Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 14 Juni 2015

Cara Radhar Merayakan Demokrasi



Judul Buku : Manusia Istana, Sekumpulan Puisi Politik    
Resensi Saya di KORAN TEMPO, 14 Juni 2015

Pengarang  : Radhar Panca Dahana

Penerbit      : Bentang

Cetakan       : I, Maret  2015

ISBN           : 978-602-291-047-3

Oleh: Danang Probotanoyo
      Meski di pengantar buku bersampul gambar karikatur manusia menari berbalut warna dominan gelap yang artistik ini Radhar Panca Dahana tak menyinggung anniversary dirinya, namun tetap sah bila ada yang menuduh buku ini penanda lustrum kesepuluh sang penulis. Maret, di bilangan 26, bertahun “wingit”: 1965, Radhar Panca Dahana mengejawantah manusia sempurna setelah dalam peraman gua garba Ibundanya sembilan bulan. “Manusia Istana” menjadi buku kumpulan puisinya yang ke-5 dari total 21 buku penerima “Le Prix des pays Francophonique” (award “persemakmuran” bekas koloni Perancis) itu. Maklum, Radhar adalah sosiolog lulusan Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Paris, Perancis. “Manusia Istana” menjadi adik “Lalu Aku”, buku  puisinya yang lahir 2011 silam.

      Meski belum setua sastrawan Sapardi Djoko Damono atau Taufik Ismail, petualangan Radhar di ranah sastra bertunas sejak belia. Bayangkan, usia 10 tahun telah berhasil menembus keangkeran “screening” redaktur desk cerpen Kompas. “Tamu Tak Diundang” nyatanya terundang sebagai tamu lembar cerpen Kompas kala itu. Ketika ibunya menancapkan selosin lilin di kue ulang tahunnya, Ia sudah didapuk menjadi redaktur tamu di majalah Kawanku. Hanya orang sirik yang mendustakan pengakuan bahwa Radhar kecil adalah “anak ajaib”. Talenta Radhar tidaklah mekar bersiram fasilitas apalagi support orang tua, khususnya sang ayah. Ayahnya, sebagaimana Brotoatmojo – ayah Willybordus Surendra Bhawana Rendra Brotoatmojo, alias W.S Rendra  – adalah tipikal ayah keras, yang meyakini penyair bukanlah profesi menafkahi. Mungkin “roh” Plato yang menuding penyair sebagai warga kelas dua dan lebih inferior dibanding intelektual (baca: filsuf) pernah merasuki kedua ayah sastrawan kita itu. Entahlah. Minggat dari rumah menjadi ritual  Radhar dan Rendra muda saat dalam tekanan ayah masing-masing. Bumbu kekerasan fisik ayah terhadap anak menjadi pembeda nasib Radhar dan Rendra. Betapa Radhar muda sudah katam diterjang kerasnya tangan sang ayah. Phobia ayunan  tangan sang ayah, membuat Radhar bergidik dan menyaru menjadi Reza Mortafilini di media massa. Tangan sang ayah rupanya memiliki radar penjejak yang canggih. Kamuflase Radhar muda terdeteksi sudah. “Tak ada demokrasi di sini!” begitulah kalimat penutup Radhar muda dengan bibir berdarah kala oncat dari rumah untuk kesekian kali. Di titik ini Rendra sedikit lebih “mujur”.  


      De Javu, teriakan “Tak ada demokrasi di sini!” manifesto “politik” Radhar muda menghadapi otoritarianisme ayahnya, berinkarnasi dalam “Manusia Istana”. Tiga puluh satu judul puisi berlumuran tema politik menyiratkan itu. Bukan lagi perlawanan terhadap ayahandanya, tapi “umpatan” kekesalan Radhar terhadap segala penyimpangan berhela kepentingan dan kelompok politik negeri ini. Politik yang mestinya menjadi piranti untuk mewujudkan cita-cita bangsa justru kerap beralih fungsi sebagai pisau pembelah anak bangsa di tangan politisi banal. Bak anak kecil main perang-perangan: bersekutu merebut menang.  Begitupun politisi kita hari ini: berkubu merebut bangku kuasa. Masing-masing kelompok merasa benar sendiri bahkan merasa paling berhak atas negeri, terwujudlah laku korupsi. Nilai kegotong-royongan dan kebersamaan yang terformulasikan “jimat” Pancasila buah karya founding fathers, menjadi teks semata tanpa pemaknaan.

Ini negeri/ bakal runtuh dan belah/bila yang lima kau pecah/bila sila silanya berbuah serapah (“Warisan Akhirmu Soekarno” hal: 43).

     Demokrasi yang tereguk sebagai buah perjuangan dan pengorbanan anak-anak muda di tahun ’98, tidaklah hakiki. Sekadar demokrasi formalitas, tapi nihil esensi. Demokrasi hanya sebatas kontestasi pencoblosan gambar di ruang kedap mata. Setelah seremoni dengan imbalan tinta di jari, orang terpilih justru amnesia daulat dan amanat rakyat. Sesumbarnya: “kami petugas partai!” Daulat rakyat berganti daulat partai, daulat ketua umum bahkan daulat makelar politik penyokong kapital.  
Resensi Saya di KORAN TEMPO, Edisi: Juni'15

Pemilihan besar ini sekadar opera/dengan aktor aktor yang hina/ sutradara durjana dan musik yang genit membuat lupa/ /juragan juragan picik tak sabar menunggangi sejarahmu/ menguliti habis kuasamu/ memeras kering harta rakyatmu/ inikah arti pesta itu?/ tangis berjuta di kakimu?/ inikah hasil kemenangan itu?/ Kontrak kontrak politik, bisnis, garansi modal kekuasaanmu? (“Air Mata Umara 2”, hal: 71).

     Di buku ini Radhar  menyatroni nyaris semua isu politik yang bergentayangan di negeri para politisi ini. Bahkan yang teraktual Ia lumat tandas menjadi residual kata-kata artistiknya.

Cerita retorika dimainkan/ kebijakan diputuskan/ perdebatan digulirkan/ ramai benar rumah negara kita/ seolah benar negeri ini ditata/ tapi di ujung telepon/ atau sudut ruang pemerintahan

tekanan tawar menawar dan ancaman/ mendahului semua cerita/ melampaui segala prakira. (“Sejilid Komik Kritik Politik”, hal: 131). Puisi tadi boleh jadi pengisahan sengkarut pencalonan durjana bakal kepala bhayangkara. Bisa pula tidak. Terserah pembaca menafsirkannya. Toh, Paul Ricoeur sudah berwasiat bahwa teks bersifat polisemis, tergantung kita memaknainya.

     Buku puisi penanda Radhar Panca Dahana setengah abad ini sungguh paripurna. Sayangnya, di antara deretan tokoh yang “mengendorse” buku ini terselip satu nama yang mengganggu:  seorang politisi yang sedang dibui karena korupsi! Sayang!   

Danang Probotanoyo, Aktifis Literasi dan Sastra “Komunitas Kampung UGM”