Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Kamis, 30 April 2015

Cicak dan Buaya Kanibal



Oleh: Danang Probotanoyo

 
sumber gambar: porosberita.com
      Bicak mengendap-endap. Sudah setengah jam ia mengincar nyamuk Aedes itu. Selama itu pula ia selalu gagal. Perutnya sudah terlalu lembek seharian tak terisi. Nyamuk itu sepertinya mulai kelelahan. Perutnya membuncit sarat beban darah golongan O. Sudah setengah jam ia terbang-menclok tanpa henti, menghindari Si Bicak. Kali ini Bicak tak mau gagal lagi. Bicak pun beringsut sedikit demi sedikit. Di depannya ada sebuah saklar yang begitu dekat dengan nyamuk itu. Ia mengintai dari balik saklar. Siip, dia tidak tahu aku sembunyi di sini. Pada hitungan ketiga aku harus meloncat dan menyergapnya. Satu, dua, dua setengah, tiga! Hup! Byur..! Saking keras dan semangat meloncat, Bicak kehilangan orientasi dan tak dapat menolak sang gravitasi. Bicak gelagapan karena terjatuh dari dinding dan masuk ke dalam tempayan air di bawah. Sang nyamuk pun berlalu penuh kemenangan. Sukurin deh lu! Emangnya enak nyilem disitu, ejeknya. Bicak megap-megap hampir kehabisan nafas, mencoba berenang untuk menjangkau tepian tempayan. Awas kau nanti, nyamuk sialan! Bicak berhasil mencapai “daratan” dengan lemas merayap naik ke dinding lagi. Aneh! air tempayan itu air ajaib! tubuhku menjadi enteng setelah masuk kedalamnya, gumam Bicak.

“Hahaha, dasar Cicak bodoh! Bukannya Kamu menjadi enteng, bodoh! Tapi knalpotmu      ketinggalan di tempayan itu! Seru Si Susya, Sang Buaya, “Lumayan, bisa untuk hidangan penutupku nanti.”

“Dasar makhluk rakus, bukan hanya yang besar-besar saja yang Kamu telan, buntutku yang tak seberapa pun kamu ada melek untuk memenuhi ususmu yang tak berujung itu, dasar serakah,” omel Bicak, “jangan harap kamu akan memperoleh apapun dariku, kadal primitif!”

Sekejap Bicak pun sudah berada di mulut tempayan itu, untuk mengambil buntutnya lagi dan dibawanya lari ke atas.

“Ambil saja kalau Kamu mau! Nih, ambil sendiri secara gratis, he,he,…,” kata Bicak, sambil meletakkan potongan buntutnya di atas talang air yang menempel di dinding. Bicak pun istirahat di atas talang itu, badannya teramat penat sehabis bekerja keras. Dalam kondisi setengah tidur, dia mendengar suara, meong, meong. Ah, berisik amat, nggak tahu orang, eh, cicak lagi istirahat begini, gumam Bicak, sambil matanya meredup. Tampak seekor kucing angora mendekati bibir kolam untuk minum. Susya menenggelamkan seluruh badannya ke dalam kolam.

“Ssst, ada makanan ekstra gratis!” bisik Susya kepada para koleganya di kolam itu.Yang lainnya pun ikut mengintai di belakang Susya. Mereka tak berani untuk melangkahi Susya, karena di kolam itu Susya paling senior dan paling besar tubuhnya. Dia sebagai pemimpin di kolam Buaya itu. 

Sambil menjulurkan lehernya, sang kucing menjilat-jilat air di tepian kolam. Dahaga membuatnya tak waspada ada bahaya yang sedang mengintai. Susya berenang dalam kesunyian lebih mendekat ke arah sang kucing. Nampak air kolam di sekitar dia berenang ada semburat air putih kental, yang berasal dari lelehan air liurnya yang deras keluar. Jarak tinggal sejengkal, dan, Hap! Susya berhasil mencaplok kucing itu. Si kucing meronta hebat. Air kolam berkecipak gaduh, diselingi suara meong,meong, yang perlahan semakin melemah dan akhirnya lenyap. Susya tampak puas dengan rejeki nomplok itu. Lidahnya tampak berkelamutan ke kiri-kanan membersihkan moncongnya. Hoik, sesekali ia bersendawa. Kolega Susya di kolam hanya terbengong mengelilingi Susya. Mereka hanya bisa menelan ludah karena Susya tak sedikitpun menyisakan daging kucing angora yang lezat itu. Tak ada protes, karena semua takut dan menaruh hormat pada seniornya itu.

