Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 26 April 2015

“Kartini Tionghoa” Pelindung Perempuan dan Anak Terlantar



Judul Buku : NY. Lie Tjian Tjoen, Mendahului Sang Waktu            
Resensi Saya di KORAN JAKARTA, Medio: April'15

Pengarang  : A. Bobby Pr.

Penerbit      : Penerbit Buku Kompas

Cetakan       : I, 2014

ISBN           : 978-979-709-872-8

Tebal Buku : xiv + 218

Oleh: Danang Probotanoyo
    Beberapa hari lalu bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini. Hari yang diperingati setiap tanggal 21 April itu merupakan hari lahir tokoh emansipasi perempuan Indonesia, yakni R.A. Kartini. Berkat perjuangan R.A. Kartini, kaum perempuan mendapatkan hak sebagaimana kaum lelaki khususnya di bidang pendidikan. Selain R.A. Kartini, sejatinya bangsa Indonesia memiliki perempuan-perempuan hebat lain yang layak menjadi pahlawan di bidangnya masing-masing. Salah satunya adalah Ny. Lien Tjian Tjoen.

      Perempuan yang terlahir dengan nama Auw Tjoei Lan pada 24 Februari 1889, di Majalengka itu sungguh luar biasa jasanya di bidang kemanusiaan. Isu-isu masa kini seperti perlindungan anak hingga women trafficking, nyatanya sudah menjadi concern Ny. Lien Tjian Tjoen lebih dari seabad silam. Perjuangan Ny. Lien nyaris tidak diketahui secara meluas dan jauh dari publikasi. Hal itu erat dengan prinsip hidup yang dimiliki oleh Ny. Lien sendiri, yakni berjuang tanpa pamrih. Tangan kanan menolong sebisa mungkin tangan kiri tidak mengetahuinya, itulah pedoman hidup Ny. Lien. Pada awalnya Ny. Lien tergerak hatinya untuk memberikan pertolongan kepada para perempuan Tiongkok yang didatangkan ke Batavia (sekarang Jakarta) sebagai pelacur. Perjuangan kemanusiaan Ny. Lien lantas meluas dengan menyelamatkan bayi-bayi yang dibuang orang tuanya dan juga anak-anak terlantar.

     Perjuangan Ny. Lien dalam menyelamatkan para perempuan yang diperdagangkan tidaklah mudah. Bahkan kerap menyerempet bahaya. Ny. Lien seringkali melakukan aksinya seorang diri dengan cara menyatroni kapal pembawa maupun tempat-tempat penyekapan gadis-gadis malang itu. Akibat aksi nekadnya, Ny. Lien kerap mendapatkan intimidasi. Bahkan tak jarang para batauw (germo) dan centeng-centengnya yang bengis menyatroni rumah Ny. Lien. Tapi itu tak menyurutkan nyalinya. (hal. 44-55). Kepeduliannya dalam menyelamatkan gadis-gadis Tionghoa hingga memberi mereka tempat penampungan akhirnya tersiar luas. Beberapa waktu kemudian ada orang misterius yang meletakkan bayi di serambi rumahnya. Ny. Lien pun merawat bayi itu dengan tulus. Lama kelamaan semakin banyak bayi yang “dikirim” ke rumahnya, hingga menggugah Ny. Lien mendirikan badan sosial guna menampung anak-anak malang itu. Badan sosial itu dinamakannya Roemah Piatoe Ati Soetji (Rumah Piatu Hati Suci) pada tanggal 27 Oktober 1914 (hal 60). Tak hanya bayi yang sengaja dibuang oleh orang tuanya, Ny. Lien pun menampung anak-anak terlantar yang ada di jalan-jalan.  Ny. Lien tidak hanya memberi tempat penampungan dan makan saja kepada para gadis, anak dan bayi terlantar itu,. Namun mereka diberinya pendidikan, keterampilan dan kasih sayang yang tulus (hal. 203).

 
Resensi Saya di KORAN JAKARTA, Medio: April'15
     
Perjuangan dan kepeloporan Ny. Lien tak urung membuat Ratu Belanda Wilhelmina menganugerahkan Ridder in de Orde van Oranje Nassau, setingkat lebih tinggi dari bintang kehormatan,  pada 31 Agustus 1935 (hal. 40). Sebelum diberi penghargaan itu, sosok Ny. Lien nyaris tak terekspos. Padahal kiprahnya sudah dimulai sejak 1914. Setelah Ratu Belanda memberikan penghargaan yang sangat tinggi kepadanya, barulah orang tahu ada sosok perempuan Tionghoa yang berjuang untuk kemanusiaan di Hindia Belanda. Pada akhirnya kiprah Ny. Lien dalam memberantas perdagangan perempuan diketahui oleh dunia internasional. Ny. Lien diundang dalam League of Nations Health Organization (sekarang WHO di PBB) pada tahun 1937 (hal. 139). Seolah “mendahului sang waktu”, hak-hak anak terlantar, tertindas dan teraniaya yang diperjuangkan Hati Suci seabad silam, nyatanya relevan dengan hak-hak anak sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

     Membaca buku ini menggugah kesadaran bahwa siapa pun bisa menjadi pahlawan bila memiliki kepedulian dan empati terhadap orang lain yang kurang berutung. Pembaca buku ini juga menjadi tahu bahwa ada perempuan Tionghoa yang mempelopori perjuangan memberantas woman trafficking dan  perlindungan terhadap anak terlantar lebih dari seabad silam.
Diresensi: Danang Probotanoyo, Alumnus UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar