Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Selasa, 12 Januari 2016

Bencana Kekeringan dalam Syair Musisi



Oleh: Danang Probotanoyo
      Mantan keyboardis Godbless, Yockey Suryo Prayogo, berujar di facebook (26/7), “Generasi musik pop sekarang ini harus sadar diri bahwa mereka tidak menghasilkan produk-produk kultur pop yang lebih baik dari generasi-generasi sebelumnya. Generasi hari ini lebih banyak tampil sebagai konsumen yang mengkonsumi mentah-mentah produk budaya asing tanpa 'pendalaman' untuk mengadaptasikannya dengan persoalan budaya yang terjadi ditengah masyarakatnya sendiri.” Sebuah kritikan dari maestro musik Indonesia terhadap (kualitas) musik Indonesia masa kini.
Esaiku di KORAN MERAPI, Medio: Nov 2015

      Jujur, musik Indonesia kini (secara umum) mengalami kemunduran segi kualitas dibanding masa-masa sebelumnya. Hal yang menonjol dari musik Indonesia masa kini adalah kemampuannya mengakselerasi popularitas dan pundi-pundi materi pelakunya. Singkatnya,  kapitalisasi industri musik (juga hiburan) Indonesia telah mengubah wajah humanisme para pelakunya. Budaya instan di dunia musik saat ini kerap mengabaikan segi estetik dan tematik yang sarat makna dan pesan. Tentu mereka yang “berani” keluar dari hegemoni budaya instan dan berpaling dari tema-tema mainstream, menjadi perkecualian.

      Tema musik Indonesia kekinian menderita keseragaman: dangkal dan teralienasi dari isu-isu sosial, kemanusiaan dan lingkungan. Generasi musik sekarang gagap memberi makna kehidupan melalui karya musikal. Patah hati, perselingkuhan, cinta yang banal dibumbui kosa kata alay dan lebay mendominasi karya musik masa kini. Nyaris tiada ketertarikan mengangkat masalah sosial, kemanusiaan dan lingkungan. Di titik itulah kemerosotan “kualitas” musik Indonesia. Padahal musik Indonesia dulunya kaya warna dalam genre, performance maupun tema. Misalnya musik bertema lingkungan hidup bertaburan sosok-sosok: Ully Sigar Rusady, Ritta Rubby Hartland, Franky dan Jane, Leo Kristi hingga Ebiet G. Ade. Namun tidaklah haram bila musisi lainnya mengangkat tema lingkungan hidup. Itulah pembuktian bahwa musik (musisi) zaman dulu memiliki kepekaan terhadap fenomena di sekelilingnya.

Esaiku di KORAN MERAPI, Medio: Nov 2015
       Bencana alam yang kerap melanda, meski menyedihkan, pewartaannya di televisi bisa lebih “artistik” bila memakai musik latar dengan tema yang pas. Itu bisa lebih menyentuh kalbu pemirsa demi menumbuhkan empati dan mawas diri. Salah satu contoh bencana adalah kekeringan. Tahun ini sebagian wilayah Indonesia diterpa kekeringan akibat musim kemarau yang cukup panjang. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memastikan sejumlah daerah akan mengalami hari tanpa hujan yang cukup lama. Kemarau yang panjang juga sebagai dampak fenomena El Nino. Di Jawa Timur, 24 kabupaten dinyatakan darurat kekeringan (Republika 29/7). Di banyak pelosok Nusantara, petani gagal panen akibat kemarau berkepanjangan.  Bendung Katulampa sebagai “alarm” banjir kiriman dari Puncak ke Ibukota kini hanya menyisakan debit air 100 liter per detik. Kondisi normalnya bendungan ikonik itu bisa mengalirkan 20.000 liter air per detik. Kemarau kali ini sungguh menyayat hati.

