Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Senin, 27 Agustus 2012

Hikayat Orang Kuat dan "Buaya" (Fenomena Cicak Vs Buaya)


     Samson, Hercules, Goliath, Bima adalah sosok-sosok makhluk kuat atau orang kuat dalam mitologi kuno. Deskripsi secara umum makhluk atau orang kuat tersebut adalah bertubuh besar-berotot dan tenaga super tanpa tanding. Namun kebanyakan dari mereka justru punya kelemahan dalam softskill, yaitu kurang perasa terhadap keadaan sekitar karena terdistorsi tubuhnya yang besar, dan kurang dalam kemampuan penalaran yang jernih karena lebih mengutamakan kerja  otot daripada kerja otak. Realitasnya, orang kuat tidak hanya ada dalam legenda dan mitos, Orang kuat benar-benar nyata eksistensinya di dunia. Dia ada di samping kiri-kanan dan depan-belakang kehidupan kita. Namun orang kuat di dunia modern ini bukanlah sosok seperti Bima dan kawan-kawan. Orang kuat di dunia nyata adalah makna konotatif yang melekat pada individu atau sekelompok individu dimana segala sumber daya yang ada dalam dirinya sering kali mampu mengatasi setiap hambatan pranata yang terbentuk di lingkaran kehidupannya. Orang kuat dengan segala kuasanya bisa menelikung siapa saja yang dipandang mengancam atau mengusik ketenangannya. Dengan kuasanya pula, orang kuat senantiasa mengabaikan dan akhirnya menjadi imun terhadap segala norma, hukum dan pranata di lingkungan sosialnya. Bahkan orang kuat sering kali mengidentifikasi dirinya sebagai aturan atau  hukum itu sendiri. “Hukum adalah saya, saya adalah hukum”, begitulah postulat yang mereka bikin sendiri dan dipaksakan untuk diterima secara mentah-mentah oleh lingkungan sosialnya.
Tumbal Orang Kuat
Sejak Indonesia berada dalam genggaman komunitas yang menamakan dirinya Orde Baru, pada periode itulah bermunculan orang-orang kuat bak jamur di musim penghujan hingga kini. Bangunan otoritatif Orde Baru kokoh tak tergoyahkan selama 32 tahun karena disangga oleh orang-orang kuat di bawah pimpinan orang super kuat, Soeharto. Dalam sejarahnya orang kuat senantiasa membawa tumbal – orang-orang lemah atau yang diperlemahkan – di setiap gerak langkah dalam merayakan privilege akan kekuasaannya. Dan, tentu saja orang kuat biasanya tidak tersentuh sanksi hukum sedikitpun atas perilaku sewenang-wenangnya itu. Siapa yang berani mengadili apalagi memberi vonis hukuman kepada orang super kuat Soeharto. Dalam contoh kasus pembunuhan aktivis perburuhan Marsinah di awal 90-an, orang kuat yang berada dibelakang kematiannya sama sekali tidak diciduk apparatus hukum. Orang kuat lain yang diduga sebagai dalang pemberangusan kebebasan pers – lewat operasi kotor penghilangan nyawa wartawan Bernas – Fuad Muhammad Syafrudin (Udin) dipertengahan 90-an hingga kini masih “tak terbaca” oleh kacamata hukum positif Indonesia. Bahkan operator lapangan yang notabene adalah orang lemah—setidaknya secara kuasa, moral dan kapital – dalam kasus Udin tersebut, hingga kini tidak terendus atau mungkin ada kesengajaan menutupi lubang hidung aparat penegak hukum agar tidak mampu mengendusnya. Contoh kasus berikutnya adalah pemberian asupan arsenic terhadap aktivis HAM, Munir, yang menyebabkan suami Suciwati tersebut perlaya – kala berada di pesawat yang membawanya dari Jakarta menuju Negeri Belanda—hingga kini meninggalkan jejak kecurigaan yang mendalam bahwa ada “sidik jari” orang kuat yang tertinggal. Lagi-lagi orang kuat masih melenggang dengan bebasnya.
Metamorfosis Orang Kuat ke Buaya
Fenomena orang kuat memang senantiasa mewarnai lika-liku konstelasi mainstream sosial, politik, hukum, ekonomi dan budaya di negeri ini. Anehnya, berbagai pengalaman buram pelanggaran HAM dan hukum yang melibatkan orang kuat selama ini, terkesan bahwa hukum kurang berdaya atau sengaja tidak diberdayakan. Kekisruhan “Kriminalisasi” aktivis antikorupsi pun tidak mengesampingkan peran orang-orang kuat atau setidaknya individu yang merasa dirinya kuat. Metafora buaya-cicak merupakan spontanitas alam kesadaran bagi pihak yang memaklumatkan istilah tersebut. Tanpa tedeng aling-aling, pihak tersebut mengidentifikasi dirinya dengan fauna buaya yang berprofil besar, kuat, ganas, tak terkalahkan dan suka memangsa apa saja yang dipandang lebih lemah dari dirinya. Dengan penuh keangkuhan sosok yang menjelmakan dirinya sebagai sang buaya mengatribusikan perumpaan hewan cicak kepada pihak lain yang dipandang secara subyektif lebih lemah dan  kalah berani dari dirinya. Sang buaya pun meradang bukan kepalang manakala mengetahui sang cicak dengan mata awasnya mulai meneropong segala tingkah laku dirinya. Imbasnya adalah diseretnya “cicak-cicak” dengan berbagai dalih yang serba simpang siur. Penyalahgunaan wewenang tiba-tiba menjadi frasa begitu penting yang digunakan untuk menelikung dua “pentolan cicak” tersebut. Padahal sudah puluhan bahkan mungkin ribuan kali penyalahgunaan wewenang menjadi duet kata yang hampir tidak bermakna di negeri ini, karena biasanya bisa digantikan dengan eufimisme kesalahan prosedur ataupun  kesalahan administratif dengan pamrih dimaklumi tanpa sanksi hukum apapun juga.
Boomerang
Ketika dalil penyalahgunaan wewenang bagai bergantung di benang lapuk dan tidak mempunyai landasan yang kuat dan tepat maka dicarikanlah formula tuduhan lain yaitu isu suap-menyuap, jika nanti isu tersebut kembali bisa dinihilkan karena tiada bukti yang memadai, entah dalil apalagi yang bisa dikenakan nantinya. Salah-salah dibelakang hari frasa penyalahgunaan wewenang bisa berbalik arah menjadi boomerang kepada pihak yang merasa dirinya kuat yang telah menyeret “dua ekor cicak”, sehingga credit title kisah selanjutnya bisa berubah menjadi diseretnya sang buaya akibat penyalahgunaan wewenang dalam menangani “dua cicak” tersebut. Pada akhirnya sang makhluk kuat, buaya, bisa mendapatkan pawang sepadan yang mampu mengatasi sepak terjang keganasannya. Dan semoga saja buaya jadi-jadian tersebut tidak mengalami kemalangan destruktif hingga akhirnya “dikuliti” untuk kemudian dibikin “souvenir”, dipajang dan dipertontonkan di “etalase sejarah” oleh khalayak pendamba keadilan di negeri ini.
(Medio : November 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar