Samson, Hercules, Goliath, Bima adalah sosok-sosok
makhluk kuat atau orang kuat dalam mitologi kuno. Deskripsi secara umum makhluk
atau orang kuat tersebut adalah bertubuh besar-berotot dan tenaga super tanpa
tanding. Namun kebanyakan dari mereka justru punya kelemahan dalam softskill,
yaitu kurang perasa terhadap keadaan sekitar karena terdistorsi tubuhnya yang
besar, dan kurang dalam kemampuan penalaran yang jernih karena lebih mengutamakan
kerja otot daripada kerja otak. Realitasnya, orang kuat tidak hanya ada
dalam legenda dan mitos, Orang kuat benar-benar nyata eksistensinya di dunia.
Dia ada di samping kiri-kanan dan depan-belakang kehidupan kita. Namun orang
kuat di dunia modern ini bukanlah sosok seperti Bima dan kawan-kawan. Orang
kuat di dunia nyata adalah makna konotatif yang melekat pada individu
atau sekelompok individu dimana segala sumber daya yang ada dalam dirinya
sering kali mampu mengatasi setiap hambatan pranata yang terbentuk di lingkaran
kehidupannya. Orang kuat dengan segala kuasanya bisa menelikung siapa saja yang
dipandang mengancam atau mengusik ketenangannya. Dengan kuasanya pula, orang
kuat senantiasa mengabaikan dan akhirnya menjadi imun terhadap segala norma, hukum
dan pranata di lingkungan sosialnya. Bahkan orang kuat sering kali
mengidentifikasi dirinya sebagai aturan atau hukum itu sendiri. “Hukum
adalah saya, saya adalah hukum”, begitulah postulat yang mereka bikin
sendiri dan dipaksakan untuk diterima secara mentah-mentah oleh lingkungan
sosialnya.
Tumbal Orang Kuat
Sejak Indonesia berada dalam genggaman komunitas
yang menamakan dirinya Orde Baru, pada periode itulah bermunculan orang-orang
kuat bak jamur di musim penghujan hingga kini. Bangunan otoritatif Orde
Baru kokoh tak tergoyahkan selama 32 tahun karena disangga oleh orang-orang
kuat di bawah pimpinan orang super kuat, Soeharto. Dalam sejarahnya orang kuat
senantiasa membawa tumbal – orang-orang lemah atau yang diperlemahkan – di
setiap gerak langkah dalam merayakan privilege akan kekuasaannya. Dan,
tentu saja orang kuat biasanya tidak tersentuh sanksi hukum sedikitpun atas
perilaku sewenang-wenangnya itu. Siapa yang berani mengadili apalagi memberi
vonis hukuman kepada orang super kuat Soeharto. Dalam contoh kasus pembunuhan
aktivis perburuhan Marsinah di awal 90-an, orang kuat yang berada dibelakang
kematiannya sama sekali tidak diciduk apparatus hukum. Orang kuat lain
yang diduga sebagai dalang pemberangusan kebebasan pers – lewat operasi kotor
penghilangan nyawa wartawan Bernas – Fuad Muhammad Syafrudin (Udin)
dipertengahan 90-an hingga kini masih “tak terbaca” oleh kacamata hukum positif
Indonesia. Bahkan operator lapangan yang notabene adalah orang lemah—setidaknya
secara kuasa, moral dan kapital – dalam kasus Udin tersebut, hingga kini tidak
terendus atau mungkin ada kesengajaan menutupi lubang hidung aparat penegak
hukum agar tidak mampu mengendusnya. Contoh kasus berikutnya adalah pemberian
asupan arsenic terhadap aktivis HAM, Munir, yang menyebabkan suami
Suciwati tersebut perlaya – kala berada di pesawat yang membawanya dari
Jakarta menuju Negeri Belanda—hingga kini meninggalkan jejak kecurigaan yang
mendalam bahwa ada “sidik jari” orang kuat yang tertinggal. Lagi-lagi orang
kuat masih melenggang dengan bebasnya.
Metamorfosis Orang Kuat ke Buaya
Fenomena orang kuat memang senantiasa mewarnai
lika-liku konstelasi mainstream sosial, politik, hukum, ekonomi dan
budaya di negeri ini. Anehnya, berbagai pengalaman buram pelanggaran HAM dan
hukum yang melibatkan orang kuat selama ini, terkesan bahwa hukum kurang
berdaya atau sengaja tidak diberdayakan. Kekisruhan “Kriminalisasi” aktivis
antikorupsi pun tidak mengesampingkan peran orang-orang kuat atau setidaknya
individu yang merasa dirinya kuat. Metafora buaya-cicak merupakan
spontanitas alam kesadaran bagi pihak yang memaklumatkan istilah tersebut.
Tanpa tedeng aling-aling, pihak tersebut mengidentifikasi dirinya dengan
fauna buaya yang berprofil besar, kuat, ganas, tak terkalahkan dan suka
memangsa apa saja yang dipandang lebih lemah dari dirinya. Dengan penuh
keangkuhan sosok yang menjelmakan dirinya sebagai sang buaya mengatribusikan
perumpaan hewan cicak kepada pihak lain yang dipandang secara subyektif lebih
lemah dan kalah berani dari dirinya. Sang buaya pun meradang bukan
kepalang manakala mengetahui sang cicak dengan mata awasnya mulai meneropong
segala tingkah laku dirinya. Imbasnya adalah diseretnya “cicak-cicak” dengan
berbagai dalih yang serba simpang siur. Penyalahgunaan wewenang tiba-tiba menjadi
frasa begitu penting yang digunakan untuk menelikung dua “pentolan cicak”
tersebut. Padahal sudah puluhan bahkan mungkin ribuan kali penyalahgunaan
wewenang menjadi duet kata yang hampir tidak bermakna di negeri ini, karena
biasanya bisa digantikan dengan eufimisme kesalahan prosedur
ataupun kesalahan administratif dengan pamrih dimaklumi tanpa sanksi
hukum apapun juga.
Boomerang
Ketika dalil penyalahgunaan wewenang bagai
bergantung di benang lapuk dan tidak mempunyai landasan yang kuat dan tepat maka
dicarikanlah formula tuduhan lain yaitu isu suap-menyuap, jika nanti isu
tersebut kembali bisa dinihilkan karena tiada bukti yang memadai, entah dalil
apalagi yang bisa dikenakan nantinya. Salah-salah dibelakang hari frasa
penyalahgunaan wewenang bisa berbalik arah menjadi boomerang kepada
pihak yang merasa dirinya kuat yang telah menyeret “dua ekor cicak”, sehingga credit
title kisah selanjutnya bisa berubah menjadi diseretnya sang buaya akibat
penyalahgunaan wewenang dalam menangani “dua cicak” tersebut. Pada akhirnya
sang makhluk kuat, buaya, bisa mendapatkan pawang sepadan yang mampu mengatasi
sepak terjang keganasannya. Dan semoga saja buaya jadi-jadian tersebut tidak
mengalami kemalangan destruktif hingga akhirnya “dikuliti” untuk
kemudian dibikin “souvenir”, dipajang dan dipertontonkan di “etalase sejarah”
oleh khalayak pendamba keadilan di negeri ini.
(Medio : November 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar