Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Rabu, 31 Juli 2013

Jejaring Sosial di Bulan Ramadhan




Termuat di KORAN MERAPI, Medio: Juli 2013
Jejaring Sosial di Bulan Ramadhan
Oleh : Danang Probotanoyo
     Meski tahun 2013 ini, umat Muslim di tanah air memulai puasa Ramadhan 1434 H tidak bersamaan – ada yang mulai tanggal 9 Juli dan 10 Juli – namun hal itu tidak perlu dipermasalahkan. Semua pasti memiliki dasar masing-masing dalam menentukan datangnya bulan Ramadhan. Semuanya tentu ingin melaksanakan ibadah puasa Ramadhan yang telah menjadi kewajibannya, sebagaimana difirmankan dalam Al Qur’an (Al Baqarah: 183): “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu sekalian puasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu sekalian bertaqwa.”

      Yang perlu menjadi pemikiran bersama  adalah kualitas dari ibadah puasa itu sendiri. Karena tak banyak dari umat Islam yang mau melakukan introspeksi, apakah puasa yang dilakukannya sudah benar atau belum. Banyak orang merasa bahwa ibadah puasa Ramadhan yang dikerjakannya sudah memenuhi syarat dan rukun puasa. Mereka cukup puas bahkan sudah merasa benar dalam berpuasa. Padahal puasa tidak cukup hanya dengan menghindari beberapa hal yang membatalkan puasa, seperti: makan dan minum, bersenggama, memasukkan makanan ke dalam perut, keluarnya air mani dengan sengaja, keluarnya darah haid dan nifas, sengaja muntah dan murtad. Nyaris banyak yang melupakan nilai dan kualitas ibadah puasanya. Padahal nilai kualitas dari ibadah puasa juga sangat esensial, sebagaimana  hadist sahih Rasulullah SAW, yang diriwayatkan HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, yang menyatakan bahwa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak menghasilkan apa pun dari puasanya, selain lapar dan haus. Hadis ini mengisyaratkan secara tegas bahwa hakikat shaum (puasa), bukan hanya menahan lapar, dahaga dan hal-hal lain yang membatalkan, akan tetapi, puasa adalah menahan diri dari ucapan dan perbuatan kotor yang merusak dan tidak bermanfaat. Yang tidak kalah penting adalah kemampuan untuk mengendalikan diri terhadap cemoohan, makian dan hinaan dari orang lain. Secara umum orang yang berpuasa mampu menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Namun banyak diantaranya yang tidak mampu mengendalikan  diri dari hal-hal yang dapat mereduksi bahkan merusak pahala puasa.

     Salah satu yang bisa mengurangi nilai ibadah puasa seseorang adalah melakukan ghibah, yakni memperbincangkan keburukan dan aib orang tanpa ada niat untuk memperbaikinya. Ghibah inilah yang seringkali dilakukan tanpa sadar. Nyaris dimana pun dan kapan pun orang senantiasa berghibah. Apalagi di era kemajuan teknologi informasi, ghibah begitu mudahnya terjadi. Di program acara televisi bertebaran tindakan berghibah. Dari acara berita, talk show, apalagi acara-acara hiburan semacam infotainment, yang kerap mengulas sisi-sisi buruk orang. Semakin ‘miring’ isi reportase, semakin membuat orang penasaran untuk menyaksikannya. Substansi, fakta, obyektifitas dan etika terkadang dikorbankan. Yang dikejar adalah rating. Semakin banyak ditonton orang, semakin tinggi ratingnya. Rating akan menjadi acuan para pemasang iklan. Ujung-ujungnya adalah profit. Masalah halal haram jarang dipikirkan. Padahal, sebagaimana sabda Rasulullah (diriwayatkan Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu) “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar (syubhat), yang tidak diketahui oleh banyak manusia,...”

     Ghibah juga terjadi di media selain televisi, misalnya di surat kabar, majalah dan radio. Namun semua media ‘konvensional’ tadi belum ada apa-apanya dalam ‘memfasilitasi’ terjadinya ghibah bila dibandingkan media termuktakhir yakni internet. Sifat internet yang fleksibel, berjangkauan nyaris tak terbatas, bisa digunakan serta diakses siapa saja, menjadikan internet bak pisau bermata dua. Satu sisi bisa menyebarkan hal-hal yang bersifat positif, mencerahkan dan membangun. Sisi yang lainnya bisa bersifat destruktif, termasuk untuk berghibah. Media jejaring sosial, macam facebook dan twitter, sebagai derivate product  internet, sangat mudah digunakan siapa saja untuk membicarakan keburukan dan aib seseorang. Lebih-lebih bila informasi yang disampaikan hal seseorang adalah informasi palsu (hoax), ujung-ujungnya terjadi cyber bullying atau kekerasan di dunia maya. Bila itu terjadi, maka dampaknya sangat luar biasa bagi si korban, karena dalam waktu sekejab, unggahan atau status yang bersifat ghibah bisa menyebar ke seantero dunia.

     Untuk itu di bulan suci ini, seyogianya kita bisa menggunakan internet dan jejaring sosial untuk hal-hal yang positif dan bernilai ibadah. Bisa dimulai dari mengunggah status yang bersifat keagamaan, misalnya up load ayat Al Quran, Hadist Nabi hingga kisah-kisah sufi. Boleh juga mengunggah hal-hal yang ringan terkait bulan Ramadhan, misalnya sharing resep pembuatan kolak, aneka makanan untuk berbuka atau reportase kegiatan masjid di lingkungan masing-masing dalam mengisi bulan Ramadhan. Bila teknologi informasi yang ada dimanfaatkan untuk lebih mensyiarkan dan menambah ghirah ibadah puasa, Insya Allah puasa akan memiliki nilai ibadah yang tinggi dan bermanfaat bagi sesama. Dengan demikian kita tak hanya mendapat lapar dan dahaga dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan.

Ramadhan 1434 H (2013)

Minggu, 30 Juni 2013

Reformasi Diolok-olok ‘Soeharto’