       Bencana kekeringan akibat kemarau panjang sudah menjadi tema musisi masa lampau. Grup band asal Bandung, The Rollies, yang kerap memainkan jazz rock, soul, funk hingga pop menggubah lagu “Kemarau” pada 1978. Band yang dibentuk  medio 1967 digawangi antara lain oleh Bangun Sugito (Gito Rollies), Deddy Stanzah, Delly Rollies, Oetje F. Tekol, Jimmy Manoppo, Benny Likumahuwa membawa warna baru dengan mengusung brass section dalam musiknya. Publik yang berumur 40-an tahun atau lebih kiranya sangat lekat dengan lagu “Kemarau” The Rollies. Lagu tersebut menjadi backsound program acara bincang-bincang  seputar lingkungan hidup di TVRI kala itu. Lagu yang diciptakan Oetje F. Tekol ini sangatlah cocok untuk merenungkan kemarau panjang yang berbuntut bencana kekeringan saat ini. Panas nian kemarau ini/ Rumput-rumput pun merintih sedih/ Resah tak berdaya diterik sang surya bagaikan dalam neraka/ Curah hujan yang dinanti-nanti/ Tiada juga datang menitik/ Kering dan gersang menerpa bumi yang panas bagai dalam neraka/ Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi/ Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi. Kekeringan alias berkurangnya atau hilangnya air permukaan bukan semata akibat kemarau yang panjang. Susutnya air permukaan juga disebabkan ulah manusia sendiri. Tanah-tanah kosong yang sejatinya untuk meresapkan air hujan, sekarang telah banyak ditutup aneka bangunan. Air hujan yang turun sebagian besar justru digiring masuk ke drainase langsung ke laut. Pantas saja kalau air tanah kian berkurang. Hutan yang berfungsi sebagai tempat penyimpan air, melalui akar-akar pohonnya, digunduli dijadikan area pertambangan dan perkebunan sawit. Itulah yang paling disesalkan The Rollies dalam kalimatnya: Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi. Berkat kepeduliannya itu, The Rollies dianugerahi “Kalpataru”, sebuah “award” prestisius di bidang pelestarian lingkungan, oleh Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim,  tahun 1979.

     Selain The Rollies, setelahnya ada Prambors Band yang mengusung tema “Kemarau” dalam salah satu karyanya. Berbeda performa “Kemarau” The Rollies, yang rancak dengan atraksi tiupan terompet, saxophone dan trombone, “Kemarau” Prambors Band lebih soft, sendu, puitik bahkan hiperbolik nan getir. Tiada ranting yang rimbun/ Daun pun berguguran/ Mata air pun kering tiada titik embun turun/ Saat itu, kemarau yang datang/ Hati gersang dan berdebu/ Curah hujan tiada turun/ Membasahi jiwa ini/ Tiada pohon yang rindang/ tempat berteduh diri/ Air mata pun kering suara hati pun membisu/ Saat itu, kemarau yang datang/ Cita hati t'rasa sendu/ Cah'ya mentari t'rasa panas/ Menyinari jiwa ini/ Kapankah mendung datang mengalun/ Mengusir kemarau kali ini/ Tapi sabarlah diri menanti/ Pasti kemarau pergi berganti.

      “Kemarau” milik The Rollies dan Prambors Band kiranya meniupkan spirit dan etos kepada kita agar menjaga lingkungan hidup. Lebih dari itu, lagu “Kemarau” milik dua band itu memberi ruang kontemplasi dan pemaknaan di tengah derita kekeringan. Dari situ diharapkan muncul kepedulian dan aksi nyata usaha preventif terhadap kemarau-kemarau yang akan datang agar tak berdampak kekeringan. Sehingga bila kemarau panjang datang lagi tidak berteriak Panas, panas, badan ini panas, pusing, pusing kepala ini pusing... (Band Gigi).  
Danang Probotanoyo, Aktivis Literasi & Sastra di Komunitas “Kampung UGM”

1 komentar:

  1. thank nice infonya, silahkan kunjungi balik website kami http://bit.ly/2OcjNO1

    BalasHapus