“Awas! jangan sekali-kali ada yang buka suara tentang hal ini, atau kalian akan aku beri hukuman disiplin! Ingat, aku adalah senior kalian! Akulah raja di kolam ini!” ancam Susya kepada buaya yang lain.

            “Baik Susya, kami akan tutup mulut untuk ini,” kata mereka serempak.  

“Bagus, itu baru anak buah yang baik, jagalah kehormatan korps kita, korps buaya!” ujar Susya.

Tanpa disadari oleh mereka, ternyata ada saksi kunci yang menyaksikan pembantaian tadi. Bicak yang semula tidur menjadi terbangun mendengar kegaduhan dan erangan si kucing tadi. Dia menyesal karena tidak sempat memberi peringatan pada kucing itu. Nasi sudah menjadi bubur.

“Ck, ck, ck, dasar rakus, tak cukupkah bebek dan ayam yang diberikan Pak Boye setiap harinya untukmu, buaya rakus!” seru Bicak sambil berkacak pinggang di atas talang.

Kawanan buaya itu pun terperanjat. Bicak yang dikira sudah tertidur ternyata menyaksikan kejadian memilukan itu. 
Cerpen Karya: Danang Probotanoyo, Medio: 2010


“Dasar Cicak jelek, ngiri ya, ngiri ya?! Urus saja dirimu sendiri, jangan campuri urusan makhluk  lain,” hardik Susya.

“Tidak bisa! Ini sekarang sudah menjadi urusanku, buaya tamak, ketahuilah bahwa kucing yang kau telan tadi adalah milik Jelita, anak Tuan Bambang, pemilik kolam dan seluruh areal disini,” kata Bicak.

“Awas! kalau macam-macam kutelan bulat-bulat kamu nanti! Jangan pernah coba-coba dengan kami! Tidakkah kau lihat, kau mahluk kecil dan lemah tak akan bisa melawanku yang gede dan punya taring banyak,” Susya mencoba mengintimidasi.

“Lagian, kamu tidak mempunyai bukti apapun! He,he,” ejek Susya.

“Bagaimana dengan cap kaki kucing di lumpur tepi kolam dekat moncongmu itu? Ups, aku keceplosan,” sesal Bicak.

“Bagaimana dengan ini? He,he...,” ujar Susya sambil kaki depannya mengais-ngais  menghilangkan tapak kucing di atas lumpur itu.

“Jangan merasa menang dulu. Nanti kamu menyesal,” ujar Bicak.

Bicak tersenyum menyimpan kemenangan, dia melihat ada segenggam bulu kucing yang menyangkut di sulur tumbuhan air di tengah kolam itu. Yes! matilah kamu nanti buaya jahat. Bicak pun melanjutkan istirahatnya.

Pus, pus, pus.., dimana kamu, pus? terdengar seorang lelaki setengah tua memanggil-manggil dari kejauhan. Lama-lama suaranya semakin keras mendekat ke kolam. Bicak terbangun karena teriakan lelaki itu.

“Sebentar lagi tamat riwayatmu Susya!  Pak Boye datang kemari,” seru Bicak.

“Alah, seperti kataku tadi, yang penting bukti! Kesaksianmu tak akan laku! Hukum pada manusia lebih mementingkan bukti daripada saksi, he,he,” Susya terkekeh.

“Nanti aku bisa memberi bukti kepada Pak Kohir, bahwa kau telah menelan Kucing itu, lihat saja nanti,” tukas Bicak.

“Apakah ini yang kamu maksudkan dengan bukti itu, he, he,” ejek Susya, sambil memegang sekepalan bulu kucing yang tadi nyangkut di sulur tanaman.

“Lihat dengan mata sipitmu itu! Sebentar lagi satu-satunya bukti yang tersisa akan lenyap, he,he..,” Dan, hup, Susya menelan bulu-bulu itu.

“Bagaimana cicak? Ternyata kamu tak lebih pintar daripada aku, kan? He, he.”

“Sekarang kamu merasa menang, tapi percayalah, kejahatan tidak akan pernah menang selama bumi masih berputar! Tidak ada kejahatan yang sempurna!” Bicak mengingatkan.

“Ah, suka-suka kamu lah. Yang penting aku menang, titik!”

Pak Boye masih mencari kucing itu di luar tembok pagar kolam. Seperti biasa, Bicak sesekali turun ke bibir tempayan air untuk minum. Apalagi mulutnya kering setelah berdebat dengan Susya. Ketika dia turun ke bagian dalam tempayan, tanpa disadarinya bahaya sedang mengintai. Susya yang telah mengawasi Bicak sejak tadi, diam-diam merayap naik ke darat. Bicak melihat,   siap meloloskan diri. Terlambat, dia kalah cepat. Dengan sigap Susya menerjang tempayan itu hingga terbalik dan tertelungkup. Bicak terperangkap dalam tempayan yang terbalik. Dia gelagapan dalam kegelapan.

“Hooey, keluarkan aku! Apa salahku kepadamu?” teriak Bicak dari dalam tempayan.

“Seperti aku bilang tadi, kamu mahluk kecil dan lemah, jangan sekali-kali melawan kami para Buaya yang perkasa ini! Ha, ha, rasakan, kau berhasil aku perdaya dan aku jebak. Meringkuklah di dalam situ,” kata Susya sambil terkekeh. Susya kembali ke air, sedang Bicak terkurung dalam tempayan.

Tidak berapa lama kemudian Pak Boye telah sampai di tempat itu. Sambil mencari-cari kucing itu disana. Pus, pus, pus.

“Hey, para buaya, apakah kalian melihat ada seekor Kucing kemari?” tanya Pak Boye.

“Sedari tadi tak ada satu mahluk selain kami yang ada di sini,” jawab Susya sambil memberi isyarat kepada teman-teman buayanya.

“Ya, benar. Sejak tadi hanya ada kami disini,” seru para buaya kompak.

“Baiklah kalau begitu,” kata Pak Boye sambil berlalu dari situ.

Dari celah sempit, bibir tempayan yang sedikit cuil, Bicak menyaksikan kemenangan Susya dan kawan-kawan. Sebenarnya Bicak sudah berteriak-teriak kapada Pak Boye, tapi suaranya terlampau pelan dari dalam tempayan. Dasar para buaya licik! gerutu Bicak dari dalam.

Dua jam setelah itu datanglah rombongan Pak Boye, Tuan Bambang dan beberapa lelaki lainnya. Mereka melihat semua buaya yang ada di kolam itu. Dihitungnya satu persatu.

“Pak Boye, kali ini siapa yang layak kita ambil,” kata Tuan Bambang.

Sejenak Pak Boye menyapukan pandangannya ke arah semua buaya yang ada di kolam.

“Itu, yang disana itu, Tuan, dia buaya paling besar dan paling senior di kolam ini,” seru Pak Boye.

Ya, akulah yang paling besar, paling kuat dan paling senior disini, pilihan kalian tak salah. Gumam Susya dalam hati.

“Lihat cicak malang, akulah yang dipilih mereka untuk menerima penghargaan itu,” ujar Susya dengan penuh kesombongan.

“Ya, dipilih, diambil dan tak pernah kembali lagi kesini,” desis Bicak dari dalam tempayan.

“Janganlah kau ngiri terhadapku! Seperti yang sudah-sudah, buaya-buaya itu tak ingin kembali lagi kesini, karena terlalu menyenangkan di tempat yang baru,” ejek Susya.

“Itu kan maumu. Aku lebih tahu dari kamu,” jawab Bicak kalem.

Susya pun digiring naik ke dalam pick up, menuju tempat yang menyenangkan menurut pikirannya sendiri. Susya dibawa ke satu gedung tua tak jauh dari tempat itu. Sayang, Susya tidak bisa membaca tulisan di depan pintu gedung itu, yang berbunyi “Bangsal Penyembelihan dan Pengulitan Buaya”. Pick up masuk gedung. Dan, setengah jam kemudian terdengar dengusan nafas terakhir seekor buaya. Hening untuk beberapa saat, sampai terdengar teriakan kencang dari Tuan Bambang,” Bangsat! Buaya jelek ini telah memakannya!”

“Boye, buaya sialan ini telah memakan kucing anakku! Aku tak sudi memakai dagingnya untuk restoran sate buaya milikku! najiiiiis!” Tuan Bambang marah besar.

“Cepat ambil kulitnya, dan cincang-cincang dagingnya menjadi kecil-kecil! Setelah itu bawa serpihan dagingnya kembali ke kolam! Biar tahu rasa dia.”

“Baik Tuan.”

Setengah jam kemudian Pak Boye kembali ke kolam buaya itu. Dibantu dua orang membawa beberapa ember daging untuk para buaya. Kemudian daging dalam ember-ember tersebut di sebar ke kolam dan dijadikan rebutan para buaya. Tak berapa lama seluruh daging habis disantap.

“Daging apa ini, Pak Boye? Kok, rasanya keras dan agak pahit? Tumben bukan ayam atau bebek yang kau lemparkan kepada kami,” tanya seekor dari mereka.

“Walau rasanya agak nggak enak, tapi kalian suka kan?” sindir Pak Boye.

“Iya, walau tak seenak ayam dan bebek, tapi sangat mengenyangkan.Itu sudah cukup bagi kami, terima kasih ya, Pak,” jawab buaya tadi.

Sambil membalik tempayan tempat Bicak tersekap, Pak Boye berujar,

“Ketahuilah buaya-buaya bodoh, yang kalian makan tadi adalah senior kalian tadi. Tuan Bambang tak sudi menjadikan buaya terkutuk itu menjadi hidangan tamu restorannya, karena dalam lambungnya ada kucing milik Nona Jelita.”

Hoek, hoek, hoek! Mendadak terjadi muntah masal di kolam itu.

Bicak tertawa terpingkal-pingkal. Sekarang dia bebas. Dan yang lebih penting lagi, buaya sombong, musuhnya, yang telah memerangkapnya dalam tempayan, sekarang gantian di perangkap dalam perut para buaya lainnya. Danang Probotanoyo-2010

Minggu, 26 April 2015

“Kartini Tionghoa” Pelindung Perempuan dan Anak Terlantar



Judul Buku : NY. Lie Tjian Tjoen, Mendahului Sang Waktu            
Resensi Saya di KORAN JAKARTA, Medio: April'15

Pengarang  : A. Bobby Pr.

Penerbit      : Penerbit Buku Kompas

Cetakan       : I, 2014

ISBN           : 978-979-709-872-8

Tebal Buku : xiv + 218

Oleh: Danang Probotanoyo
    Beberapa hari lalu bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari yang diperingati setiap tanggal 21 April itu merupakan hari lahir tokoh emansipasi perempuan Indonesia, yakni R.A. Kartini. Berkat perjuangan R.A. Kartini, kaum perempuan mendapatkan hak sebagaimana kaum lelaki khususnya di bidang pendidikan. Selain R.A. Kartini, sejatinya bangsa Indonesia memiliki perempuan-perempuan hebat lain yang layak menjadi pahlawan di bidangnya masing-masing. Salah satunya adalah Ny. Lien Tjian Tjoen.