Reformasi Diolok-olok ‘Soeharto’
Oleh: Danang Probotanoyo
    ‘Soeharto’ mengejek dari bak-bak truk dan stiker-stiker, “Piye le kabare, penak jamanku  ta?” (Jawa).  “Bagaimana kabarnya nak, enak di zaman saya kan?”. Olokan yang sangat tendensius dan klaim sepihak.  Propaganda menyesatkan tadi bertebaran di mana-mana sekarang. Berusaha menggiring psikis Bangsa Indonesia untuk menyesali bahkan mengutuk penggulingan rezim Soeharto pada Mei 1998.  
     “Penak jamanku ta?” merujuk komparasi era Soeharto (Orba) berkuasa dengan era reformasi sekarang.  Klaimnya: zaman Soeharto dipersepsikan serba lebih enak dibanding sekarang. Acuannya pada dua parameter pokok yang cenderung pragmatis, yakni: sosial ekonomi serta  keamanan dan ketertiban di masyarakat. Betulkah era Soeharto lebih enak?
KKN ‘DNA’ Orba
      Era Soeharto, semuanya serba artificial, palsu, ditutupi dan ditekan. Segala yang nampak  ‘baik-baik’ saja, sesungguhnya kontradiktif dengan realita dan kosmetik belaka. Muaranya  demi ‘stabilitas nasional’ (baca: kestabilan kekuasaan Soeharto).
      Terlalu ceroboh klaim semasa Soeharto kondisi sosial ekonomi serta merta dikatakan lebih bagus. Tak perlu njlimet, argumennya sangat sederhana, bahwa pembangunan serta pertumbuhan ekonomi yang dicapai Soeharto ternyata memiliki pondasi yang keropos dan tak langgeng. Segala koar-koar kemajuan, nyatanya hanya mampu bertahan hingga 1997 saja. Ketika badai krisis moneter menerjang, orang baru siuman bahwa bangunan ekonomi rezim Soeharto sangat rapuh dan akhirnya ambruk karena tidak memiliki fundamental ekonomi yang kuat. Perekonomian era Soeharto disangga tumpukan hutang luar negeri yang dahsyat. Selaras itu, sumber daya alam Indonesia dikuras asing kolaborator rezim. Terjadi paradox di era Soeharto: bangsa kaya raya SDA, tapi hutangnya segunung, rakyatnya pun banyak yang miskin. Biang keroknya mudah ditebak: bangsa ini dicekik korupsi. Angkanya membuat bergidik. Rata-rata 40% APBN bocor dikorupsi, itulah yang dikatakan begawan ekonomi Indonesia, Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Trio: Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi ciri khas era rezim Soeharto. Segala perikehidupan  di zaman Soeharto tak luput dari KKN. Dari mengurus KTP, melamar PNS, masuk ABRI, menjala order proyek, bahkan mencari hutangan ke bank pun perlu KKN. Ingat, Edy Tanzil yang menggondol triliunan rupiah dari satu eks bank BUMN kala itu, berkat katebelece pejabat penting. Banyak  pengusaha di era Soeharto  meraksasa dalam sekejap berkat fasilitas, katebelece dan hubungan personal dengan pejabat yang kolusif dan nepotis. Ada tren pula, anak atau saudara pejabat menjadi konglomerat instan yang diendorse kekuasaan orang tua atau familinya. Mereka rakus memonopoli dan mengkapling negeri ini. Proyek penunjukan langsung dan berbagai fasilitas kemudahan yang eksklusif dinikmati sanak saudara dan kroni pejabat. Istilah ‘tata niaga’ marak saat itu, untuk menyamarkan ‘bisnis broker’ alias bisnis calo keluarga pejabat. Dari bisnis perdagangan cengkeh hingga jeruk Kalimantan dicaloi anak pejabat. Mereka meraup untung besar nyaris tanpa modal. Impor ribuan mobil oleh anak pejabat tanpa pajak menjadi modus culas  proyek ‘mobil nasional’.
     Bisnis percaloan keluarga pejabat Orba yang kolusif dan nepotism, sekarang  menurun dan bermetamorfosis menjadi pengkaplingan bisnis oleh orang parpol. Impor daging sapi ‘jatahnya’ Luthfi Hassan cs. Pengadaan Al Quran oleh Zulkarnaen Djabar dan anaknya, Dendy Prasetya. Fasilitas olah raga bagiannya M. Nazarudin dan rekan. Dana PPID teruntuk Wa Ode Nurhayati. Para koruptor tersebut bukan muncul ujug-ujug. Mereka lahir dalam lingkaran sistem dan budaya korupsi warisan Orba. Mental KKN yang kadung  mendarahdaging, sebagai jejak ‘DNA’ Orba. Penyebabnya karena anasir-anasir Orba pengidap KKN kronis justru bersimaharaja di setiap infrastruktur politik, lembaga negara dan birokrasi sekarang ini. Mereka menularkan  virus KKN kepada generasi pascaOrba.
Termuat di Koran Merapi, Medio: Juni 2013
      
Dus, orang Orba bermental korup masih mendominasi di era reformasi. Labelnya ‘zaman reformasi’, namun mentalitas dan karakternya masih Orba. Faktanya, reformasi telah dibajak para Orbais. Itu cukup sebagai penjelas terhadap tuduhan orang bahwa (seolah) era reformasi KKN-nya lebih marak daripada era Orba. Kuncinya ada di faktor informasi belaka. Zaman Soeharto nyaris tidak ada keterbukaan informasi publik. Pers dikontrol ketat, kebebasan bersuara dibungkam. Akibatnya, meski korupsi era Soeharto merajalela, namun pemberitaannya sangat minim. Hantu breidel bergentayangan dan sering memakan korban di era Soeharto. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dikooptasi rezim Orba. Pembedanya: kebebasan pers dan bersuara sekarang sudah lebih terjamin. Skandal korupsi besar kecil yang melibatkan pejabat atau kroninya tak akan luput dari santapan publik.
      Hal keamanan dan ketertiban masyarakat dikiranya lebih baik zaman Soeharto. Yang ada  rakyat ditekan habis-habisan. Rezim Soeharto kerap merepresi pihak-pihak yang berseberangan. Kasus penyerbuan kantor PDI, 27 Juli 1996, Trisakti, penculikan aktivis dan penghilangan paksa orang merupakan catatan buram jelang Soeharto runtuh. Hak milik individu kerap diabaikan. Penggusuran kepemilikan tanah dan bangunan selalu mengatasnamakan ‘pembangunan’. Ganti rugi dilakukan semena-mena dan sepihak. Pembangunan Waduk Kedung Ombo di Jateng bisa menjadi gambaran ketidakberdayaan petani manakala tanahnya ‘diminta’ negara. Yang Mbalelo dianggap tidak pro pembangunan, subversif, apes-apesnya distempeli PKI (Partai Komunis Indonesia). HAM menjadi tak begitu penting. Peluru kerap dimuntahkan aparat yang menelan korban rakyat. Tak terhitung, sudah berapa nyawa melayang dalam kasus-kasus seperti Tanjung Priok, Talang Sari, Sampang  dan masih banyak lagi.                   


Pelestarian Orba       
     Klaim ‘penak jamanku’ (enak zaman Soeharto) sangat menyesatkan. Dihembuskan anasir lama yang masih bercokol. Segala anomali sekarang tak lebih sebagai warisan Soeharto. Rakyat mudah rusuh, karena selama 32 tahun dikekang habis-habisan, tak pernah diajari hidup berdemokrasi dan tak ada pembelajaran keadaban dalam berbeda pendapat. Itu semua buah penyeragaman secara paksa di era Soeharto.
    KKN yang marak saat ini karena mentalitas dan budaya KKN sudah terbangun kuat sejak era Soeharto. KKN sebagai masterpiece Orba dilestarikan dan dibiakkan antek-antek Orba yang berkuasa. Perekonomian yang nampak indah sesaat di era Soeharto menyisakan problem dan hutang hingga kini. Kekayaan alam semakin habis diobral ke asing sejak dulu.    


     Tumpukan piring kotor yang ditinggalkan Soeharto tak juga dicuci, karena politisi dan penguasa binaan Soeharto masih berpesta hingga kini. Jadi, kalau zaman sekarang dianggap “tak enak”, itu tak lebih sebagai warisan era lalu yang dilestarikan antek-anteknya.

Sabtu, 08 Juni 2013

Yogyakarta Pelopor Polemologi, Kikis Kekerasan



Oleh : Danang Probotanoyo
     
     Bangsa Indonesia konon terkenal sebagai bangsa yang ramah, toleran dan suka bergotong royong. Namun faktanya, kerusuhan, amuk massa, tawuran dan perkelahian kerap kita saksikan dan kita baca dari berbagai media. Ironisnya itu terjadi nyaris setiap hari. Sebaran lokus kejadian juga merata, baik di perkotaan maupun di kawasan pinggiran; di Jawa maupun luar Jawa. Pelakunya pun tak mengenal status dan strata apapun. Laki, perempuan, tua muda bahkan belia pun terkadang ada di dalam pusaran kekerasan. Pemicu pelbagai bentuk kekerasan yang terjadi pun sangat beragam. Mulai dari yang bermuatan politis, rasa keadilan yang terabaikan (bisa subyektif), ketidakpuasan kelompok, menyangkut SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) hingga ke persoalan yang remeh temeh macam buntut pertandingan bola. 
Termuat di Harian Jogja, Medio: Juni 2013


Damai itu Indah
     Banyak kaidah nilai-nilai yang tercampakkan disini. Hukum seakan sudah tak mempan lagi untuk mencegah individu dan kelompok untuk melakukan kekerasan. Kohesifitas yang menjadi perekat bangsa selama berabad-abad dan menjadi ciri  khas Bangsa Indonesia mulai tergerus menjadi kotak-kotak kepentingan dan kelompok.  Namun yang pasti semua itu berhulu adanya  satu kegagalan di dalam sistem pendidikan kita.  Beberapa dekade ini, pendidikan nasional kita terlampau memfokuskan diri pada upaya pencapaian nilai mata pelajaran dan perkuliahan semata. Mendidik dalam hakikat yang utuh yakni menciptakan insan yang berilmu pengetahuan sekaligus berakhlak mulia terabaikan sekian lama. Bangsa Indonesia telah lupa pada ajaran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, yang menggariskan pentingnya  pendidikan yang yang berorientasi mengasah otak (Verstandelijke opvoeding) tanpa melupakan asah jiwa atau budi pekerti (Geestelijke opvoeding). Langkah untuk mengoreksi kesalahan ini memang memerlukan waktu yang tidak sebentar. Memformat ulang pendidikan yang bermuatan budi pekerti untuk merubah karakter bangsa tidak bisa sekonyong-konyong jadi. Namun demikian kekerasan dan kerusuhan yang masih saja terjadi, setidaknya bisa kita reduksi dengan menanamkan pengertian bahwa ‘Damai itu Indah’.  Kata ‘Damai’ tidak hanya untuk diteriakkan tapi harus diajarkan dalam pelbagai institusi pendidikan.
     Ilmu Perdamaian atau Polemologi seharusnya diperkenalkan di institusi pendidikan, sehingga ke depannya akan bermunculan para praktisi dan ahli perdamaian sebagai problem solver bibit pertikaian. Memang pada awalnya Polemologi (Latin, Polemos=Perang/Sengketa) merupakan ilmu yang mengajarkan perdamaian yang dikaitkan dengan peperangan. Polemologi lahir seusai Perang Dunia II. Bernama lain Irenologi (berasal dari nama Irene/Dewi Perdamaian, mitos Yunani kuno). Semula perdamaian dalam Polemologi diartikan sebagai kondisi tak ada perang. Polemologi dimaksudkan menciptakan perdamaian dengan mencegah peperangan (Negative Peace). Arti perdamaian yang sempit tadi oleh Johan Galtung (1979) diperluas menjadi Positive Peace. Menurut Galtung, Perdamaian positif adalah perdamaian yang ditandai adanya solidaritas, integrasi, pemerataan, keselarasan dan pemenuhan HAM. Polemologi bukan hanya soal mengusahakan perdamaian dari situasi perang. Polemologi menyangkut masalah Human Self Fulfillment, menyangkut permasalahan yang terkait budi pekerti dan nurani manusia. Poin pentingnya bahwa kekerasan fisik (termasuk perang) akan membawa korban manusia secara langsung. Namun kekerasan akibat ketiadaan budi pekerti yang baik serta absennya nurani akan membawa kesengsaraan dan penderitaan lebih luas dalam jangka panjang.
Yogyakarta Persemaian Perdamaian 


     Yogyakarta sebagai gudangnya para pendidik, ilmuwan dan budayawan, hendaknya bisa menjadi garda terdepan dalam pengkajian, pengembangan dan penerapan Polemologi. Polemologi butuh sentuhan budi pekerti dari pendidik, olah rasa dari budayawan serta riset dan implementasinya di lapangan oleh ilmuwan. Atmosfer Yogyakarta yang relatif ‘adem’ sebagai miniatur Indonesia, sarat dengan multikultur dan multietnik sangat pas bagi persemaian Polemologi. Apalagi di Yogyakarta-lah, Polemologi mulai diperkenalkan hampir tiga dasa warsa yang lalu. Sekitar tahun 1983-1985 Fakultas Filsafat UGM pernah menyelenggarakan seminar Polemologi untuk yang pertama kali di Indonesia. Mungkin karena Polemologi hanya dikaji sebatas filosofi sehingga  gaungnya sudah tak ada lagi sekarang ini. Padahal bila dikembangkan menjadi ilmu yang aplikatif sangat membantu mengikis kekerasan yang sedang mewabah sekarang ini. Mudah-mudahan institusi pendidikan dan ilmuwan di Yogyakarta tergerak untuk menggalakkan Polemologi sebagaimana kursus pendidikan antikorupsi yang marak belakangan ini. Betapa indah negeri ini, bila tidak ada korupsi dan kekerasan.    

Danang Probotanoyo, Pemerhati Sosial, Pusat Studi Reformasi Indonesia (CIRS) Alumni UGM
       

Selasa, 23 April 2013

Piala Oscar dan Kalungan Bunga Untuk Koruptor

Termuat di KORAN MERAPI, Medio: April 2013
      Secara etimologi, korupsi dari corruptus (latin), artinya tindakan yang merusak atau menghancurkan. Dalam bahasa Belanda disebut Korruptie berarti kebusukan, keburukan, kebejadan, ketidakjujuran; pun dalam Bahasa Arab disebut Riswah artinya penggelapan, kerakusan, amoralitas dan penyimpangan dari kesucian. Sampling tiga bahasa saja sudah menunjukkan tak adanya kebaikan secuilpun dari perilaku korupsi.
     Terjadi paradoks, para pelaku korupsi sama sekali tak merasa dirinya bersalah. Mereka tak ada empati sedikit pun terhadap  penderitaan nasib ribuan bahkan jutaan  orang miskin. Ada bayi anak orang miskin mati karena perlakuan diskriminatif rumah sakit, seorang nenek di Sumsel terpaksa mencuri singkong demi mengisi perut cucunya yang kelaparan atau serial drama bunuh diri ibu beserta anaknya di berbagai daerah akibat himpitan ekonomi, belum lagi jutaan anak putus sekolah karena ketiadaan biaya. Itu semua merupakan korban-korban yang nyata dari para koruptor.  Para koruptor mencuri uang negara yang seharusnya bisa untuk “ngopeni” jutaan orang miskin. Mereka layaknya “kanibal” yang tega memakan jatahnya orang miskin, sebagaimana dikatakan Ellias Canetti.  

sumber gambar: monsterbego.blogspot


Piala Oscar Untuk Koruptor
      Lebih tidak lucu  lagi, para koruptor justru berupaya meminta simpati dan dukungan  publik yang menjadi korbannya, ketika dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ada yang berpura-pura mendadak “sakit” parah, tergolek tak berdaya di rumah sakit atau menampilkan muka memelas kemana-mana naik kursi roda. Mereka lihai berakting, waktu kampanye berakting akrab dengan rakyat serta berjanji  memperjuangkan nasib mereka. Setelah menduduki kursi kemudian korupsi lantas berakting sakit. Sungguh, mereka tak kalah piawai dibanding Jennifer Lawrence dan Daniel Day Lewis pemenang Piala Oscar 2013.
     Selain akting sakit,  menjadi trend di kalangan koruptor  memerankan dirinya sebagai “korban konspirasi” atau “orang terdzalimi”. Ada Susno Duadji yang merasa didzalimi oleh atasan, kolega dan institusinya ketika berstatus pesakitan. Simak juga erangan Angelina Sondakh di depan pengadilan yang menyebut mantan koleganya, M. Nazarudin, sebagai “manusia terjahat di muka Bumi” yang telah menyeretnya ke bui. Begitupun ketika mantan menpora, Andi Alfian Mallarangeng,  dijadikan tersangka dalam skandal  Hambalang, sudah tak terhitung lagi pembelaan Rizal Mallarangeng terhadap sang kakak seraya mengatakan “ada kekuatan besar” dibalik itu. Terlalu mudah ditebak bahwa pihak yang dianggap sebagai “kekuatan besar” yang menjerumuskan  Andi Mallarangeng sebagai tersangka adalah pemilik kekuasaan, baik di pemerintahan maupun internal partainya.
     Melodrama pembelaan koruptor terkadang perlu didramatisasi seheroik mungkin. Siapa yang tidak berdiri bulu kuduknya, kala melihat Anis Matta mengepalkan tinju ke angkasa berkomat-kamit melantunkan penggalan ayat suci dan meneriakkan nama Tuhan, sebagai reaksi ditetapkannya  Luthfi Hasan Ishaaq (mantan Presiden PKS), sebagai tersangka kasus suap impor daging sapi. “Ada konspirasi besar untuk menghancurkan PKS”, lebih dramatis lagi: “ada konspirasi Zionis dibalik penetapan Luthfi sebagai tersangka”, begitu yang dikatakan mereka.
     Hal paling menggelikan saat Anas Urbaningrum, selaku (mantan) Ketua Umum Partai Demokrat ditetapkan KPK sebagai tersangka terkait kasus Hambalang. Dalam pidato pengundurun dirinya selaku Ketum Demokrat (23/2), secara eksplisit Anas mendudukkan dirinya selaku “korban” juga. Muncullah kalimat apologia “bayi yang lahir tak diharapkan”. Publik tentu paham telunjuk Anas  terarah ke partainya, tak terkecuali kepada SBY.  Ingatan publik jusru memandang sebaliknya: Anas adalah “anak angkat” kesayangan SBY. Anas ibarat anak yang pergi meninggalkan rumahnya di Komisi Pemilihan Umum (KPU), saat banyak komisioner KPU lainnya masuk bui karena korupsi. Anas hengkang ke Demokrat, partainya SBY. Sebagai anak baru di Demokrat, Anas dapat perlakuan istimewa dari SBY dan didudukkan sebagai Ketua Bidang Politik. Butuh waktu lama bagi orang lain untuk mendapat kepercayaan SBY yang sedemikian tinggi. Di tahun 2010 melalui kongres di Bandung, Anas bahkan menjadi orang nomor satu di jajaran DPP Demokrat alias menjadi ketua umum. Selain dukungan suara peserta kongres, tak bisa ditampik bahwa posisi ketua umum tentulah harus figur yang disukai dan direstui SBY. Di luar nalar, bila orang yang dibenci SBY bisa menjadi Ketum Demokrat. SBY melihat Anas sebagai sosok yang (konon) cerdas dan santun  sebagaimana harapan SBY bagi kader-kader di partainya.  Bagi SBY, Anas adalah aset berharga partai. Tak masuk akal bila Anas menganggap dirinya bak “bayi yang lahir tak diharapkan” (SBY), justru Anas adalah “anak adopsi” kebanggaan SBY. Apologi “bayi” Anas hanya upaya pengaburan masalah hukum untuk disulap menjadi kasus politik. Harapannya, publik bersimpati dan menganggap Anas sebagai korban kedzaliman. Mudah-mudahan publik lebih percaya KPK daripada Anas.  Publik hanya menanti Anas menepati janjinya berjalan bak ksatria menuju Monas. Rakyat tak sudi terhadap  akal-akalan politisi ikhwal teori konspirasi lagi.   
sumber gambar: tempo.co

