Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Senin, 03 Februari 2014

Kenduren

Oleh :Danang Probotanoyo

      Statusnya tak lagi sebagai staf rendahan di kantor. Kata orang, dia sekarang menduduki jabatan struktural di instansinya. Gaji besar dan aneka tunjangan membuat perlente Brutus sekeluarga. Brutus telah menjelma jadi kaum borjuis baru di kampungnya.

Cerpenku Termuat di Malang Post,  Februari 2014
      Bagi lingkungan rumahnya, perubahan status sosial dan ekonomi Brutus sebenarnya tak membuat pusing warga lainnya. Hanya saja ketika segala perubahan tersebut diikuti dengan perubahan sikap terhadap lingkungan sosial, akhirnya membuat para tetangga mulai gerah dan jengah. Sudah lama Brutus meninggalkan aneka kegiatan di kampungnya. Kesibukan dan capek menjadi dalih rutinnya.

      Berbilang tahun Brutus tidak mau lagi menghadiri sekedar undangan  kenduren di rumah warga yang berhajad. Merasa disepelekan, warga pun tak ada lagi yang mengundang Brutus kenduren. Pertemuan warga sebulan sekali pun telah ia tinggalkan tiga tahun lalu. Menghindari komplain, ia membayar segala uang iuran secara lebih dari seharusnya. Itulah strategi yang diterapkannya. Mottonya: semua bisa dibeli dengan uang. Nyonya Brutus pun tak lagi menampakkan batang hidungnya di arisan ibu-ibu PKK di kampungnya. “Nggak level, mosok cuma ngurusin duit cebanan,”  Nyonya Brutus ketus. Maklum, sekarang dia punya kelompok arisan sendiri yang beranggotakan ibu-ibu istri pejabat dan sosialita lainnya. Sekali kocokan bisa untuk shooping ke Singapura.

      Pagi itu Brutus tidak ngantor. Tuan dan  Nyonya Brutus akan  ke bandara untuk menjemput neneknya Bagus – Ibunda Brutus. Rencananya, si nenek akan menetap permanen di rumah  Brutus. Maklum, sebagaimana Brutus, si nenek pun hanya memiliki satu keturunan, ya Brutus itu. Sekarang sang nenek sudah mulai sakit-sakitan. Brutus memutuskan untuk merawat sang nenek di rumahnya.

      Meski sudah ringkih karena dimakan usia dan berbagai penyakit, sesekali jika rumah sedang sepi, sang nenek kerap pergi jalan-jalan di sekitar lingkungan rumah Brutus. Sesekali ia  mampir ke warung kelontong milik Bu Surti untuk membeli Rheumason. Dari Bu Surtilah sang nenek banyak tahu  tabiat keluarga anaknya yang  menjauh dari pergaulan lingkungan. Sang nenek masygul mengetahui itu. Namun tak sampai hati untuk menegur anak semata wayangnya. Dicarinya cara yang tepat untuk berbicara soal tersebut agar tak mengecewakan Brutus.

“Tadi habis Maghrib aku lihat bapak-bapak pada berjalan bareng sambil bawa besekan,   

 pada kenduren, ya, ‘Tus? tanya nenek suatu ketika.

“Iya, Bu, mereka memang suka mengadakan kenduren. Bagi tetangga yang lainnya, itu

sangat membantu, adanya besekan berarti saat itu mereka tidak perlu repot-repot ngliwet.  

Kalau di tempat kita kan makanan sudah melimpah, enak-enak lagi, jauh dibanding

besekan itu,” Brutus ketus.

“Betul, Bu. Lagian di rumah ini tak ada yang suka makan nasi keras, nanti bisa usus

buntu, Bu,” timpal Nyonya Brutus  tak kalah pedasnya.

“Ya, sekali-kali berangkat kan nggak apa-apa, buat pergaulan, Tus, apalagi bila itu

selamatan untuk orang meninggal, kan keluarga yang ditinggalkan sedikit terhibur tidak

merasa sendirian,” nasehat Nenek.

“Nggak ada waktu lagi ngurusin hal-hal begitu, Bu.”

Nenek terdiam, satu poin tentang Brutus klop dengan omongan Bu Surti di warungnya tempo hari.

Tiga hari berlalu, ketika Brutus dan nyonya mengantar nenek periksa ke dokter. 

“Hampir setiap malam aku melihat Tinah, pembantu kalian, memasukkan uang dalam

plastik dan meletakkannya di dekat kotak surat di pagar, buat apa itu, Tus?” tanya nenek.

“O, itu uang sokongan buat yang piket ronda. Kata Pak Nardi si tukang sampah, setiap

warga kena tarikan lima ratus rupiah setiap malamnya. Aku setiap malam malah pasang

lima ribu, kok, Bu, biar nggak dikejar-kejar buat ronda. Maklum, aku sangat sibuk dan

banyak kerjaan, jadi ya aku ganti jatah rondaku dengan uang,” jawab Brutus.

“Memang bisa begitu? Apa nggak sebaiknya sekali-kali berangkat?! Buat pergaulan juga

Kan.”

“Saya kan orang sibuk, Bu, nggak seperti mereka. Uang sokongan saya sudah jauh

melampaui dari yang seharusnya, kok.”

“Mas Brutus nggak tahan angin malam, Bu, nanti kalau masuk angin, kita juga yang

repot,” sela Nyonya Brutus.

Nenek terdiam. Merenung sebentar. Setelah menata batinnya akhirnya sang nenek angkat bicara untuk menasehati anak dan menantunya. Intinya sang nenek berwasiat  bahwa sekaya apapun dan sesukses apapun, manusia tetaplah mahluk sosial yang saling tergantung satu sama lain. Namun mental, lagi-lagi alasan sibuk selalu dijadikan dalih. Brutus pun mengatakan bahwa pergaulannya di luar kampung cukup banyak. Nenek tetap mencoba menasehati. Tetap tak mempan. Nenek frustrasi. Segala nasehatnya bagai angin lalu bagi seorang Brutus.  

     Satu setengah tahun setelah tinggal di rumah Brutus, sang nenek pun wafat. Meninggalkan sebuah wasiat agar jenazahnya dimakamkan di pemakaman kampung dimana Brutus tinggal. Sebenarnya Brutus tidak setuju. Namun apa mau dikata, wasiat terbaca setelah ibunya wafat. Brutus mesti menjalankan wasiat tersebut. Prosesi pemakaman berjalan tersendat karena untuk menggali makam buat ibunya, Brutus harus mencari orang sewaan terlebih dulu. Tak ada seorang warga pun yang bersedia menggalikan makam. Pun untuk mengangkat keranda jenazah ibunya, Brutus terpaksa mengerahkan anak buah dikantornya.


      Kepedihan keluarga Brutus semakin menjadi di hari ketiga kematian ibunya. Brutus mengalami pergulatan batin yang luar biasa antara rasa duka dan penyesalan mendalam. Pikirannya campur aduk, dipandanginya tumpukan kardus selamatan ibunya yang masih tertumpuk dengan rapi di ruang tamunya. Padahal kardus itu bukan kardus sembarangan. Di pesan dari sebuah catering ternama. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.  Tetangga yang diundang untuk selamatan tiga hari ibunya berpulang, tak satu pun yang mau datang. Celakanya, semua saudara dan handai taulan sudah berpamitan pada hari kematian. Maklum, semuanya orang sukses dan orang sibuk di Jakarta dan Surabaya. Tak ada kumandang Yasin apalagi do’a buat ibunya. Tumpukan kardus kendurian menjadi saksi bisu sebuah penghukuman. Namun terlambat, keluarga Drs. Brutus sudah terlanjur diboikot warga. Tumpukan uang dan gemerlap jabatan tidak lagi bermakna dalam kondisinya saat itu. Mungkin itulah cara Ibunda Brutus untuk menyadarkan anak dan menantunya.
Yogyakarta,  Januari 2014

Sabtu, 01 Februari 2014

Pemberantasan Korupsi Ala Hoegeng



 Oleh: Danang Probotanoyo

Resensi Saya Termuat di Radar Surabaya, Februari 2014
Judul Buku: Hoegeng Polisi Dan Menteri Teladan           

Penulis        : Suhartono

Penerbit      : Penerbit Buku KOMPAS

Terbit          : Desember 2013

Halaman      : XXV + 142

ISBN            : 978-979-709-769-1

Apa yang Lord Acton katakan dalam suratnya kepada Bishop Mandell Creighten, bahwa  power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely, terbukti  hingga kini. Korupsi dan kekuasaan bagaikan dua sisi koin yang tak terpisahkan Setiap hari, media massa cetak dan elektronik tanah air mewartakan berita korupsi. Semua pilar kekuasaan negeri ini telah terjangkit penyakit korupsi. Para pemimpin yang duduk di lembaga yudikatif, legislatif dan eksekutif, silih berganti menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jargon-jargon good governance dan clean government seperti di awang-awang saja. Nyatanya, beberapa tokoh pemerintahan dan politik negeri ini,  gembar-gembor tentang hal itu, justru menjadi pelaku korupsi. Padahal, dengan  jabatan yang mereka sandang, negara telah memberikan kompensasi yang sangat memadai, bahkan di atas rerata warga negara lainnnya. Pangkalnya ketiadaan integritas para pemimpin tersebut. Antara yang diomongkan – soal antikorupsi—dengan perilakunya tak berkesesuaian. Negeri ini sudah lama miskin keteladanan  seorang pemimpin.

       Diantara sosok pemimpin yang dirindukan kehadirannya di republik ini adalah Hoegeng Iman Santoso, atau yang lebih akrab dipanggil Hoegeng. Suhartono, melalui buku yang ditulisnya ini “Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan”, mencoba keluar dari tren menulis buku biografi Hoegeng, yang sudah ditulis oleh penulis lain. Suhartono mencoba mendiskripsikan clean government secara kontekstual yang ada pada Hoegeng, menjadi teks-teks praktis. Ditulis berdasar penuturan saksi hidup, Soedharto Martopoespito, selaku asisten Hoegeng saat menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, diseputaran tahun 1966.

     Korupsi oleh penyelenggara negara bisa dilakukan melalui banyak pintu. Penyalahgunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, merupakan satu contoh. Hoegeng yang telah mengenyam berbagai jabatan prestisius sejak jaman Soekarno hingga Soeharto, paling anti menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau keluarganya. Banyak fasilitas yang sah secara aturan, diperuntukkan padanya pun ditolaknya. Bahkan, sekedar fasilitas pengawalan selaku pejabat tinggi negara, Hoegeng pun menolaknya. Saking banyaknya fasilitas negara yang sah untuk Hoegeng, namun tidak diambilnya, membuat Roto, seorang pejabat yang berwenang mengurusi fasilitas untuk pejabat,  berinisiatif  ‘mengompensasi’ sebagian kecil jatah Hoegeng untuk  kesejahteraan para bawahan Hoegeng (hal 33).  Hoegeng pun menolak pemberian fasilitas mobil Holden, keluaran terbaru saat itu (1965), dan lebih memilih mengandangkannya di garasi lingkungan kantornya (hal 35). Selain tak mau memakai fasilitas negara untuk pribadinya, Hoegeng juga terkenal sebagai pribadi yang lurus dan tak kenal kompromi. Segala gratifikasi dari pihak lain untuknya akan mental alias ditolak Hoegeng. Pemberian rumah dan perabotan komplit  dari pengusaha Medan, dua motor terbaru merek Lambretta, hingga mobil Mazda dari Dassad Musin, semua ditolak Hoegeng (hal 37-40). Hoegeng pribadi yang teguh dari segala godaan, meskipun penolakan aneka ‘hadiah’ tersebut sempat membuat anak lelakinya menangis, tapi tetap tak meluluhkan Hoegeng.

     Hoegeng lebih memilih hidup sederhana, daripada membebani negara dengan aneka fasilitas untuknya. Dia lebih memilih tinggal di rumah kontrakan daripada menghuni rumah dinas menteri, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (hal 70). Saking bersahajanya, anak-anak Hoegeng tak pernah dibekali  uang saku ketika sekolah. Hoegeng membiasakan anak-anaknya utuk mandiri, dengan mempersilahkan mereka berdagang koran dan kue-kue (hal 78). Dalam menjalankan prinsip transparansi, Hoegeng tidak membuat sekat ruangan di kantornya saat menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet. Semua tamu dan segala pembicaraan antara Hoegeng dan tamunya bisa diketahui oleh para bawahannya (hal 16).

     Di zaman sekarang, untuk mencegah korupsi di kalangan pejabat penyelenggara negara, mereka diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaannya secara periodik. Puluhan tahun silam, Hoegeng ternyata telah mewajibkan para Kepala Polisi Daerah dan para Komandan Keamanan Pelabuhan se-Indonesia untuk membuat daftar kekayaan mereka (hal 78).

Hoegeng tak pernah beretorika hal ‘pemberantasan korupsi’, Hoegeng justru memulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. Pencegahan dan pemberantasan korupsi bagi Hoegeng layaknya orang mandi, dimulai dari membersihkan yang paling atas (pimpinan) hingga ke bagian paling bawah (staf terendah) (hal 83).

     Buku “Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan” ini layak dijadikan sebagai buku bacaan praktis di mata kuliah antikorupsi perguruan tinggi, serta buku bacaan wajib bagi para calon pegawai pemerintah ketika memasuki masa prajabatan. Tentunya kalau semua ingin serius mencegah dan memberantas korupsi di negeri ini.  
Diresensi: Danang Probotanoyo (alumnus UGM)