Oleh
: Danang Probotanoyo
Bangsa Indonesia konon terkenal sebagai bangsa yang ramah, toleran dan
suka bergotong royong. Namun faktanya, kerusuhan, amuk massa, tawuran dan
perkelahian kerap kita saksikan dan kita baca dari berbagai media. Ironisnya
itu terjadi nyaris setiap hari. Sebaran lokus kejadian juga merata, baik di
perkotaan maupun di kawasan pinggiran; di Jawa maupun luar Jawa. Pelakunya pun
tak mengenal status dan strata apapun. Laki, perempuan, tua muda bahkan belia
pun terkadang ada di dalam pusaran kekerasan. Pemicu pelbagai bentuk kekerasan
yang terjadi pun sangat beragam. Mulai dari yang bermuatan politis, rasa
keadilan yang terabaikan (bisa subyektif), ketidakpuasan kelompok, menyangkut
SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan) hingga ke persoalan yang remeh temeh
macam buntut pertandingan bola.
Termuat di Harian Jogja, Medio: Juni 2013 |
Damai
itu Indah
Banyak kaidah nilai-nilai yang tercampakkan disini. Hukum seakan sudah
tak mempan lagi untuk mencegah individu dan kelompok untuk melakukan kekerasan.
Kohesifitas yang menjadi perekat bangsa selama berabad-abad dan menjadi
ciri khas Bangsa Indonesia mulai
tergerus menjadi kotak-kotak kepentingan dan kelompok. Namun yang pasti semua itu berhulu adanya satu kegagalan di dalam sistem pendidikan
kita. Beberapa dekade ini, pendidikan
nasional kita terlampau memfokuskan diri pada upaya pencapaian nilai mata
pelajaran dan perkuliahan semata. Mendidik dalam hakikat yang utuh yakni
menciptakan insan yang berilmu pengetahuan sekaligus berakhlak mulia terabaikan
sekian lama. Bangsa Indonesia telah lupa pada ajaran Bapak Pendidikan Nasional,
Ki Hadjar Dewantara, yang menggariskan
pentingnya pendidikan yang yang
berorientasi mengasah otak (Verstandelijke opvoeding) tanpa
melupakan asah jiwa atau budi pekerti (Geestelijke opvoeding). Langkah
untuk mengoreksi kesalahan ini memang memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Memformat ulang pendidikan yang bermuatan budi pekerti untuk merubah karakter
bangsa tidak bisa sekonyong-konyong jadi. Namun demikian kekerasan dan
kerusuhan yang masih saja terjadi, setidaknya bisa kita reduksi dengan
menanamkan pengertian bahwa ‘Damai itu Indah’.
Kata ‘Damai’ tidak hanya untuk diteriakkan tapi harus diajarkan dalam
pelbagai institusi pendidikan.
Ilmu Perdamaian atau Polemologi seharusnya diperkenalkan di institusi
pendidikan, sehingga ke depannya akan bermunculan para praktisi dan ahli
perdamaian sebagai problem solver
bibit pertikaian. Memang pada awalnya Polemologi (Latin, Polemos=Perang/Sengketa) merupakan ilmu yang mengajarkan perdamaian
yang dikaitkan dengan peperangan. Polemologi lahir seusai Perang Dunia II. Bernama
lain Irenologi (berasal dari nama Irene/Dewi
Perdamaian, mitos Yunani kuno). Semula perdamaian dalam Polemologi diartikan
sebagai kondisi tak ada perang. Polemologi dimaksudkan menciptakan perdamaian
dengan mencegah peperangan (Negative
Peace). Arti perdamaian yang sempit tadi oleh Johan Galtung (1979)
diperluas menjadi Positive Peace.
Menurut Galtung, Perdamaian positif adalah perdamaian yang ditandai adanya
solidaritas, integrasi, pemerataan, keselarasan dan pemenuhan HAM. Polemologi
bukan hanya soal mengusahakan perdamaian dari situasi perang. Polemologi
menyangkut masalah Human Self Fulfillment,
menyangkut permasalahan yang terkait budi pekerti dan nurani manusia. Poin
pentingnya bahwa kekerasan fisik (termasuk perang) akan membawa korban manusia
secara langsung. Namun kekerasan akibat ketiadaan budi pekerti yang baik serta
absennya nurani akan membawa kesengsaraan dan penderitaan lebih luas dalam
jangka panjang.
Yogyakarta
Persemaian Perdamaian
Yogyakarta sebagai gudangnya para pendidik, ilmuwan dan budayawan,
hendaknya bisa menjadi garda terdepan dalam pengkajian, pengembangan dan
penerapan Polemologi. Polemologi butuh sentuhan budi pekerti dari pendidik, olah
rasa dari budayawan serta riset dan implementasinya di lapangan oleh ilmuwan.
Atmosfer Yogyakarta yang relatif ‘adem’ sebagai miniatur Indonesia, sarat
dengan multikultur dan multietnik sangat pas bagi persemaian Polemologi.
Apalagi di Yogyakarta-lah, Polemologi mulai diperkenalkan hampir tiga dasa
warsa yang lalu. Sekitar tahun 1983-1985 Fakultas Filsafat UGM pernah
menyelenggarakan seminar Polemologi untuk yang pertama kali di Indonesia.
Mungkin karena Polemologi hanya dikaji sebatas filosofi sehingga gaungnya sudah tak ada lagi sekarang ini.
Padahal bila dikembangkan menjadi ilmu yang aplikatif sangat membantu mengikis
kekerasan yang sedang mewabah sekarang ini. Mudah-mudahan institusi pendidikan
dan ilmuwan di Yogyakarta tergerak untuk menggalakkan Polemologi sebagaimana
kursus pendidikan antikorupsi yang marak belakangan ini. Betapa indah negeri
ini, bila tidak ada korupsi dan kekerasan.
Danang
Probotanoyo, Pemerhati Sosial, Pusat Studi Reformasi Indonesia (CIRS) Alumni
UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar