Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 12 Juli 2015

Ramadan dalam Naungan Kamboja



Oleh: Danang Probotanoyo
Cerpen Saya di Minggu Pagi, Medio: Juli 2015
       Ramadan 1436 H. kali ini bagi Muzdalifah hanya mengulang Ramadan tahun-tahun yang lalu. Makan sahur sendiri tanpa ditemani Fajar, suaminya. Meski Muzdalifah ikhlas menjalani, namun hatinya gundah melihat kekerasan hati Fajar yang sudah tiga tahun tak lagi bersantap sahur di rumah bersamanya. Di keramaian suasana Ramadan di kampung-kampung seantero negeri, kesunyian justru memagut batin Muzdalifah. Sedih, sesal, pasrah dan ikhlas melebur jadi satu.  

      “Kau tahu, di Ramadan itu kita kehilangan segalanya! Milik kita yang paling berharga  kini tiada lagi. Kita kehilangan harapan, Bu!” kalimat kegusaran Fajar yang selalu diulang-ulang.

Masih terngiang-ngiang Ramadan tiga tahun lalu sehabis bersantap sahur, Rudy berpamitan kepada ayah dan ibunya untuk menunaikan shalat subuh di Masjid Agung, kotanya.

      “Kenapa mesti di Masjid Agung, Rud? Masjid An-Nur kampung kita kan cukup,” ujar Fajar kepada anaknya.

      “Sekarang kan hari Minggu. Sekali-kali Rudy ingin merasakan suasana Ramadan di waktu subuh di Masjid Agung,” Rudy merajuk ke ayahnya.

      “Sesekali nggak apa-apa, Pak. Rudy kan sudah besar, sudah kelas dua SMP. Bisa menjaga dirinya sendiri,” Muzdalifah mencoba meyakinkan Fajar.

      “Iya, maksudku di masjid kampung kita kan sudah cukup, nggak perlu jauh-jauh ke Masjid Agung di alun-alun itu,” Fajar mencoba berargumen.

Muzdalifah tersenyum melihat gelagat Fajar mulai luluh pertanda mengizinkan.
Cerpen Saya di Minggu Pagi, Medio: Juli 2015

      “Bersama siapa Kamu akan ke Masjid Agung, Rud?” tanya Muzdalifah.

      “Kami bertiga, Bu, bersama Agus dan Farid,” jawab Rudy sumringah.

      “Hati-hati di jalan! Pulangnya jangan terlalu siang ya!” pesan Muzdalifah.

Sambil menghampiri dan mencium tangan bapaknya, Rudy pun pamit.

      “Ingat pesan ibumu, Le,” pungkas Fajar datar.

      “Iya, Pak, jangan khawatir,” Rudy pun melangkahkan kaki melewati ambang pintu depan rumahnya. Di teras  sudah menunggu Agus dan Farid, teman sekampungnya.

     “Gimana, Rud, bapakmu membolehkan Kamu pergi, kan?” tanya Agus was-was.

     “Iya, Rud, segede ini mestinya kamu tak dipingit lagi oleh bapakmu itu. Anak cowok, gitu lhoh,” ledek Farid.

     “Kalian lihat sendiri, aku tadi sudah cium tangan bapakku. Artinya ya diizinkan. Ayo, keburu adzan subuh. Kita masih harus jalan kaki dua puluh menit untuk sampai di alun-alun,” tukas Rudy. Tiga sekawan remaja tanggung itupun bergegas berangkat ke Masjid Agung.

Fajar tak jua beranjak dari meja makan menanti datangnya imsak sembari menghabiskan rokok di tangannya yang tinggal separuh. Sambil memunguti piring dan gelas kotor sisa makan sahur bertiga, Muzdalifah berkata kepada suaminya,

     “Rudy sekarang sudah besar, ya, Pak. Ada baiknya mulai kita beri kepercayaan. Jangan kita kekang-kekang lagi.”

      “Aku tak mengekangnya, Bu. Aku hanya ingin memastikan Rudy baik-baik saja. Aku tak ingin Rudy hilang dari pengawasan kita,” kilah Fajar sambil menyeruput teh panasnya.

