Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 18 November 2012

Perempuan Korupsi, Perempuan Menjadi Korban


Perempuan Korupsi, Perempuan Menjadi Korban

“Door Duisternis Tot Licht”
Termuat Di KORAN MERAPI, Medio: Oktober 2012
Itulah kalimat monumental R.A. Kartini dalam bahasa Belanda. Armijn Pane menerjemahkannya ke bahasa Melayu atau Indonesia: “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Azimat sakti Kartini lebih dari seabad silam begitu membekas. Kalimat tersebut puncak pemaknaan seluruh perjuangan Kartini bagi “kemerdekaan” kaumnya dari keterbelakangan pendidikan dan ketidaksetaraan sosial dibandingkan kaum lelaki. Berkat perjuangan emansipasi Kartini, terbongkarlah sekat-sekat patriarki pembelenggu perempuan untuk maju, lepas dari bayang-bayang dan dominasi lelaki. Semenjak itu perempuan Indonesia secara moril memiliki hak dan peluang yang sama dengan lelaki dalam hal  pendidikan dan kehidupan sosial. Hancur pula mitos perempuan sebagai “kanca wingking” lelaki alias pelapis suami dengan idiomatik sekedar urusan: sumur, dapur dan kasur; pelan-pelan pun sirna. Terlebih sekarang secara normatif dan yuridis negara memberi jaminan dan proteksi pada perempuan. Ada Undang-undang Pemilu yang mengakomodasi kuota 30% kursi parlemen untuk perempuan, UU No.23 Tahun 2004 perihal penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga diadakannya Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Teoritis, rasanya sudah tak ada peluang bagi kaum lelaki di jaman modern ini untuk sewenang-wenang dan diskriminatif – secara institusional maupun personal – kepada perempuan. Secara kasuistis pasti ada anomali di sana-sini dari yang umum dan normal, namun semakin mereduksi. Finally, perempuan di republik ini sekarang telah sejajar dengan lelaki dalam segala hal. Dari sekedar kepala desa, bupati, gubernur, menteri hingga presiden perempuan telah kita miliki.             
Sumber gambar ini: unpam.us
Korupsi Ranah Lelaki   
     Ironisnya, kesejajaran perempuan dan lelaki saat ini tidak hanya dalam  peranan yang baik dan lumrah saja, namun menjalar ke hal korupsi. Terasa ganjil, karena sejak kemerdekaan, korupsi senantiasa menjadi “domain” lelaki. Era Soekarno, kasus dugaan korupsi menyeret nama Ruslan Abdulgani (Menlu), Syamsudin Sutan Makmur (mantan menteri penerangan), dan direktur Percetakan Negara, Pieter de Queljoe, sampai ditangkap (Wikipedia).  Jaman Soeharto atau Orba, tidak perlu ditanyakan lagi korupsinya. Era kekuasaan Soeharto  merupakan  masa keemasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di Indonesia. Saat itu para koruptor nyaris tak tersentuh hukum. Alasannya jelas, karena Soeharto lebih mementingkan “stabilitas” versinya sendiri. Dia tidak menginginkan pemerintahannya goyah akibat image korupsi yang mewabah di jajaran pemerintahan dan birokrasinya. Agar terhindar dari cap rezim korup, cara yang ditempuh rezim Soeharto adalah merepresi pers agar tak menulis berita “miring”. “Peluru breidel” setiap saat bisa menerjang dan membuat media massa terkapar tak bernyawa lagi. Harian Sinar Harapan pernah merasakan dibreidel gara-gara mengangkat korupsi Pertamina dan pembangunan TMII. Pun Tempo bernasib sama ketika mewartakan pembelian kapal bekas dengan harga selangit. Senjata pamungkas “pasal subversif” setiap waktu bisa membuat pimpinan redaksi mati kutu. Itu bisa menjawab omongan orang-orang yang sering mengatakan (tanpa dasar), korupsi di era reformasi lebih marak daripada eranya Soeharto. Padahal, Soeharto cuma menyembunyikan “kotoran” di bawah permadani indah yang bernama “stabilitas” dan pertumbuhan. Maskot korupsi terbesar di jaman Soeharto yang sempat tersiar adalah “gunung korupsi” Pertamina, dengan prahara rebutan “harta karun” Thahir (eks pejabat pertamina) di Singapura, antara Pertamina versus Kartika (janda Thahir).
“Ibu, Ibu, Ibu”
    Jelas, dari jaman Orla, Orba hingga reformasi sekarang ini, kasus-kasus korupsi dijejali kaum lelaki. Sayangnya, rekor dominasi lelaki mulai terpecahkan belakangan ini. Nama-nama perempuan tersangkut kasus korupsi (dan derivatnya) mulai bermunculan secara masif. Beberapa sosialita tenar tersandung kasus korupsi, sebut: Angelina Sondakh, Nunun Nurbaeti, Mindo Rosalina Manulang, Wa Ode Nurhayati, Neneng Sri Wahyuni hingga Miranda S. Goeltom. Mereka bukan perempuan biasa-biasa saja, dalam status sosial maupun pendidikannya. Jabatannya juga tidak “ecek-ecek”. Ada anggota DPR, direktur perusahaan hingga mantan pejabat BI. Secara akademis ada yang sarjana, S-2 bahkan profesor doktor. Artinya, secara kasat mata, mereka adalah produk sukses emansipasi perempuan Indonesia, buah perjuangan Kartini lebih seabad silam. Ini memerlukan kajian komprehensif dan elaborasi yang dalam, apakah ini gejala emansipasi yang kebablasan? Ataukah ini bentuk lain dari jeratan patriarki masa kini? Bisa jadi para perempuan koruptor tersebut hanyalah “korban” permainan syahwat korupsi para lelaki. Dibelakang Mindo, Angie dan Neneng, ada nama Nazarudin (dan beberapa lelaki kuat yang belum tersentuh). Begitupun para penyuap Wa Ode Nurhayati hingga masuk bui, yang ternyata kaum lelaki. Publik paham, awal terseretnya Wa Ode akibat ocehannya hal korupsi di Banggar DPR (mayoritas lelaki).  Ini mengingatkan kisah Mahabharata pada episode perjudian kursi kekuasaan Astinapura, antara Duryudana dan Yudistira, yang berakhir dengan dipermalukannya Drupadi (ditelanjangi) akibat dijadikan  taruhan para wayang lelaki tersebut. Kate Millett (1977) pernah mengatakan, bahwa patriarki membuat perempuan di bawah kontrol kekuasaan, gagasan, kebiasaan dan kebudayaan  lelaki. Sekarang terbukti, sistem koruptif yang selama ini diciptakan dan digeluti para lelaki (pihak dominan), ternyata telah menular ke  perempuan. Ibarat istri baik-baik yang terpapar HIV-Aids akibat suami yang “suka jajan” di luaran.
    Perlu gelombang kedua “pembebasan” perempuan dari kungkungan jerat sistem koruptif  serta indoktrinasi ideologi korupsi dari kaum lelaki korup. Para aktivis pembela perempuan dan pejuang feminisme harus bergerak untuk membendung perilaku koruptif yang kadung meluas di kalangan perempuan sendiri. Sebab, korban terbesar akibat korupsi di negeri ini adalah kaum perempuan juga. Setidaknya, berdasar data di BPS (2010), dari 32,53 juta jiwa penduduk miskin, 70% diantaranya adalah perempuan. Jumlah buta aksara kaum perempuan pun lebih tinggi daripada lelaki, yakni 12,28% , sementara laki-laki 5,84%. Angka kematian ibu (AKI) juga masih sangat tinggi, yaitu 248 per 100.000 kelahiran hidup. Jelas, beberapa parameter kualitas hidup yang rendah tersebut berkorelasi dengan kemiskinan. Telaah sederhana mengatakan bahwa kemiskinan yang diidap oleh  masyarakat dalam suatu negara merupakan buah meruyaknya perilaku korupsi di negara tersebut.  Artinya, semakin banyak perempuan yang terjerumus dalam perilaku korupsi semakin banyak pula perempuan-perempuan lain yang menjadi korbannya. Ini merupakan anomali emansipasi yang diperjuangkan Kartini dan pejuang-pejuang perempuan lainnya. Ibarat kata emansipasi yang menyimpang tadi malah senjata makan tuan bagi  para perempuan sendiri. Harus ada penolakan yang kuat dari kaum perempuan itu sendiri untuk menolak terlibat dalam aksi-aksi korupsi di segala lini. Perempuan harus kembali ke fitrahnya sebagai sokoguru pendidikan karakter manusia. Jangan nodai identitas perempuan sebagai makhluk yang identik dengan kelembutan dan kasih sayang. Itulah keutamaan seorang ibu. Sebagaimana Nabi pernah mengatakan “ibu” hingga tiga kali disusul “bapak” (sekali), ketika ditanya orang, siapa yang pantas dihormati. Ayo, perempuan, jangan mau ikutan korupsi!
Danang Probotanoyo
Peneliti Pusat Studi Reformasi Indonesia (CISR) Alumni UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar