Perempuan
Korupsi, Perempuan Menjadi Korban
“Door
Duisternis Tot Licht”
Termuat Di KORAN MERAPI, Medio: Oktober 2012 |
Itulah kalimat monumental R.A. Kartini dalam
bahasa Belanda. Armijn Pane menerjemahkannya ke bahasa Melayu atau Indonesia: “Habis
Gelap Terbitlah Terang”. Azimat sakti Kartini lebih dari seabad silam begitu
membekas. Kalimat tersebut puncak pemaknaan seluruh perjuangan Kartini bagi
“kemerdekaan” kaumnya dari keterbelakangan pendidikan dan ketidaksetaraan sosial
dibandingkan kaum lelaki. Berkat perjuangan emansipasi Kartini, terbongkarlah
sekat-sekat patriarki pembelenggu perempuan untuk maju, lepas dari bayang-bayang
dan dominasi lelaki. Semenjak itu perempuan Indonesia secara moril memiliki hak
dan peluang yang sama dengan lelaki dalam hal pendidikan dan kehidupan sosial. Hancur pula mitos
perempuan sebagai “kanca wingking” lelaki alias pelapis suami dengan idiomatik sekedar
urusan: sumur, dapur dan kasur; pelan-pelan pun sirna. Terlebih sekarang secara
normatif dan yuridis negara memberi jaminan dan proteksi pada perempuan. Ada
Undang-undang Pemilu yang mengakomodasi kuota 30% kursi parlemen untuk
perempuan, UU No.23 Tahun 2004 perihal penghapusan kekerasan dalam rumah tangga,
hingga diadakannya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Teoritis,
rasanya sudah tak ada peluang bagi kaum lelaki di jaman modern ini untuk
sewenang-wenang dan diskriminatif – secara institusional maupun personal –
kepada perempuan. Secara kasuistis pasti ada anomali di sana-sini dari yang
umum dan normal, namun semakin mereduksi. Finally,
perempuan di republik ini sekarang telah sejajar dengan lelaki dalam segala hal.
Dari sekedar kepala desa, bupati, gubernur, menteri hingga presiden perempuan
telah kita miliki.
Ironisnya, kesejajaran perempuan dan lelaki saat ini tidak hanya
dalam peranan yang baik dan lumrah saja,
namun menjalar ke hal korupsi. Terasa ganjil, karena sejak kemerdekaan, korupsi
senantiasa menjadi “domain” lelaki. Era Soekarno, kasus dugaan korupsi menyeret
nama Ruslan Abdulgani (Menlu), Syamsudin Sutan Makmur
(mantan menteri penerangan), dan direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, sampai ditangkap
(Wikipedia). Jaman Soeharto atau Orba,
tidak perlu ditanyakan lagi korupsinya. Era kekuasaan Soeharto merupakan
masa keemasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Saat itu
para koruptor nyaris tak tersentuh hukum. Alasannya jelas, karena Soeharto lebih
mementingkan “stabilitas” versinya sendiri. Dia tidak menginginkan
pemerintahannya goyah akibat image korupsi yang mewabah di jajaran pemerintahan
dan birokrasinya. Agar terhindar dari cap rezim korup, cara yang ditempuh rezim
Soeharto adalah merepresi pers agar tak menulis berita “miring”. “Peluru
breidel” setiap saat bisa menerjang dan membuat media massa terkapar tak
bernyawa lagi. Harian Sinar Harapan pernah merasakan dibreidel gara-gara mengangkat
korupsi Pertamina dan pembangunan TMII. Pun Tempo bernasib sama ketika
mewartakan pembelian kapal bekas dengan harga selangit. Senjata pamungkas
“pasal subversif” setiap waktu bisa membuat pimpinan redaksi mati kutu. Itu
bisa menjawab omongan orang-orang yang sering mengatakan (tanpa dasar), korupsi
di era reformasi lebih marak daripada eranya Soeharto. Padahal, Soeharto cuma
menyembunyikan “kotoran” di bawah permadani indah yang bernama “stabilitas” dan
pertumbuhan. Maskot korupsi terbesar di jaman Soeharto yang sempat tersiar adalah
“gunung korupsi” Pertamina, dengan prahara rebutan “harta karun” Thahir (eks
pejabat pertamina) di Singapura, antara Pertamina versus Kartika (janda
Thahir).
“Ibu,
Ibu, Ibu”
Jelas, dari jaman Orla, Orba hingga reformasi sekarang ini, kasus-kasus
korupsi dijejali kaum lelaki. Sayangnya, rekor dominasi lelaki mulai
terpecahkan belakangan ini. Nama-nama perempuan tersangkut kasus korupsi (dan derivatnya)
mulai bermunculan secara masif. Beberapa sosialita tenar tersandung kasus
korupsi, sebut: Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Mindo Rosalina Manulang, Wa
Ode Nurhayati, Neneng Sri Wahyuni hingga Miranda S. Goeltom. Mereka bukan
perempuan biasa-biasa saja, dalam status sosial maupun pendidikannya. Jabatannya
juga tidak “ecek-ecek”. Ada anggota DPR, direktur perusahaan hingga mantan pejabat
BI. Secara akademis ada yang sarjana, S-2 bahkan profesor doktor. Artinya, secara
kasat mata, mereka adalah produk sukses emansipasi perempuan Indonesia, buah
perjuangan Kartini lebih seabad silam. Ini memerlukan kajian komprehensif dan
elaborasi yang dalam, apakah ini gejala emansipasi yang kebablasan? Ataukah ini
bentuk lain dari jeratan patriarki masa kini? Bisa jadi para perempuan koruptor
tersebut hanyalah “korban” permainan syahwat korupsi para lelaki. Dibelakang
Mindo, Angie dan Neneng, ada nama Nazarudin (dan beberapa lelaki kuat yang
belum tersentuh). Begitupun para penyuap Wa Ode Nurhayati hingga masuk bui,
yang ternyata kaum lelaki. Publik paham, awal terseretnya Wa Ode akibat
ocehannya hal korupsi di Banggar DPR (mayoritas lelaki). Ini mengingatkan kisah Mahabharata pada
episode perjudian kursi kekuasaan Astinapura, antara Duryudana dan Yudistira,
yang berakhir dengan dipermalukannya Drupadi (ditelanjangi) akibat
dijadikan taruhan para wayang lelaki
tersebut. Kate Millett (1977) pernah mengatakan, bahwa
patriarki membuat perempuan di bawah kontrol kekuasaan, gagasan, kebiasaan dan
kebudayaan lelaki. Sekarang terbukti, sistem
koruptif yang selama ini diciptakan dan digeluti para lelaki (pihak dominan),
ternyata telah menular ke perempuan. Ibarat
istri baik-baik yang terpapar HIV-Aids akibat suami yang “suka jajan” di luaran.
Perlu gelombang kedua “pembebasan” perempuan dari kungkungan jerat
sistem koruptif serta indoktrinasi
ideologi korupsi dari kaum lelaki korup. Para aktivis pembela perempuan dan
pejuang feminisme harus bergerak untuk membendung perilaku koruptif yang kadung
meluas di kalangan perempuan sendiri. Sebab, korban terbesar akibat korupsi di
negeri ini adalah kaum perempuan juga. Setidaknya, berdasar data di BPS (2010),
dari 32,53 juta jiwa penduduk miskin, 70% diantaranya adalah perempuan. Jumlah buta
aksara kaum perempuan pun lebih tinggi daripada lelaki, yakni 12,28% ,
sementara laki-laki 5,84%. Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi,
yaitu 248 per 100.000 kelahiran hidup. Jelas, beberapa parameter kualitas hidup
yang rendah tersebut berkorelasi dengan kemiskinan. Telaah sederhana mengatakan
bahwa kemiskinan yang diidap oleh
masyarakat dalam suatu negara merupakan buah meruyaknya perilaku korupsi
di negara tersebut. Artinya, semakin
banyak perempuan yang terjerumus dalam perilaku korupsi semakin banyak pula
perempuan-perempuan lain yang menjadi korbannya. Ini merupakan anomali
emansipasi yang diperjuangkan Kartini dan pejuang-pejuang perempuan lainnya.
Ibarat kata emansipasi yang menyimpang tadi malah senjata makan tuan bagi para perempuan sendiri. Harus ada penolakan
yang kuat dari kaum perempuan itu sendiri untuk menolak terlibat dalam
aksi-aksi korupsi di segala lini. Perempuan harus kembali ke fitrahnya sebagai
sokoguru pendidikan karakter manusia. Jangan nodai identitas perempuan sebagai
makhluk yang identik dengan kelembutan dan kasih sayang. Itulah keutamaan
seorang ibu. Sebagaimana Nabi pernah mengatakan “ibu” hingga tiga kali disusul
“bapak” (sekali), ketika ditanya orang, siapa yang pantas dihormati. Ayo,
perempuan, jangan mau ikutan korupsi!
Danang Probotanoyo
Peneliti Pusat Studi Reformasi Indonesia (CISR) Alumni UGM