Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Jumat, 14 September 2012

Pentingnya Belajar Budaya dan Bahasa Asing untuk Bisnis Global


Buku       : 100 Kasus Unik Cross-Cultural                                                                                      Misunderstanding                                             
Resensiku Termuat KORAN JAKARTA, Sept 2012
Penulis    :  Fandy Tjiptono (Dosen FE Univ   Atma Jaya)
Penerbit  :  ANDI Yogyakarta                               
Cetakan  :  I, 2012
Tebal       : VI + 130
ISBN       : 978-979-29-3181-5
Harga       : Rp. 26.000

Oleh: Danang Probotanoyo
    Membaca buku ini, bisa membuat pembaca tersenyum bahkan tertawa sendiri. Padahal buku ini jelas bukan buku lelucon atau humor. Buku berjudul: 100 Kasus Unik Cross Cultural Misunderstanding, benar-benar unik sebagaimana namanya. Unik, karena merupakan perpaduan antara buku manajemen sekaligus buku (pengetahuan) budaya. Meskipun demikian jangan membayangkan bahwa buku karangan Fandy Tjiptono, dosen FE Universitas Atma jaya, ini adalah ‘buku berat’ yang berisi dalil, teori maupun postulat ilmu manajemen dan ilmu budaya. Justru sebaliknya, buku ini sangat ringan untuk dibaca semua kalangan termasuk yang awam terhadap  kedua ilmu tersebut.
     Buku ini mengulas contoh-contoh kesalahpahaman karena ketidakmengertian hal budaya, kebiasaan, adat istiadat dan bahasa milik bangsa lain dalam dunia bisnis. Imbasnya berujung  ketidaksuksesan bahkan kegagalan pemasaran suatu produk lintas negara dan lintas budaya. Ternyata  memasarkan suatu produk lintas negara dan budaya (termasuk lintas bahasa) tak cukup hanya mengandalkan “Marketing mix” konsep yang pertama kali dicetuskan oleh Jerome McCarthy, yang dikenal sebagai 4P. Dalil 4P: Product (produk), Price (harga), Place (tempat), Promotion (promosi) tersebut tidak sepenuhnya bisa berhasil untuk memasarkan suatu produk atau menjalankan bisnis secara umum, bila tak dilengkapi dengan pengetahuan hal budaya dan bahasa dimana produk itu dipasarkan atau bisnis itu dijalankan. Bisa-bisa malah menangguk angka penjualan yang jeblok  atau gagalnya urusan bisnis.
     Simak buruknya angka penjualan produk susu bermerek “PET” dari Amerika di daerah yang berbahasa Perancis. Kegagalan bukan karena kualitas produk “PET” yang buruk, melainkan dalam Bahasa Perancis, ‘Pet’ bermakna (maaf): buang angin atau kentut (hlm. 21). Siapa mau coba produk itu? Membayangkan namanya saja bisa muntah. Honda Jazz pada awal peluncurannya di Skandinavia (2001), semula bernama “Fitta”.  Terpaksa diganti nama “Jazz” karena ‘Fitta’ merupakan kata vulgar dalam bahasa  kuno di Swedia, Norwegia dan Denmark, yang berarti: organ intim perempuan! (hlm. 56).
     Pemahaman bahasa asing untuk memasarkan suatu produk lintas negara pun tak cukup berkutat pada makna suatu kata saja. Bahkan, soal pelafalan kata pun harus jeli dipelajari agar tak rancu dengan kata asing di negara tujuan. Pengalaman seretnya General Motors (raksasa otomotif Amerika) dalam memasarkan mobil “Chevy Nova” di Puerto Rico (berbahasa Spanyol) patut dijadikan pelajaran bahwa soal lafal terkadang jadi hambatan. Secara produk, mobil “Nova” dari General Motors tersebut memang tak ada yang salah. ‘Nova’ secara harafiah berarti ‘bintang’. Itu nama yang bagus untuk suatu produk. Namun, bagi konsumen di Puerto Rico, pengucapan kata ‘Nova’ terdengar sama dengan sebuah kata ‘no va’ (Spanyol) yang berarti “It won’t go” alias tidak bisa jalan! (hlm.10). Orang Puerto Rico jelas ogah membeli mobil “yang tak bisa jalan” tersebut.
    Dalam membangun relasi bisnis lintas negara pun mesti paham dengan budaya atau adat istiadat relasi kita. Seorang Amerika kehilangan peluang proyek besar di Arab, gara-gara  menolak ajakan minum kopi yang ditawarkan rekanannya dari Arab itu. Menolak tawaran minum kopi orang Arab merupakan hal yang kasar dan menghina (hlm. 37). Jangan pula Anda memberi kado rekan bisnis dari Hongkong dan Tiongkok bunga anyelir putih atau jam, karena berkonotasi hal kematian atau duka cita.
     Meski hanya berisi 100 contoh kasus kesalahpahaman soal lintas budaya dalam konteks bisnis global, setidaknya, buku ini memberi penyadaran, bahwa strategi pemasaran dalam lingkup ilmu manajemen dan bidang bisnis secara umum tidak akan berhasil bahkan mengalami kegagalan hanya karena kita melupakan atau tidak mau mempelajari budaya, adat istiadat dan bahasa milik bangsa lain.
     Dalam konteks Keindonesian yang begitu majemuk, buku ini menjadi penting guna memicu pebisnis mau mempelajari keragaman budaya, adat istiadat dan bahasa milik etnis atau suku lain senegara. Urgensinya untuk menghindari kesalahpahaman dalam relasi  lintas budaya yang bisa berakibat gagalnya proyeksi bisnis kita, bahkan lebih jauh lagi bisa mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Diresensi: Danang Probotanoyo, Pembaca Buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar