Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Sabtu, 08 Juni 2013

Yogyakarta Pelopor Polemologi, Kikis Kekerasan



Oleh : Danang Probotanoyo
     
     Bangsa Indonesia konon terkenal sebagai bangsa yang ramah, toleran dan suka bergotong royong. Namun faktanya, kerusuhan, amuk massa, tawuran dan perkelahian kerap kita saksikan dan kita baca dari berbagai media. Ironisnya itu terjadi nyaris setiap hari. Sebaran lokus kejadian juga merata, baik di perkotaan maupun di kawasan pinggiran; di Jawa maupun luar Jawa. Pelakunya pun tak mengenal status dan strata apapun. Laki, perempuan, tua muda bahkan belia pun terkadang ada di dalam pusaran kekerasan. Pemicu pelbagai bentuk kekerasan yang terjadi pun sangat beragam. Mulai dari yang bermuatan politis, rasa keadilan yang terabaikan (bisa subyektif), ketidakpuasan kelompok, menyangkut SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) hingga ke persoalan yang remeh temeh macam buntut pertandingan bola. 
Termuat di Harian Jogja, Medio: Juni 2013


Damai itu Indah
     Banyak kaidah nilai-nilai yang tercampakkan disini. Hukum seakan sudah tak mempan lagi untuk mencegah individu dan kelompok untuk melakukan kekerasan. Kohesifitas yang menjadi perekat bangsa selama berabad-abad dan menjadi ciri  khas Bangsa Indonesia mulai tergerus menjadi kotak-kotak kepentingan dan kelompok.  Namun yang pasti semua itu berhulu adanya  satu kegagalan di dalam sistem pendidikan kita.  Beberapa dekade ini, pendidikan nasional kita terlampau memfokuskan diri pada upaya pencapaian nilai mata pelajaran dan perkuliahan semata. Mendidik dalam hakikat yang utuh yakni menciptakan insan yang berilmu pengetahuan sekaligus berakhlak mulia terabaikan sekian lama. Bangsa Indonesia telah lupa pada ajaran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, yang menggariskan pentingnya  pendidikan yang yang berorientasi mengasah otak (Verstandelijke opvoeding) tanpa melupakan asah jiwa atau budi pekerti (Geestelijke opvoeding). Langkah untuk mengoreksi kesalahan ini memang memerlukan waktu yang tidak sebentar. Memformat ulang pendidikan yang bermuatan budi pekerti untuk merubah karakter bangsa tidak bisa sekonyong-konyong jadi. Namun demikian kekerasan dan kerusuhan yang masih saja terjadi, setidaknya bisa kita reduksi dengan menanamkan pengertian bahwa ‘Damai itu Indah’.  Kata ‘Damai’ tidak hanya untuk diteriakkan tapi harus diajarkan dalam pelbagai institusi pendidikan.
     Ilmu Perdamaian atau Polemologi seharusnya diperkenalkan di institusi pendidikan, sehingga ke depannya akan bermunculan para praktisi dan ahli perdamaian sebagai problem solver bibit pertikaian. Memang pada awalnya Polemologi (Latin, Polemos=Perang/Sengketa) merupakan ilmu yang mengajarkan perdamaian yang dikaitkan dengan peperangan. Polemologi lahir seusai Perang Dunia II. Bernama lain Irenologi (berasal dari nama Irene/Dewi Perdamaian, mitos Yunani kuno). Semula perdamaian dalam Polemologi diartikan sebagai kondisi tak ada perang. Polemologi dimaksudkan menciptakan perdamaian dengan mencegah peperangan (Negative Peace). Arti perdamaian yang sempit tadi oleh Johan Galtung (1979) diperluas menjadi Positive Peace. Menurut Galtung, Perdamaian positif adalah perdamaian yang ditandai adanya solidaritas, integrasi, pemerataan, keselarasan dan pemenuhan HAM. Polemologi bukan hanya soal mengusahakan perdamaian dari situasi perang. Polemologi menyangkut masalah Human Self Fulfillment, menyangkut permasalahan yang terkait budi pekerti dan nurani manusia. Poin pentingnya bahwa kekerasan fisik (termasuk perang) akan membawa korban manusia secara langsung. Namun kekerasan akibat ketiadaan budi pekerti yang baik serta absennya nurani akan membawa kesengsaraan dan penderitaan lebih luas dalam jangka panjang.
Yogyakarta Persemaian Perdamaian 


     Yogyakarta sebagai gudangnya para pendidik, ilmuwan dan budayawan, hendaknya bisa menjadi garda terdepan dalam pengkajian, pengembangan dan penerapan Polemologi. Polemologi butuh sentuhan budi pekerti dari pendidik, olah rasa dari budayawan serta riset dan implementasinya di lapangan oleh ilmuwan. Atmosfer Yogyakarta yang relatif ‘adem’ sebagai miniatur Indonesia, sarat dengan multikultur dan multietnik sangat pas bagi persemaian Polemologi. Apalagi di Yogyakarta-lah, Polemologi mulai diperkenalkan hampir tiga dasa warsa yang lalu. Sekitar tahun 1983-1985 Fakultas Filsafat UGM pernah menyelenggarakan seminar Polemologi untuk yang pertama kali di Indonesia. Mungkin karena Polemologi hanya dikaji sebatas filosofi sehingga  gaungnya sudah tak ada lagi sekarang ini. Padahal bila dikembangkan menjadi ilmu yang aplikatif sangat membantu mengikis kekerasan yang sedang mewabah sekarang ini. Mudah-mudahan institusi pendidikan dan ilmuwan di Yogyakarta tergerak untuk menggalakkan Polemologi sebagaimana kursus pendidikan antikorupsi yang marak belakangan ini. Betapa indah negeri ini, bila tidak ada korupsi dan kekerasan.    

Danang Probotanoyo, Pemerhati Sosial, Pusat Studi Reformasi Indonesia (CIRS) Alumni UGM
       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar