangan dan perkebunan sawit. Itulah yang paling disesalkan
The Rollies dalam kalimatnya: Mengapa,
mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi. Berkat kepeduliannya
itu, The Rollies dianugerahi “Kalpataru”, sebuah “award” prestisius di bidang
pelestarian lingkungan, oleh Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, tahun 1979.
Selain The Rollies, setelahnya ada
Prambors Band yang mengusung tema “Kemarau” dalam salah satu karyanya. Berbeda
performa “Kemarau” The Rollies, yang rancak dengan atraksi tiupan terompet,
saxophone dan trombone, “Kemarau” Prambors Band lebih soft, sendu, puitik
bahkan hiperbolik nan getir. Tiada
ranting yang rimbun/ Daun pun berguguran/ Mata air pun kering tiada titik embun
turun/ Saat itu, kemarau yang datang/ Hati gersang dan berdebu/ Curah hujan
tiada turun/ Membasahi jiwa ini/ Tiada pohon yang rindang/ tempat berteduh diri/
Air mata pun kering suara hati pun membisu/ Saat itu, kemarau yang datang/ Cita
hati t'rasa sendu/ Cah'ya mentari t'rasa panas/ Menyinari jiwa ini/ Kapankah
mendung datang mengalun/ Mengusir kemarau kali ini/ Tapi sabarlah diri menanti/
Pasti kemarau pergi berganti.
“Kemarau” milik The Rollies dan Prambors
Band kiranya meniupkan spirit dan etos kepada kita agar menjaga lingkungan
hidup. Lebih dari itu, lagu “Kemarau” milik dua band itu memberi ruang
kontemplasi dan pemaknaan di tengah derita kekeringan. Dari situ diharapkan
muncul kepedulian dan aksi nyata usaha preventif terhadap kemarau-kemarau yang
akan datang agar tak berdampak kekeringan. Sehingga bila kemarau panjang datang
lagi tidak berteriak Panas, panas, badan
ini panas, pusing, pusing kepala ini pusing... (Band Gigi).
Danang
Probotanoyo, Aktivis Literasi & Sastra di Komunitas “Kampung UGM”