Oleh: Danang Probotanoyo
Resensi Saya Termuat di Radar Surabaya, Februari 2014
|
Judul
Buku: Hoegeng Polisi Dan Menteri Teladan
Penulis : Suhartono
Penerbit : Penerbit Buku KOMPAS
Terbit : Desember 2013
Halaman : XXV + 142
ISBN : 978-979-709-769-1
Apa yang Lord Acton katakan dalam
suratnya kepada Bishop Mandell Creighten, bahwa power tends to corrupt and
absolute power corrupts absolutely,
terbukti hingga kini. Korupsi dan
kekuasaan bagaikan dua sisi koin yang tak terpisahkan Setiap hari, media massa cetak dan elektronik
tanah air mewartakan berita korupsi. Semua pilar kekuasaan negeri ini telah
terjangkit penyakit korupsi. Para pemimpin yang duduk di lembaga yudikatif, legislatif
dan eksekutif, silih berganti menjadi pesakitan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Jargon-jargon good governance dan clean government seperti di
awang-awang saja. Nyatanya, beberapa tokoh pemerintahan dan politik negeri
ini, gembar-gembor tentang hal itu,
justru menjadi pelaku korupsi. Padahal, dengan
jabatan yang mereka sandang, negara telah memberikan kompensasi yang
sangat memadai, bahkan di atas rerata warga negara lainnnya. Pangkalnya
ketiadaan integritas para pemimpin tersebut. Antara yang diomongkan – soal
antikorupsi—dengan perilakunya tak berkesesuaian. Negeri ini sudah lama miskin
keteladanan seorang pemimpin.
Diantara
sosok pemimpin yang dirindukan kehadirannya di republik ini adalah Hoegeng Iman
Santoso, atau yang lebih akrab dipanggil Hoegeng. Suhartono, melalui buku yang
ditulisnya ini “Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan”, mencoba keluar dari tren
menulis buku biografi Hoegeng, yang sudah ditulis oleh penulis lain. Suhartono
mencoba mendiskripsikan clean government secara kontekstual yang ada
pada Hoegeng, menjadi teks-teks praktis. Ditulis berdasar penuturan saksi
hidup, Soedharto Martopoespito, selaku asisten Hoegeng saat menjadi
Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet, diseputaran tahun 1966.
Korupsi oleh
penyelenggara negara bisa dilakukan melalui banyak pintu. Penyalahgunakan
fasilitas negara untuk kepentingan pribadi atau keluarganya, merupakan satu
contoh. Hoegeng yang telah mengenyam berbagai jabatan prestisius sejak jaman
Soekarno hingga Soeharto, paling anti menggunakan fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi atau keluarganya. Banyak fasilitas yang sah secara aturan,
diperuntukkan padanya pun ditolaknya. Bahkan, sekedar fasilitas pengawalan
selaku pejabat tinggi negara, Hoegeng pun menolaknya. Saking banyaknya
fasilitas negara yang sah untuk Hoegeng, namun tidak diambilnya, membuat Roto,
seorang pejabat yang berwenang mengurusi fasilitas untuk pejabat, berinisiatif
‘mengompensasi’ sebagian kecil jatah Hoegeng untuk kesejahteraan para bawahan Hoegeng (hal
33). Hoegeng pun menolak pemberian
fasilitas mobil Holden, keluaran terbaru saat itu (1965), dan lebih memilih mengandangkannya
di garasi lingkungan kantornya (hal 35). Selain tak mau memakai fasilitas
negara untuk pribadinya, Hoegeng juga terkenal sebagai pribadi yang lurus dan
tak kenal kompromi. Segala gratifikasi dari pihak lain untuknya akan mental
alias ditolak Hoegeng. Pemberian rumah dan perabotan komplit dari pengusaha Medan, dua motor terbaru merek
Lambretta, hingga mobil Mazda dari Dassad Musin, semua ditolak Hoegeng (hal
37-40). Hoegeng pribadi yang teguh dari segala godaan, meskipun penolakan aneka
‘hadiah’ tersebut sempat membuat anak lelakinya menangis, tapi tetap tak
meluluhkan Hoegeng.
Hoegeng
lebih memilih hidup sederhana, daripada membebani negara dengan aneka fasilitas
untuknya. Dia lebih memilih tinggal di rumah kontrakan daripada menghuni rumah
dinas menteri, saat dirinya menjabat sebagai Menteri Iuran Negara (hal 70). Saking
bersahajanya, anak-anak Hoegeng tak pernah dibekali uang saku ketika sekolah. Hoegeng membiasakan
anak-anaknya utuk mandiri, dengan mempersilahkan mereka berdagang koran dan
kue-kue (hal 78). Dalam menjalankan prinsip transparansi, Hoegeng tidak membuat
sekat ruangan di kantornya saat menjadi Menteri/Sekretaris Presidium Kabinet. Semua
tamu dan segala pembicaraan antara Hoegeng dan tamunya bisa diketahui oleh para
bawahannya (hal 16).
Di zaman
sekarang, untuk mencegah korupsi di kalangan pejabat penyelenggara negara,
mereka diwajibkan untuk melaporkan harta kekayaannya secara periodik. Puluhan
tahun silam, Hoegeng ternyata telah mewajibkan para Kepala Polisi Daerah dan
para Komandan Keamanan Pelabuhan se-Indonesia untuk membuat daftar kekayaan
mereka (hal 78).
Hoegeng tak pernah beretorika hal ‘pemberantasan
korupsi’, Hoegeng justru memulai dari dirinya sendiri dan keluarganya.
Pencegahan dan pemberantasan korupsi bagi Hoegeng layaknya orang mandi, dimulai
dari membersihkan yang paling atas (pimpinan) hingga ke bagian paling bawah
(staf terendah) (hal 83).
Buku
“Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan” ini layak dijadikan sebagai buku bacaan
praktis di mata kuliah antikorupsi perguruan tinggi, serta buku bacaan wajib
bagi para calon pegawai pemerintah ketika memasuki masa prajabatan. Tentunya
kalau semua ingin serius mencegah dan memberantas korupsi di negeri ini.
Diresensi: Danang Probotanoyo (alumnus UGM)
thanks Bray Infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id