Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Senin, 17 September 2012

Koruptor Tekor (Koruptor "Ajaran")


Oleh: Danang Probotanoyo
Cerpen Saya, Termuat di Harian Joglosemar, Medio: September 2012

   Perjuangan Mulyono hampir memperlihatkan hasil. Bapak dan Emaknya sedang  berdiskusi  di ruang tengah. Yes, pikir Mulyono senang. Dua bulan tanpa lelah dan penuh kengototan, Mulyono membujuk mereka. Segala argumentasi sudah Mulyono sampaikan hampir tak bersisa. Perlawanan mereka mendekati titik akhir menjadi kemenangan Mulyono.
“Mul, kesini sebentar. Apakah Kamu sudah berpikir masak-masak tentang hal itu? Kamu yakin dengan pilihanmu itu?” Bapak memanggil dan langsung memberondong Mulyono dengan pertanyaan.
“Benar, ‘Lek Yanto bisa membantu? Jangan-jangan nanti Kamu tertipu, Mul,” timpal Emak.
“Seperti yang telah kusampaikan kepada Bapak dan Emak sejak kemarin-kemarin, tekadku sudah bulat. Aku ingin mengangkat martabat keluarga kita. Aku ingin maju dan berubah. Aku nggak ingin begini-begini saja. ‘Lek Yanto nggak mungkin menipu, terlalu besar resikonya buat hubungan persaudaraan kita, Mak,” Mulyono meyakinkan.
“Yanto mungkin enggak, bagaimana dengan teman-temannya yang dimintain tolong itu?” Emak menukas.
“Pasrah saja , Mak, Kita percayakan saja kepada ‘Lik Yanto.”
“Dahulu, menjadi petani adalah  mulia,  tapi, Kamu ada benarnya juga, Mul, jaman sekarang menjadi petani bukanlah suatu pilihan yang tepat, tapi suatu keterpaksaan. Lahan semakin menyempit karena banyak diincar orang kota untuk didirikan pabrik dan rumah. Anak-anak muda di desa menjadi lebih suka kerja menjadi buruh di pabrik itu daripada nggarap sawah yang kian menyempit. Lebih celaka, orang pintar suka memperberat beban Kita, para petani, dengan mempermainkan harga gabah dan pupuk. Sudah begitu, pemerintah malah ngimpor beras terus”, keluh Bapak.
“Kalau benar-benar sudah bulat tekadmu, nanti sore kalau Ahong jadi kemari lagi, terpaksa aku akan melepas sertifikat sawah yang tinggal satu-satunya. Ke depan sumber penghidupan kita nantinya tinggal dua Sapi, lima Kambing dan dua puluhan pohon kelapa di kebon belakang rumah. Itu sudah cukup buat Kami berdua”, kata Bapak.
“Pesanku, jaga dirimu baik-baik di tempat kerjamu itu,” sambung Emak.  


