Judul
Buku : Dua Arus Selokan Mataram
Penerbit : PT. Elex Media Komputindo
Penulis : Keluarga Alumni Universitas
Gadjah Mada
Catakan : I, 2014
Tebal
Halaman : xvii + 180
ISBN : 978-602-02-3313-0
Oleh: Danang Probotanoyo
Namun banyak kritik dialamatkan pada kelompok terdidik itu
manakala telah purna menjalankan studinya menjadi seorang sarjana. Sarjana kerap terjebak dalam laku pragmatisme. Sarjana bak hidup di menara gading, asyik dengan perburuan karier dan status
sosial lainnya. Mereka seolah teralienasi dari permasalahan bangsa dan
masyarakat, bahkan ada kalanya bertolak belakang; sewaktu mahasiswa lantang meneriakkan keadilan dan menolak
segala penyelewengan, setelah menjadi sarjana malah terlibat
korupsi.
Tak ingin ikut terjebak dalam “apatisme” dan “pragmatisme”,
sekelompok alumni Universitas Gadjah
Mada, yang terwadahi dalam grup Facebook
Kagama Virtual, ingin memberikan sumbangsih nyata untuk ibu pertiwi. Beberapa anggota lantas menggagas lomba penulisan
cerpen yang terbuka untuk alumni. Tema yang diusung adalah
“Kisah Masa-Masa Kuliah”. Lomba
berhasil
menjaring 248 judul cerpen dari 213 penulis. Tujuh juri yang ditunjuk akhirnya menetapkan 10 judul cerpen dan menerbitkannya dalam sebuah buku
kumpulan cerpen. Nilai-nilai moral dan idealisme yang kerap
disuarakan mahasiswa ternyata masih
dipegang teguh para sarjana penulis buku ini.
Banyak
sisi kehidupan dunia mahasiswa terpotret dalam sepuluh cerpen di buku ini. Buku kumpulan cerpen Kagama Virtual ini diberi nama
“Dua Arus Selokan Mataram”, mengambil judul cerpen yang keluar sebagai pemenang
pertama. Selokan Mataram adalah nama sebuah kanal atau saluran irigasi yang
menghubungkan dua buah sungai besar di DIY, yakni Sungai Opak dan Sungai Progo.
Dibangun semasa pendudukan Jepang sekitar tahun 1942. “Selokan” tersebut buah
pikiran brilian Sultan Hamengku Buwono IX, sebagai penguasa Mataram saat itu.
Pembangunan Kanal sepanjang kurang lebih 30 Km yang melibatkan ribuan rakyat
Jogja sebagai siasat semata Sri Sultan HB IX agar rakyatnya tidak dijadikan romusha
ke luar Jawa. Selokan Mataram dan UGM: dua nama yang tak terpisahkan. Seruas
“selokan” besar itu melintasi sisi utara Kampus UGM. Judul buku “Dua Arus
Selokan Mataram” semakin memperkokoh “dwi tunggal” UGM-Selokan Mataram.
Pada cerita
“Dua Arus Selokan Mataram” -- menjadi
judul buku – mengisahkan pertemuan antara seorang mahasiswa yang
bernama Kaldepa dan mahasiswi bernama Mayada di Selokan Mataram. Keduanya kerap menyambangi Selokan Mataram dengan tujuan yang berbeda. Kaldepa ke Selokan Mataram tersebab ingin selalu berbagi cerita
dengan “sang selokan”. Mayada sebaliknya, dia rutin berkunjung ke Selokan
Mataram untuk mengenang kekasihnya yang telah mati kala berarung jeram di sungai. Sejak itulah Mayada rajin mendatangi Selokan Mataram untuk meluapkan kebenciannya
terhadap sungai yang telah merenggut Dimitri kekasihnya. Pertemuan dengan Kaldepa sedikit
melunakkan hati Mayada. Di akhir cerita, hati Mayada mulai
terpaut ke Kaldepa. Sayang, di saat benih-benih cinta mulai
tumbuh, Kaldepa justru menghilang dari
Selokan Mataram (hal 1-24).
Resensi Saya, termuat di Jawa Pos, Medio: Mei 2014 |
Bangku
kuliah kerap dianggap sebagai pintu menuju kesuksesan seseorang. Nyatanya tak selamanya demikian. Dalam cerita
“Kedarpan”, Hasan sebagai sarjana telah meraih sukses menjadi direktur di satu
perusahaan. Nasib bertolak belakang dialami Beni. Sebagai sarjana, Beni hidupnya
masih terseok-seok. Beni hanyalah buruh kecil di satu pabrik. Padahal Hasanlah yang dulu memotivasi Beni agar
kuliah. Setelah
berpisah 20 tahun, tak dinyana keduanya dipertemukan dalam satu aksi unjuk rasa buruh dengan posisi jabatan serta kepentingan yang saling bertolak belakang ( hal 26-40).
Dunia mahasiswa bertalian erat dengan geliat keaktivisan. Setidaknya tema itu mengemuka di cerita “Saputangan
Merah Jambu”. Dalam cerita tergambarkan hiruk pikuk dunia aktivis jelang
reformasi 1998.
Berbagai intrik selalu mewarnai gerakan mahasiswa, termasuk adanya oknum agen
ganda yang bernama Iwan. Sungguh fenomena yang biasa di dunia aktivis, dimana seseorang bisa berperan
sebagai aktivis sekaligus informan bagi aparat (hal 162-180).
Meski secara umum tema yang diangkat dalam buku ini didominasi kisah asmara,
namun di dalamnya banyak
racikan referensi ilmu. Ada pokok-pokok pikiran Karl Marx, Che Guevara hingga Soekarno
di dalam cerita “Menikah” (hal 150-159). Pada cerita “Perjumpaan di Candi Prambanan”, ada eksplorasi budaya, sastra serta kepariwisataan. Kisah asmara
antara tokoh “Aku” dan Gitanyali justru hanya menjadi tempelan untuk membedah budaya, sastra dan kepariwisataan (hal
130-148).
Buku “Dua Arus Selokan Mataram” karya
para sarjana UGM ini tak hanya pelepas dahaga akan bacaan sastra. Pembacanya juga disuguhi ragam pengetahuan
akademis dari berbagai disiplin ilmu, linier dengan back ground keilmuan para penulisnya. Lebih dari itu, penerbitan
buku ini kental misi sosial dan nilai moralnya, sebab hasil penjualannya
disumbangkan untuk bea siswa anak kurang mampu dan untuk kegiatan sosial
lainnya. Nah, kampus mana lagi segera menyusul?