Penulis : Fandy Tjiptono (Dosen FE Univ Atma Jaya)
Penerbit : ANDI Yogyakarta
Cetakan : I, 2012
Tebal : VI + 130
ISBN : 978-979-29-3181-5
Harga : Rp. 26.000
Oleh: Danang Probotanoyo
Membaca buku ini, bisa membuat pembaca tersenyum bahkan tertawa sendiri.
Padahal buku ini jelas bukan buku lelucon atau humor. Buku berjudul: 100 Kasus Unik Cross Cultural
Misunderstanding, benar-benar unik sebagaimana namanya. Unik, karena
merupakan perpaduan antara buku manajemen sekaligus buku (pengetahuan) budaya. Meskipun
demikian jangan membayangkan bahwa buku karangan Fandy Tjiptono, dosen FE Universitas Atma jaya, ini
adalah ‘buku berat’ yang berisi dalil, teori maupun postulat ilmu manajemen dan
ilmu budaya. Justru sebaliknya, buku ini sangat ringan untuk dibaca semua
kalangan termasuk yang awam terhadap kedua ilmu tersebut.
Buku ini mengulas contoh-contoh kesalahpahaman karena ketidakmengertian hal
budaya, kebiasaan, adat istiadat dan bahasa milik bangsa lain dalam dunia
bisnis. Imbasnya berujung ketidaksuksesan
bahkan kegagalan pemasaran suatu produk lintas negara dan lintas budaya. Ternyata memasarkan suatu produk lintas negara dan
budaya (termasuk lintas bahasa) tak cukup hanya mengandalkan “Marketing mix” konsep yang pertama
kali dicetuskan oleh Jerome McCarthy, yang dikenal sebagai 4P. Dalil 4P: Product (produk), Price (harga), Place
(tempat), Promotion (promosi) tersebut
tidak sepenuhnya bisa berhasil untuk memasarkan suatu produk atau menjalankan bisnis
secara umum, bila tak dilengkapi dengan pengetahuan hal budaya dan bahasa dimana
produk itu dipasarkan atau bisnis itu dijalankan. Bisa-bisa malah menangguk
angka penjualan yang jeblok atau gagalnya
urusan bisnis.
Simak buruknya angka penjualan produk susu bermerek “PET” dari Amerika di daerah yang
berbahasa Perancis. Kegagalan bukan karena kualitas produk “PET” yang buruk, melainkan dalam Bahasa
Perancis, ‘Pet’ bermakna (maaf): buang
angin atau kentut (hlm. 21). Siapa mau coba produk itu? Membayangkan namanya
saja bisa muntah. Honda Jazz pada awal peluncurannya di Skandinavia (2001),
semula bernama “Fitta”. Terpaksa diganti nama “Jazz” karena ‘Fitta’
merupakan kata vulgar dalam bahasa kuno
di Swedia, Norwegia dan Denmark, yang berarti: organ intim perempuan! (hlm.
56).
Pemahaman bahasa asing untuk memasarkan suatu produk lintas negara pun
tak cukup berkutat pada makna suatu kata saja. Bahkan, soal pelafalan kata pun
harus jeli dipelajari agar tak rancu dengan kata asing di negara tujuan.
Pengalaman seretnya General Motors
(raksasa otomotif Amerika) dalam memasarkan mobil “Chevy Nova” di Puerto Rico (berbahasa Spanyol) patut dijadikan
pelajaran bahwa soal lafal terkadang jadi hambatan. Secara produk, mobil “Nova” dari General Motors tersebut memang
tak ada yang salah. ‘Nova’ secara
harafiah berarti ‘bintang’. Itu nama yang bagus untuk suatu produk. Namun, bagi
konsumen di Puerto Rico, pengucapan kata ‘Nova’
terdengar sama dengan sebuah kata ‘no va’
(Spanyol) yang berarti “It won’t go”
alias tidak bisa jalan! (hlm.10). Orang Puerto Rico jelas ogah membeli mobil
“yang tak bisa jalan” tersebut.
Dalam membangun relasi bisnis lintas negara pun mesti paham dengan
budaya atau adat istiadat relasi kita. Seorang Amerika kehilangan peluang
proyek besar di Arab, gara-gara menolak ajakan
minum kopi yang ditawarkan rekanannya dari Arab itu. Menolak tawaran minum kopi
orang Arab merupakan hal yang kasar dan menghina (hlm. 37). Jangan pula Anda
memberi kado rekan bisnis dari Hongkong dan Tiongkok bunga anyelir putih atau
jam, karena berkonotasi hal kematian atau duka cita.
Meski hanya berisi 100 contoh kasus kesalahpahaman soal lintas budaya
dalam konteks bisnis global,
setidaknya, buku ini memberi penyadaran,
bahwa strategi pemasaran dalam lingkup ilmu manajemen dan bidang bisnis secara
umum tidak akan berhasil bahkan mengalami kegagalan hanya karena kita melupakan
atau tidak mau mempelajari budaya, adat istiadat dan bahasa milik bangsa lain.
Dalam konteks Keindonesian yang begitu majemuk, buku ini menjadi penting
guna memicu pebisnis mau mempelajari keragaman budaya, adat istiadat dan bahasa
milik etnis atau suku lain senegara. Urgensinya untuk menghindari
kesalahpahaman dalam relasi lintas budaya
yang bisa berakibat gagalnya proyeksi bisnis kita, bahkan lebih jauh lagi bisa
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Diresensi: Danang Probotanoyo, Pembaca Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar