Oleh: Danang
Probotanoyo
sumber gambar: porosberita.com |
“Hahaha, dasar
Cicak bodoh! Bukannya Kamu menjadi enteng, bodoh! Tapi knalpotmu ketinggalan di tempayan itu! Seru Si
Susya, Sang Buaya, “Lumayan, bisa untuk hidangan penutupku nanti.”
“Dasar makhluk
rakus, bukan hanya yang besar-besar saja yang Kamu telan, buntutku yang tak
seberapa pun kamu ada melek untuk
memenuhi ususmu yang tak berujung itu, dasar serakah,” omel Bicak, “jangan
harap kamu akan memperoleh apapun dariku, kadal primitif!”
Sekejap
Bicak pun sudah berada di mulut tempayan itu, untuk mengambil buntutnya lagi
dan dibawanya lari ke atas.
“Ambil saja kalau Kamu mau! Nih, ambil
sendiri secara gratis, he,he,…,” kata Bicak, sambil meletakkan potongan
buntutnya di atas talang air yang menempel di dinding. Bicak pun istirahat di
atas talang itu, badannya teramat penat sehabis bekerja keras. Dalam kondisi
setengah tidur, dia mendengar suara, meong, meong. Ah, berisik amat, nggak tahu
orang, eh, cicak lagi istirahat begini, gumam Bicak, sambil matanya meredup.
Tampak seekor kucing angora mendekati bibir kolam untuk minum. Susya
menenggelamkan seluruh badannya ke dalam kolam.
“Ssst, ada makanan ekstra gratis!” bisik
Susya kepada para koleganya di kolam itu.Yang lainnya pun ikut mengintai di
belakang Susya. Mereka tak berani untuk melangkahi Susya, karena di kolam itu
Susya paling senior dan paling besar tubuhnya. Dia sebagai pemimpin di kolam
Buaya itu.
Sambil
menjulurkan lehernya, sang kucing menjilat-jilat air di tepian kolam. Dahaga
membuatnya tak waspada ada bahaya yang sedang mengintai. Susya berenang dalam
kesunyian lebih mendekat ke arah sang kucing. Nampak air kolam di sekitar dia
berenang ada semburat air putih kental, yang berasal dari lelehan air liurnya
yang deras keluar. Jarak tinggal sejengkal, dan, Hap! Susya berhasil mencaplok
kucing itu. Si kucing meronta hebat. Air kolam berkecipak gaduh, diselingi
suara meong,meong, yang perlahan semakin melemah dan akhirnya lenyap. Susya
tampak puas dengan rejeki nomplok itu. Lidahnya tampak berkelamutan ke
kiri-kanan membersihkan moncongnya. Hoik, sesekali ia bersendawa. Kolega Susya
di kolam hanya terbengong mengelilingi Susya. Mereka hanya bisa menelan ludah
karena Susya tak sedikitpun menyisakan daging kucing angora yang lezat itu. Tak
ada protes, karena semua takut dan menaruh hormat pada seniornya itu.
“Awas! jangan
sekali-kali ada yang buka suara tentang hal ini, atau kalian akan aku beri
hukuman disiplin! Ingat, aku adalah senior kalian! Akulah raja di kolam ini!”
ancam Susya kepada buaya yang lain.
“Baik Susya, kami akan tutup mulut
untuk ini,” kata mereka serempak.
“Bagus, itu baru
anak buah yang baik, jagalah kehormatan korps kita, korps buaya!” ujar Susya.
Tanpa
disadari oleh mereka, ternyata ada saksi kunci yang menyaksikan pembantaian
tadi. Bicak yang semula tidur menjadi terbangun mendengar kegaduhan dan erangan
si kucing tadi. Dia menyesal karena tidak sempat memberi peringatan pada kucing
itu. Nasi sudah menjadi bubur.
“Ck, ck, ck,
dasar rakus, tak cukupkah bebek dan ayam yang diberikan Pak Boye setiap harinya
untukmu, buaya rakus!” seru Bicak sambil berkacak pinggang di atas talang.
Kawanan
buaya itu pun terperanjat. Bicak yang dikira sudah tertidur ternyata
menyaksikan kejadian memilukan itu.
Cerpen Karya: Danang Probotanoyo, Medio: 2010 |
“Dasar Cicak
jelek, ngiri ya, ngiri ya?! Urus saja dirimu sendiri, jangan campuri urusan makhluk lain,” hardik Susya.
“Tidak bisa! Ini
sekarang sudah menjadi urusanku, buaya tamak, ketahuilah bahwa kucing yang kau
telan tadi adalah milik Jelita, anak Tuan Bambang, pemilik kolam dan seluruh
areal disini,” kata Bicak.
“Awas! kalau
macam-macam kutelan bulat-bulat kamu nanti! Jangan pernah coba-coba dengan
kami! Tidakkah kau lihat, kau mahluk kecil dan lemah tak akan bisa melawanku
yang gede dan punya taring banyak,” Susya mencoba mengintimidasi.
“Lagian, kamu
tidak mempunyai bukti apapun! He,he,” ejek Susya.
“Bagaimana
dengan cap kaki kucing di lumpur tepi kolam dekat moncongmu itu? Ups, aku
keceplosan,” sesal Bicak.
“Bagaimana
dengan ini? He,he...,” ujar Susya sambil kaki depannya mengais-ngais menghilangkan tapak kucing di atas lumpur
itu.
“Jangan merasa
menang dulu. Nanti kamu menyesal,” ujar Bicak.
Bicak
tersenyum menyimpan kemenangan, dia melihat ada segenggam bulu kucing yang
menyangkut di sulur tumbuhan air di tengah kolam itu. Yes! matilah kamu nanti
buaya jahat. Bicak pun melanjutkan istirahatnya.
Pus,
pus, pus.., dimana kamu, pus? terdengar seorang lelaki setengah tua
memanggil-manggil dari kejauhan. Lama-lama suaranya semakin keras mendekat ke
kolam. Bicak terbangun karena teriakan lelaki itu.
“Sebentar lagi tamat riwayatmu
Susya! Pak Boye datang kemari,” seru
Bicak.
“Alah, seperti
kataku tadi, yang penting bukti! Kesaksianmu tak akan laku! Hukum pada manusia
lebih mementingkan bukti daripada saksi, he,he,” Susya terkekeh.
“Nanti aku bisa
memberi bukti kepada Pak Kohir, bahwa kau telah menelan Kucing itu, lihat saja
nanti,” tukas Bicak.
“Apakah ini yang
kamu maksudkan dengan bukti itu, he, he,” ejek Susya, sambil memegang sekepalan
bulu kucing yang tadi nyangkut di sulur tanaman.
“Lihat dengan
mata sipitmu itu! Sebentar lagi satu-satunya bukti yang tersisa akan lenyap,
he,he..,” Dan, hup, Susya menelan bulu-bulu itu.
“Bagaimana
cicak? Ternyata kamu tak lebih pintar daripada aku, kan? He, he.”
“Sekarang kamu
merasa menang, tapi percayalah, kejahatan tidak akan pernah menang selama bumi
masih berputar! Tidak ada kejahatan yang sempurna!” Bicak mengingatkan.
“Ah, suka-suka
kamu lah. Yang penting aku menang, titik!”
Pak
Boye masih mencari kucing itu di luar tembok pagar kolam. Seperti biasa, Bicak
sesekali turun ke bibir tempayan air untuk minum. Apalagi mulutnya kering
setelah berdebat dengan Susya. Ketika dia turun ke bagian dalam tempayan, tanpa
disadarinya bahaya sedang mengintai. Susya yang telah mengawasi Bicak sejak
tadi, diam-diam merayap naik ke darat. Bicak melihat, siap meloloskan diri. Terlambat, dia kalah
cepat. Dengan sigap Susya menerjang tempayan itu hingga terbalik dan
tertelungkup. Bicak terperangkap dalam tempayan yang terbalik. Dia gelagapan
dalam kegelapan.
“Hooey,
keluarkan aku! Apa salahku kepadamu?” teriak Bicak dari dalam tempayan.
“Seperti aku
bilang tadi, kamu mahluk kecil dan lemah, jangan sekali-kali melawan kami para
Buaya yang perkasa ini! Ha, ha, rasakan, kau berhasil aku perdaya dan aku
jebak. Meringkuklah di dalam situ,” kata Susya sambil terkekeh. Susya kembali
ke air, sedang Bicak terkurung dalam tempayan.
Tidak
berapa lama kemudian Pak Boye telah sampai di tempat itu. Sambil mencari-cari
kucing itu disana. Pus, pus, pus.
“Hey,
para buaya, apakah kalian melihat ada seekor Kucing kemari?” tanya Pak Boye.
“Sedari
tadi tak ada satu mahluk selain kami yang ada di sini,” jawab Susya sambil
memberi isyarat kepada teman-teman buayanya.
