Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Rabu, 31 Juli 2013

Jejaring Sosial di Bulan Ramadhan




Termuat di KORAN MERAPI, Medio: Juli 2013
Jejaring Sosial di Bulan Ramadhan
Oleh : Danang Probotanoyo
     Meski tahun 2013 ini, umat Muslim di tanah air memulai puasa Ramadhan 1434 H tidak bersamaan – ada yang mulai tanggal 9 Juli dan 10 Juli – namun hal itu tidak perlu dipermasalahkan. Semua pasti memiliki dasar masing-masing dalam menentukan datangnya bulan Ramadhan. Semuanya tentu ingin melaksanakan ibadah puasa Ramadhan yang telah menjadi kewajibannya, sebagaimana difirmankan dalam Al Qur’an (Al Baqarah: 183): “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa.”

      Yang perlu menjadi pemikiran bersama  adalah kualitas dari ibadah puasa itu sendiri. Karena tak banyak dari umat Islam yang mau melakukan introspeksi, apakah puasa yang dilakukannya sudah benar atau belum. Banyak orang merasa bahwa ibadah puasa Ramadhan yang dikerjakannya sudah memenuhi syarat dan rukun puasa. Mereka cukup puas bahkan sudah merasa benar dalam berpuasa. Padahal puasa tidak cukup hanya dengan menghindari beberapa hal yang membatalkan puasa, seperti: makan dan minum, bersenggama, memasukkan makanan ke dalam perut, keluarnya air mani dengan sengaja, keluarnya darah haid dan nifas, sengaja muntah dan murtad. Nyaris banyak yang melupakan nilai dan kualitas ibadah puasanya. Padahal nilai kualitas dari ibadah puasa juga sangat esensial, sebagaimana  hadist sahih Rasulullah SAW, yang diriwayatkan HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, yang menyatakan bahwa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak menghasilkan apa pun dari puasanya, selain lapar dan haus. Hadis ini mengisyaratkan secara tegas bahwa hakikat shaum (puasa), bukan hanya menahan lapar, dahaga dan hal-hal lain yang membatalkan, akan tetapi, puasa adalah menahan diri dari ucapan dan perbuatan kotor yang merusak dan tidak bermanfaat. Yang tidak kalah penting adalah kemampuan untuk mengendalikan diri terhadap cemoohan, makian dan hinaan dari orang lain. Secara umum orang yang berpuasa mampu menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Namun banyak diantaranya yang tidak mampu mengendalikan  diri dari hal-hal yang dapat mereduksi bahkan merusak pahala puasa.

     Salah satu yang bisa mengurangi nilai ibadah puasa seseorang adalah melakukan ghibah, yakni memperbincangkan keburukan dan aib orang tanpa ada niat untuk memperbaikinya. Ghibah inilah yang seringkali dilakukan tanpa sadar. Nyaris dimana pun dan kapan pun orang senantiasa berghibah. Apalagi di era kemajuan teknologi informasi, ghibah begitu mudahnya terjadi. Di program acara televisi bertebaran tindakan berghibah. Dari acara berita, talk show, apalagi acara-acara hiburan semacam infotainment, yang kerap mengulas sisi-sisi buruk orang. Semakin ‘miring’ isi reportase, semakin membuat orang penasaran untuk menyaksikannya. Substansi, fakta, obyektifitas dan etika terkadang dikorbankan. Yang dikejar adalah rating. Semakin banyak ditonton orang, semakin tinggi ratingnya. Rating akan menjadi acuan para pemasang iklan. Ujung-ujungnya adalah profit. Masalah halal haram jarang dipikirkan. Padahal, sebagaimana sabda Rasulullah (diriwayatkan Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu) “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia,...”

     Ghibah juga terjadi di media selain televisi, misalnya di surat kabar, majalah dan radio. Namun semua media ‘konvensional’ tadi belum ada apa-apanya dalam ‘memfasilitasi’ terjadinya ghibah bila dibandingkan media termuktakhir yakni internet. Sifat internet yang fleksibel, berjangkauan nyaris tak terbatas, bisa digunakan serta diakses siapa saja, menjadikan internet bak pisau bermata dua. Satu sisi bisa menyebarkan hal-hal yang bersifat positif, mencerahkan dan membangun. Sisi yang lainnya bisa bersifat destruktif, termasuk untuk berghibah. Media jejaring sosial, macam facebook dan twitter, sebagai derivate product  internet, sangat mudah digunakan siapa saja untuk membicarakan keburukan dan aib seseorang. Lebih-lebih bila informasi yang disampaikan hal seseorang adalah informasi palsu (hoax), ujung-ujungnya terjadi cyber bullying atau kekerasan di dunia maya. Bila itu terjadi, maka dampaknya sangat luar biasa bagi si korban, karena dalam waktu sekejab, unggahan atau status yang bersifat ghibah bisa menyebar ke seantero dunia.

     Untuk itu di bulan suci ini, seyogianya kita bisa menggunakan internet dan jejaring sosial untuk hal-hal yang positif dan bernilai ibadah. Bisa dimulai dari mengunggah status yang bersifat keagamaan, misalnya up load ayat Al Quran, Hadist Nabi hingga kisah-kisah sufi. Boleh juga mengunggah hal-hal yang ringan terkait bulan Ramadhan, misalnya sharing resep pembuatan kolak, aneka makanan untuk berbuka atau reportase kegiatan masjid di lingkungan masing-masing dalam mengisi bulan Ramadhan. Bila teknologi informasi yang ada dimanfaatkan untuk lebih mensyiarkan dan menambah ghirah ibadah puasa, Insya Allah puasa akan memiliki nilai ibadah yang tinggi dan bermanfaat bagi sesama. Dengan demikian kita tak hanya mendapat lapar dan dahaga dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan.

Ramadhan 1434 H (2013)