Singkat cerita, Mulyono sudah diterima sebagai pegawai negeri di salah satu instansi kabupaten tempat kelahirannya. Semua berkat jasa ‘Lek Yanto yang bekerja di bagian kepegawaian kabupaten itu. Sawah bapaknya seluas satu hektar hanya dihargai Ahong senilai Rp. 80 Juta. Pas sekali dengan tarif SK untuk pegawai negara yang dibeli Mulyono lewat ‘Lek Yanto. Orang tua Mulyono sudah tidak punya pilihan. Sawahnya sudah terjepit beberapa bangunan pabrik yang menghambat pengairannya. Belum lagi, secara diam-diam terjadi kongkalikong antara Ahong dengan ‘Lek Yanto. Tersudut akan kebutuhan uang untuk menjadikan anaknya sebagai pegawai negari di kota itu, menjadikan orang tua Mulyono tak bisa mengelak penawaran sawahnya dengan harga murah.
Mulyono merasa nyaman. Status baru sebagai pegawai negari dengan gaji sedang telah Ia dapatkan. Terkadang hatinya digelayuti kegundahan. Manakala melihat teman sekantor berperilaku tidak lumrah. Semula ia mencoba bertahan untuk tidak terbawa arus teman.  Dia tetap datang ke kantor paling pagi ketika Matahari belum meninggi. Dia pulang paling belakang ketika sore hari telah menjelang. Lama-lama Ia merasa sendiri dan tak tahan.
Ah, teman-teman tak disiplin pun tetap saja naik gaji dan golongan, ngapain juga aku mesti yang membuka pintu dan menutup pintu kantor setiap hari. Sesekali aku ingin santai juga seperti mereka. Pikir Mulyono yang mulai tergoda. Semenjak itu Mulyono pun berperilaku sama saja   dengan kawan-kawannya sekantor. Didikan orang tua dan pembawaan alami sebagai pemuda desa yang sarat dengan nilai-nilai kegigihan dan kerajinan dalam bekerja mulai Ia tanggalkan. Dimulai dari berangkat lebih lambat 15 menit, 30 menit, 60 menit, bahkan terkadang tak datang sama sekali. Sejauh ini tak ada teguran atau komplain yang disampaikan atasan kepadanya. Semua seragam, dari atasan sampai bawahan sama saja. Mulyono dan teman-teman termanjakan. Kerja tanpa beban, namun gaji dan golongan selalu ada harapan di tahun depan. Terkadang telinganya risih juga ketika di sembarang tempat orang ramai menggunjingkan : Huh, makan gaji buta! Atau umpatan yang lebih menyeramkan : Dasar tukang korupsi!
Siapa yang makan gaji buta?! Kami disini mbayar, kami disini berinvestasi, seperti yang lainnya, menanamkan sejumlah modal awal untuk mendapat laba setiap bulan, walau harus Kami akui hasilnya lebih tinggi dari pasaran. Kalian saja orang sirik! yang tak berkesempatan sebagaimana Kami. Aku juga bukan tukang korupsi, setidaknya hingga hari ini.  Kalau urusan waktu, sih, kami memang suka mencuri. Toh, hanya waktu, apa ruginya negara? Begitulah yang ada di benak Mulyono jika sedang jengah dengan suara sumbang masyarakat terhadap abdi negara.   
Sampai pada suatu saat, ketika masanya datang, Mulyono pun telah memiliki jabatan baru sebagai Kasie Pengadaan di kantornya itu.
“Mul, Kita ambil saja penawaran dari PT Patgulipat itu, memang sih mereka sedikit lebih mahal dibanding proposal dari perusahaan yang lain. Namun apa ruginya bagi Kita? mereka bisa memberi kita komisi, sedang yang lainnya tidak. Lumayan, lho, nanti Kamu aku jatah delapan puluh juta,” bisik Drs. Sugihartana, M.Si, atasan Mulyono di kantor itu.
Mulyono bimbang, dirinya belum punya pengalaman untuk itu. Namun, karena perasaan tak enak kepada atasan, dia pun goyah. Gila, nilai yang ditawarkan Pak Sugih, pas banget dengan modalku waktu masuk kesini. Impas! ah, benar-benar kebetulan yang ajaib! Dengan uang segitu aku bisa mengganti sawah Bapak dan Emak, walau dapatnya pasti jauh lebih kecil dibanding milik mereka yang dulu. Dengan begitu, pelan-pelan aku tak perlu mensubsidi mereka lagi setiap bulannya. Aku bisa mulai menata masa depanku sendiri. Gumam Mulyono dalam hati.
“Kalau itu maunya Bapak, saya tinggal ngikut saja. Yang penting kita tahu sama tahu, ya, Pak,” putus Mulyono.
“Tenang saja, Mul, semua pasti aman, karena Kita nanti tidak ditransfer via bank, melainkan menerima secara tunai. Tidak perlu takut kepada PPATK atau KPK, to.”
Semua seakan berjalan lancar dan menyenangkan. Mulyono telah menerima uang bagiannya secara cash dari perusahaan itu.
gambar: skalanews

Ketika waktunya pulang untuk menengok kedua orang tuanya, Mulyono sekalian mencarikan sawah pengganti buat garapan Bapaknya. Sepetak sawah kecil di tetangga desa telah Ia dapatkan.
“Kami sebenarnya tidak mengharapkan itu, Mul, itu sudah menjadi kewajiban Kami,” ujar Bapaknya.
Enam bulan berjalan dalam kenyamanan dan aman. Masa apes pun tiba. Pegawai auditor Badan Pemeriksa Keuangan Negara mencium ada yang tidak beres dalam proyek yang ditangani Mulyono tersebut. Mulyono resah bukan kepalang. Masalah telah berpindah ke Polisi dan Kejaksaan. Mulyono berikut Sugihartana, atasannya, akhirnya ditahan. Setelah sebulan penahanan berkas pun dilimpahkan ke Pengadilan.
“Saudara Mulyono, S.E, terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, untuk itu kepada terdakwa, Hakim memutuskan pidana penjara selama dua tahun penjara dan denda sebesar…..,”  Thok..thok, palu pun di ketok Hakim, tanda putusan usai dibacakan.
Sebulan setelah dipenjara, Mulyono dijenguk Ibunya. Mulyono memohon ampun kepada Ibundanya tersebut. Dengan terisak, Mulyono berujar,” Tapi, darimana Aku mesti membayar denda yang dijatuhkan Pak Hakim, Bu?”
“Tenang, Mul, sawah yang Kamu belikan tempo hari, sudah terjual bersama dengan semua Sapi,  Kambing dan rumah Kita, Syukurlah semuanya bisa menutup denda yang dijatuhkan Hakim kepadamu. Mengenai Bapakmu yang lagi mondok di rumah sakit karena stroke mikirin Kamu, biarlah Ibu nanti yang memikirkannya sendiri, Kamu enggak usah khawatir disini.”
“Tanpa rumah Kita lagi, dimana Ibu tinggal sekarang?” tanya Mulyono sambil terisak.
“Tak usah kau pikirkan aku, Mul. Pak Lurah berbaik hati menyuruhku tidur di bekas lumbung padi desa, mumpung belum panen, setelah itu tak tahulah aku”, beber Emak mengenaskan.
Mulyono lunglai dan akhirnya pingsan. Impian menjadi pegawai negeri telah menyeret dirinya ke bui, bapaknya masuk rumah sakit dan ibunya menjadi gelandangan tanpa rumah. Tragis benar nasib koruptor itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar