Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Senin, 27 Januari 2014

Rumah Bola

RUMAH BOLA


Oleh : Danang Probotanoyo
     Menyandang nama besar, kebarat-baratan dan kedengaran bagus seperti yang kumiliki, dahulu tidak membuatku bangga sama sekali, apalagi besar kepala. Justru perasaan malu sering menderaku ketika dihujani ledekan dari kawan sepermainan di kampung maupun di sekolah. Namaku kedengaran aneh untuk ukuran kampung dan sekolahku saat itu. Namaku demikian mencorong di tengah nama-nama: Rebo, Selamet, Sugeng, Sutar, Wagimin, Ponijan, Ngatijo dan nama-nama kampung lainnya yang beredar di kampung dan sekolahanku saat itu.    
Cerpen saya, termuat di Radar Surabaya; Medio: Januari 2014
Namun, gara-gara bola juga, sewaktu kecil rumahku tak pernah sepi dari pertengkaran kedua orang tuaku. Mirip duel abadi “ El Clasico” antara Barcelona vs Real Madrid.
      “Pokoknya aku ingin besok si Maradona jadi pemain sepak bola profesional! Biar seperti   
       Maradona yang asli itu,” ujar bapakku.
       “Bapak jangan memaksakan ego! Mana ada pemain bola di sini yang bisa hidup layak?  
       Yang kaya, mah,  pemain bola di luar negeri sono,  ibu tak mau kalah.
       “Aku berharap dia jadi tentara seperti kakeknya. Lagian, selain bisa untuk kebanggaan
       dan melindungi keluarga, jadi tentara banyak enaknya. Lihat itu bupati, gubernur,           
       anggota DPRD, direktur BUMN hingga presiden adalah tentara atau setidaknya mantan  
       tentara,”  Ibu mencoba berargumen.
Meski ibuku hanya tukang jahit rumahan, tapi beliau cukup berpengetahuan. Kuliahnya terputus gara-gara diajak kawin oleh kawan aktivis kampusnya. Ya, Bapakku itu. Bapak dulunya mahasiswa perantauan yang kuliah di Pendidikan Ilmu Sosial. Keduanya tak tamat kuliahnya. Kawin muda selagi berstatus mahasiswa menyebabkan Opa—ayahnya bapakku—menilai bapak tak bisa dijadikan harapan dan panutan bagi adik-adiknya. Opa terpukul. Bapak diultimatum: berani menikah harus berani bertanggung jawab sendiri!
Melalui jalan yang berliku, bapak bisa memiliki kios kecil di pasar kecamatan. Usahanya tak maju-maju karena kegilaannya pada bola. Di saat pedagang lain menggunakan waktunya untuk urusan yang terkait kegiatan berdagang, bapak justru sedang asyik bersorak-sorak di tribun stadion. Dasar Bonek! Itu belum seberapa, segala laba dagang dari kios yang seharusnya bisa untuk mengembangkan usaha, justru dibuang-buang untuk membeli tiket-tiket pertandingan. Pun tak terhitung pembelian tiket kereta api, bis bahkan kapal, untuk mengejar satu turnamen yang menarik dan penting. Semua aktribut sepak bola sangat menyesaki rumah sempit kami. Poster pemain dan tim sepak bola lebih banyak tertempel di dinding dibanding foto keluarga. Bahkan nyaris semua pakaian yang dikenakannya adalah kaos tim sepak bola dan nama pemain bola terkenal. Waktu aku kecil hampir semua kaos yang aku kenakan juga kaos bola, sama punya bapak, cuma berbeda ukuran, maklum dia yang membelikan. Barang satu-dua, ibuku juga dibelikan, tapi tidak pernah mau pakai. Mosok perempuan disuruh pakai ginian, kata ibu satu kali. Ibumu lebih memilih daster kumal sebagai kostum kesebelasannya, canda bapak  kepadaku.
Akibat tabiat yang sangat berlebihan dalam mengumbar hobinya tersebut, lambat laun usahanya mundur dan akhirnya bangkrut. Belum cukup,  hutang kami pun menumpuk gara-gara kegilaannya pada bola. Bapak tetap bergeming. Bola atau mati! Mungkin itu moto hidupnya. Dasar Bonek! Dari situlah prahara mulai menimpa keluarga kami. Apes, rumah  tempat kami berteduh akhirnya mesti dilepas kepada Pak Ribut, kawan bapak sesama pedagang di pasar. Menurut cerita,  hutang bapak kepada Pak Ribut sudah mencapai puluhan juta rupiah. Kami terpaksa pindah dan mengontrak sebuah  rumah petak kecil di satu gang kumuh. Ibu masih menerima jahitan. Bapak bermodalkan etalase tanggung dagang aneka kebutuhan seperti: gula, rokok, sabun, odol dan sejenisnya. Kami secara ekonomi makin sempit, namun  itu tidak membuat kegilaan bapak pada bola mengendur.
Sampai pada suatu hari, ketika aku sudah berangkat ke sekolah, bapak dan ibu bertengkar hebat. El Clasico! Padahal, dini harinya bapak baru saja tiba dari Jakarta, nonton pertandingan Persija lawan PSMS Medan di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Rupanya selagi bapak tidur karena kelelahan dari perjalanan jauh, ibu mencopoti semua poster sepak bola dari seluruh dinding rumah. Tak ketinggalan semua slayer dan bandana yang berbau sepak bola diambil semua oleh ibu dari lemari penyimpanannya.
     “Jangan, Bu! Nanti bapak marah besar bila ibu senekat itu,” aku berusaha mencegah Ibu.
     “Kamu kan tahu sendiri, bapakmu lebih mencintai bola daripada kita! Bertahun-tahun kita  
     hidup susah karena kegilaannya pada bola. Harta kita ludes juga dimakan bola sialan itu!”   
     Ibu meradang.
    “Tapi, aku takut bapak nanti murka, Bu!” ratapku penuh was-was.
    “Aku yang bertanggung jawab! Kegilaan ini harus diakhiri sampai disini. Lihat!  
     etalase dagangan hampir kosong melompong dimakan bola! Lama-lama mesin jahitku pun  
     akan dimakannya! Bola membuat kita hancur! Bola membuat kita menjadi kere! Tahu  
     kamu!” Ibu membentak.
Sejurus kemudian segala aktribut bola milik bapak dionggokkan ibu di halaman depan kontrakan. Ibu pergi ke dapur dan mengambil jerigen minyak tanah. Wuzz, dalam sekejap semua aktribut bola kebanggaan bapak dilahap api yang disulut ibu. Karena takut sesuatu  bakal terjadi, aku pun langsung pergi ke sekolah tanpa sempat pamit. Saat itu aku masih duduk di kelas dua SMP. Sudah cukup mengerti dan memahami semua yang menimpa keluargaku. Tepat dugaanku, bersamaan ludesnya semua aktribut bola bapak karena dilahap api  yang disulut ibu,  menyeret mereka dalam api pertengkaran yang sangat hebat. El Clasico! Kalau bertengkar masalah bola, aku sudah kenyang menyaksikan itu. Tapi, ini lain. Pertengkaran terakhir itu berujung tak bertegur sapanya kedua orang tuaku. Bapak merasa harga diri dan martabatnya sebagai kepala keluarga sudah dilecehkan ibu. Demikian  ibu menunjuk hidung bapak sebagai biang keladi terpuruknya kami. Ini bukan  El Clasico biasa!
Setelah tiga bulan perang dingin, ibu membawaku pindah ke rumah kakek – bapaknya ibu—di Magelang, tiga puluh kilometer utara Yogyakarta.
Bagaimana dengan Bapak? Football, Now and Forever! begitu kira-kira semboyannya.  Hidup menyendiri di rumah kontrakan tidak membuatnya surut dalam menggauli bola. Padahal semua petaka keluargaku, jujur saja semua gara-gara bola. Hidup menyendiri bukannya dipakai bapak untuk merenung dan introspeksi atas semua yang telah terjadi. Hidup menyendiri justru kesempatan! Kesempatan lebih leluasa mengumbar kegilaannya pada bola. Bapak merasa bebas merdeka karena di rumah tidak ada oposan lagi, ya, ibuku. Sedang Ibu masih berkutat dengan usaha jahitan kecil-kecilannya di rumah kakek. Cukup untuk kami berdua. Lagian kami sering dibantu kakek dari pensiunannya sebagai tentara. Terkadang naluri sebagai anak muncul dalam diriku. Sesekali aku menengok bapak ke Yogya. Bapak senang setiap ketemu aku. Tapi, tetap seperti dulu,  omongannya selalu tidak  bisa lepas dari bola! Kulihat etalase bapak mulai penuh lagi. Artinya ada sedikit kemajuan. Mungkin sekarang bapak lebih giat berusaha, pikirku dalam hati.
     “Dagangan itu juga hasil dari bola, kok, Le,” kata bapak sambil nunjuk etalasenya.
Hah?! bola lagi, bola lagi, gumamku dalam hati.
      “Sebulan lalu aku menang besar dalam taruhan. Ketika itu aku pegang Persib, yang 
       akhirnya menang dua kosong atas PSIM,” imbuh bapak enteng.
Meski jelek begitu, bapak masih menunjukkan rasa tanggung jawabnya kepada keluarga  walau dalam ukuran yang minim. Setiap aku mau pulang sehabis menjenguk beliau, tak lupa bapak titip uang untuk kuberikan ke ibu. 
Lionel Messi