     “Iya, Pak, aku sadar, Bapak sangat sayang pada Rudy. Begitupun aku terhadapnya. Tapi sekarang Rudy sudah bukan anak kecil lagi. Sewajarnya bila kita memberi kebebasan layaknya teman-teman sebayanya. Takutnya Rudy nanti menjadi anak minder, lho, Pak,” Muzdalifah mengingatkan suaminya.

      “Kamu harus ingat, Bu, betapa kita mesti menunggu sangat lama kehadiran Rudy di tengah-tengah kita. Sepuluh tahun rumah tangga kita sepi tanpa kehadiran seorang anak. Berbagai upaya telah kita tempuh, tapi anak yang kita dambakan tak jua hadir. Baru di tahun kesebelas perkawinan kita, dokter Heru memberi kabar baik tentang kehamilanmu itu. Kalau akhirnya Rudy menjadi satu-satunya keturunan kita, sudah sangat wajar bila aku selalu menjaganya, karena aku sangat sayang padanya melebihi apapun juga.”

Meski dalam hatinya ada sedikit ketidaksetujuan pada pandangan suaminya, namun Muzdalifah tak ingin berdebat lebih lama lagi. Apalagi waktu imsak tinggal lima menit.

     “Hampir imsak, Pak, rokok dan tehnya segera dihabiskan,” ingat Muzdalifah.

***

Seusai salat subuh dan mendengarkan ceramah seorang kyai besar di kota itu, Rudy dan kawan-kawannya beranjak dari halaman Masjid Agung yang persis bersebelahan dengan alun-alun kota. Suasana selepas subuh itu sangat ramai di alun-alun. Pemandangan yang biasa dijumpai selepas subuh di pusat kota. Apalagi hari itu bertepatan dengan hari minggu. Banyak orang – yang  sebagian besar anak muda – berjalan-jalan mengitari alun-alun atau sekadar bergerombol duduk-duduk di trotoar. Di sana-sini terlihat beberapa remaja menyalakan petasan penambah kemeriahan suasana. Ratusan hingga ribuan remaja, dewasa hingga orang tua lainnya nampaknya tengah menunggu sesuatu.  

Rudy ingin bergegas pulang, teringat pesan ibunya. Tapi Agus dan Farid memiliki rencana lain.

       “Ayolah, Rud, jangan buru-buru pulang. Kapan lagi Kamu memiliki kebebasan seperti pagi ini?” bujuk Agus kepada Rudy.

      “Iya, Rud, mumpung kita sekarang ada di alun-alun. Sekali-kali nonton hiburan gratis yang menegangkan ini. Kapan lagi bisa begini kalau tidak pas Ramadan?” timpal Farid.

Pada mulanya Rudy enggan menuruti kemauan kedua temannya itu. Namun kalau harus pulang sendirian tanpa keduanya, Rudy juga tak mau. Terpaksalah Rudy menunda kepulangannya dan hanyut dengan ribuan orang di alun-alun itu bersama Agus dan Farid.


***

Hari ini hari Minggu, hari ke tujuh belas Muzdalifah berpuasa. Sang Surya perlahan menuju peraduannya di cakrawala barat. Setelah menanak nasi dan membuat teh bakal buka puasa, Muzdalifah bergegas ke pemakaman desa. Kakinya melangkah menuju sudut barat makam di bawah pohon kamboja besar. Benar, disana sesosok lelaki yang mulai menua tengah duduk tertidur menyandarkan kepala pada sebuah pusara. Ia menghampiri lelaki itu, ditepuk-tepuk pundaknya dengan pelan. Setelah terbangun, Muzdalifah  membantunya bangkit berdiri dan memapahnya.

Fajar menggerutu, “Kaulah yang menyebabkan kita kehilangan anak satu-satunya, Bu! Seandainya tidak Kau cegah saat aku melarangnya ke Masjid Agung itu, tentu Rudy tidak menonton balapan liar di alun-alun hingga menyebabkan ajalnya tertabrak motor salah satu diantara  mereka.”

Muzdalifah membisu, diusapnya lelehan air mata sambil memapah pulang suaminya.  Sayup-sayup berkumandang azan maghrib.

Danang Probotanoyo
Pegiat Literasi & Sastra di “Kampung UGM”