“Ya,
benar. Sejak tadi hanya ada kami disini,” seru para buaya kompak.
“Baiklah
kalau begitu,” kata Pak Boye sambil berlalu dari situ.
Dari
celah sempit, bibir tempayan yang sedikit cuil, Bicak menyaksikan kemenangan
Susya dan kawan-kawan. Sebenarnya Bicak sudah berteriak-teriak kapada Pak Boye,
tapi suaranya terlampau pelan dari dalam tempayan. Dasar para buaya licik!
gerutu Bicak dari dalam.
Dua
jam setelah itu datanglah rombongan Pak Boye, Tuan Bambang dan beberapa lelaki
lainnya. Mereka melihat semua buaya yang ada di kolam itu. Dihitungnya satu
persatu.
“Pak Boye, kali ini siapa yang layak
kita ambil,” kata Tuan Bambang.
Sejenak
Pak Boye menyapukan pandangannya ke arah semua buaya yang ada di kolam.
“Itu, yang
disana itu, Tuan, dia buaya paling besar dan paling senior di kolam ini,” seru
Pak Boye.
Ya,
akulah yang paling besar, paling kuat dan paling senior disini, pilihan kalian
tak salah. Gumam Susya dalam hati.
“Lihat
cicak malang, akulah yang dipilih mereka untuk menerima penghargaan itu,” ujar
Susya dengan penuh kesombongan.
“Ya, dipilih, diambil dan tak pernah
kembali lagi kesini,” desis Bicak dari dalam tempayan.
“Janganlah kau
ngiri terhadapku! Seperti yang sudah-sudah, buaya-buaya itu tak ingin kembali
lagi kesini, karena terlalu menyenangkan di tempat yang baru,” ejek Susya.
“Itu kan maumu. Aku lebih tahu dari
kamu,” jawab Bicak kalem.
Susya
pun digiring naik ke dalam pick up, menuju tempat yang menyenangkan menurut
pikirannya sendiri. Susya dibawa ke satu gedung tua tak jauh dari tempat itu.
Sayang, Susya tidak bisa membaca tulisan di depan pintu gedung itu, yang
berbunyi “Bangsal Penyembelihan dan Pengulitan Buaya”. Pick up masuk gedung.
Dan, setengah jam kemudian terdengar dengusan nafas terakhir seekor buaya.
Hening untuk beberapa saat, sampai terdengar teriakan kencang dari Tuan
Bambang,” Bangsat! Buaya jelek ini telah memakannya!”
“Boye, buaya
sialan ini telah memakan kucing anakku! Aku tak sudi memakai dagingnya untuk
restoran sate buaya milikku! najiiiiis!” Tuan Bambang marah besar.
“Cepat ambil
kulitnya, dan cincang-cincang dagingnya menjadi kecil-kecil! Setelah itu bawa
serpihan dagingnya kembali ke kolam! Biar tahu rasa dia.”
“Baik Tuan.”
Setengah
jam kemudian Pak Boye kembali ke kolam buaya itu. Dibantu dua orang membawa
beberapa ember daging untuk para buaya. Kemudian daging dalam ember-ember
tersebut di sebar ke kolam dan dijadikan rebutan para buaya. Tak berapa lama
seluruh daging habis disantap.
“Daging apa ini,
Pak Boye? Kok, rasanya keras dan agak pahit? Tumben bukan ayam atau bebek yang
kau lemparkan kepada kami,” tanya seekor dari mereka.
“Walau rasanya
agak nggak enak, tapi kalian suka kan?” sindir Pak Boye.
“Iya, walau tak
seenak ayam dan bebek, tapi sangat mengenyangkan.Itu sudah cukup bagi kami,
terima kasih ya, Pak,” jawab buaya tadi.
Sambil
membalik tempayan tempat Bicak tersekap, Pak Boye berujar,
“Ketahuilah
buaya-buaya bodoh, yang kalian makan tadi adalah senior kalian tadi. Tuan
Bambang tak sudi menjadikan buaya terkutuk itu menjadi hidangan tamu
restorannya, karena dalam lambungnya ada kucing milik Nona Jelita.”
Hoek,
hoek, hoek! Mendadak terjadi muntah masal di kolam itu.
Bicak
tertawa terpingkal-pingkal. Sekarang dia bebas. Dan yang lebih penting lagi,
buaya sombong, musuhnya, yang telah memerangkapnya dalam tempayan, sekarang
gantian di perangkap dalam perut para buaya lainnya. Danang Probotanoyo-2010