      Perempuan yang terlahir dengan nama Auw Tjoei Lan pada 24 Februari 1889, di Majalengka itu sungguh luar biasa jasanya di bidang kemanusiaan. Isu-isu masa kini seperti perlindungan anak hingga women trafficking, nyatanya sudah menjadi concern Ny. Lien Tjian Tjoen lebih dari seabad silam. Perjuangan Ny. Lien nyaris tidak diketahui secara meluas dan jauh dari publikasi. Hal itu erat dengan prinsip hidup yang dimiliki oleh Ny. Lien sendiri, yakni berjuang tanpa pamrih. Tangan kanan menolong sebisa mungkin tangan kiri tidak mengetahuinya, itulah pedoman hidup Ny. Lien. Pada awalnya Ny. Lien tergerak hatinya untuk memberikan pertolongan kepada para perempuan Tiongkok yang didatangkan ke Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pelacur. Perjuangan kemanusiaan Ny. Lien lantas meluas dengan menyelamatkan bayi-bayi yang dibuang orang tuanya dan juga anak-anak terlantar.

     Perjuangan Ny. Lien dalam menyelamatkan para perempuan yang diperdagangkan tidaklah mudah. Bahkan kerap menyerempet bahaya. Ny. Lien seringkali melakukan aksinya seorang diri dengan cara menyatroni kapal pembawa maupun tempat-tempat penyekapan gadis-gadis malang itu. Akibat aksi nekadnya, Ny. Lien kerap mendapatkan intimidasi. Bahkan tak jarang para batauw (germo) dan centeng-centengnya yang bengis menyatroni rumah Ny. Lien. Tapi itu tak menyurutkan nyalinya. (hal. 44-55). Kepeduliannya dalam menyelamatkan gadis-gadis Tionghoa hingga memberi mereka tempat penampungan akhirnya tersiar luas. Beberapa waktu kemudian ada orang misterius yang meletakkan bayi di serambi rumahnya. Ny. Lien pun merawat bayi itu dengan tulus. Lama kelamaan semakin banyak bayi yang “dikirim” ke rumahnya, hingga menggugah Ny. Lien mendirikan badan sosial guna menampung anak-anak malang itu. Badan sosial itu dinamakannya Roemah Piatoe Ati Soetji (Rumah Piatu Hati Suci) pada tanggal 27 Oktober 1914 (hal 60). Tak hanya bayi yang sengaja dibuang oleh orang tuanya, Ny. Lien pun menampung anak-anak terlantar yang ada di jalan-jalan.  Ny. Lien tidak hanya memberi tempat penampungan dan makan saja kepada para gadis, anak dan bayi terlantar itu,. Namun mereka diberinya pendidikan, keterampilan dan kasih sayang yang tulus (hal. 203).

 
Resensi Saya di KORAN JAKARTA, Medio: April'15
     
Perjuangan dan kepeloporan Ny. Lien tak urung membuat Ratu Belanda Wilhelmina menganugerahkan Ridder in de Orde van Oranje Nassau, setingkat lebih tinggi dari bintang kehormatan,  pada 31 Agustus 1935 (hal. 40). Sebelum diberi penghargaan itu, sosok Ny. Lien nyaris tak terekspos. Padahal kiprahnya sudah dimulai sejak 1914. Setelah Ratu Belanda memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepadanya, barulah orang tahu ada sosok perempuan Tionghoa yang berjuang untuk kemanusiaan di Hindia Belanda. Pada akhirnya kiprah Ny. Lien dalam memberantas perdagangan perempuan diketahui oleh dunia internasional. Ny. Lien diundang dalam League of Nations Health Organization (sekarang WHO di PBB) pada tahun 1937 (hal. 139). Seolah “mendahului sang waktu”, hak-hak anak terlantar, tertindas dan teraniaya yang diperjuangkan Hati Suci seabad silam, nyatanya relevan dengan hak-hak anak sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

     Membaca buku ini menggugah kesadaran bahwa siapa pun bisa menjadi pahlawan bila memiliki kepedulian dan empati terhadap orang lain yang kurang berutung. Pembaca buku ini juga menjadi tahu bahwa ada perempuan Tionghoa yang mempelopori perjuangan memberantas woman trafficking dan  perlindungan terhadap anak terlantar lebih dari seabad silam.
Diresensi: Danang Probotanoyo, Alumnus UGM