Primordialisme Korupsi
     Selain akting para tersangka korupsi di atas, muncul pula fenomena “tim sukses” tersangka korupsi maupun sikap dukungan terhadap tersangka korupsi. Mereka membangun opini publik, kalau perlu dengan konferensi pers segala. Hal terbaru dalam jagad perkorupsian di Indonesia adalah membawa-bawa unsur primordialisme sempit dalam mendukung tersangka korupsi. Orang akan membela dan memberi dukungan “moril” kepada tersangka korupsi yang seorganisasi, satu komunitas ideologis bahkan kalau perlu primordial keagamaan. Dalam kasus suap impor daging sapi muncul tuduhan “ada konspirasi Zionis”. Tentu harapannya agar publik – yang  notabene mayoritas beragama Islam dan mendukung Palestina – akan jatuh hati dan bersimpati pada penerima suap itu.   Dalam kasus Anas Urbaningrum, berbondong-bondonglah mantan anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang sekarang terwadahi dalam KAHMI, memberi dukungan kepada Anas. Tak terkecuali Mahfud MD, yang mesti tergopoh-gopoh menyambangi rumah Anas pasca ditetapkannya dia sebagai tersangka. Sebagai pendekar hukum, apakah tak sebaiknya Mahfud menengok Jamal, si sopir angkot, yang sempat meringkuk di sel polisi gara-gara dianggap lalai menyebabkan penumpangnya mati, loncat dari angkot itu? Hal yang tak pernah dialami Rasyid Rajasa, anak menteri yang menyebabkan dua orang mati sekaligus karena mengendarai mobil mewahnya kelewat cepat.
     Dari primordialisme organisasi sempit semacam itu bisa ditarik dua dua hal ironistik. Pertama, kelak memberi pelajaran kepada calon-calon koruptor di masa depan pentingnya masuk organisasi. Melakukan korupsi akan lebih pede (baca: percaya diri) bila ada payung organisasinya. Kedua, patut dipertanyakan konduite dan kredibilitas organisasi maupun oknum-oknum di dalamnya dalam menyikapi tindak pidana korupsi. Mestinya para koruptor tak layak dibela secara organisatoris maupun per-individu anggota, bahkan sekedar untuk dukungan moral pun tak pantas. Jelas-jelas korupsi itu tak bermoral, kok, didukung secara moral. Jangan beri karangan bunga juga buat mereka. Kalau sikap dukung mendukung itu diteruskan, lama-lama akan terjadi “banalitas” atas kejahatan korupsi sebagaimana pemikiran Hannah Arendt. Korupsi hanya dipandang sebagai kekhilafan biasa, jauh dari harapan sebagai extra ordinary crime. Mungkin para pendukung tersangka korupsi itu bersemboyan: “dukamu adalah dukaku/duka kita”. Asal saja tidak keterusan: “korupsimu adalah korupsiku/korupsi kita.”

Danang Probotanoyo, Mantan Aktivis’98, Pegiat Antikorupsi, Pusat Studi Reformasi Indonesia Alumni UGM