     “Salam buat ibumu dan kakek. Jangan lupa uang ini kamu berikan ke ibumu! Dan, yang  
      paling penting untuk kamu sampaikan kepada ibumu, katakan bahwa uang ini dari bola  
       juga,” pesan bapak kalem.
Lama-lama aku bisa gila sendiri karena telingaku terlalu sering “kemasukan” bola, tanpa aku bisa “meniup peluit” untuk sekedar “turun minum” atau “pergantian pemain”. Dalam perjalanan pulang ke Magelang, seringkali aku tersenyum bahkan ingin tertawa sendiri di atas bis bila teringat kelakuan bapak. Sepertinya dia memang bukan manusia lumrah! Tapi Alien yang berasal dari planet antah berantah, bernama Planet Bola!
Dan, pada suatu sore, sepulang aku dari les tambahan di sekolah, berita yang tak pernah diharapkan seorang pun sampai juga kepada kami. Bapak meninggal! Yang lebih menyayat hatiku, bapak meninggal karena bola! Lebih tepatnya beliau wafat sewaktu menonton bola. Beliau meninggal tak wajar dalam suatu kerusuhan penonton sepak bola di Kota Makassar. Polisi hingga kini tak pernah bisa membawa kabar perihal siapa yang telah menyebabkan bapak mati. Maklum, dalam kerusuhan seperti itu pelaku maupun korbannya bisa siapa saja. Sangat sulit menentukan siapa pelempar batu segede genggaman tangan yang mendarat telak di kepala bapak hingga terjadi pendarahan otak. 
Maradona

    Tiga tahun sepeninggal bapak, ibu menyusul bapak menghadap Yang Maha Kuasa. Ibu ternyata mengidap kanker leher rahim stadium lanjut. Itu baru kami ketahui setelah ibu masuk rumah sakit seminggu sebelum meninggalnya. Ibu tak pernah merasakannya selama ini. Mungkin dikarenakan beban pikiran telah membuatnya tidak merasakan gejala datangnya kanker itu. Jika dipikir-pikir, beban pikiran ibu juga tak lepas karena mendapat  bola operan” dari bapak. Menjadi yatim piatu, aku dalam pengasuhan kakek. Aku beruntung masih memiliki kakek yang mampu membimbingku hingga menjadi “orang” dan berkeluarga. Entah karena sudah takdir atau alam bawah sadarku ingin menyatukan dua keinginan orang tuaku yang berbeda, aku sendiri tidak tahu. Yang jelas, aku merupakan lulusan Fakultas Pendidikan Keolahragaan dengan predikat Cum Laude dan sudah  mengantongi brevet untuk menjadi pelatih sepak bola! Gelar sarjana menjadi bekalku mendaftar sebagai anggota TNI melalui jalur perwira karier. Karena aku lulusan termuda dan Cum Laude, aku pun diterima dan ditempatkan sebagai staf pengajar di Akademi Militer, Magelang, dengan pangkat Letnan Dua.
Dua hal yang paling aku syukuri dalam hidup: pertama, aku bersyukur walaupun kedua orang tuaku terlibat dalam suatu konflik rumah tangga yang kronis, namun mereka tidak pernah  benar-benar berpisah dalam bentuk perceraian. Kedua, atas kehendak Tuhan, aku bisa menyatukan dua keinginan dari bapak dan ibu,  menjadi tentara dan akrab dengan sepak bola. Bahkan, aku mampu melampaui kedua keinginan tersebut. Aku bukan sekedar tentara biasa, tapi aku perwira. Aku juga bukan sekedar pemain bola, tapi aku adalah pelatih sepak bola sekaligus dosen olahraga bagi  Taruna di Akademi Militer.
Hikmah dari sejarah hidupku itu membuatku tak ingin  memaksa anakku harus menyukai apa dan menjadi apa nantinya. Biar dia tumbuh dan berkembang sesuai kemampuan dan bakatnya sendiri.
     “Ayo Messi lekas mandi! Jam pertandingan antara PSIM  lawan Persija tinggal satu jam  
      lagi. Kita mesti cepat  ke Mandala Krida, sebelum ibumu pulang arisan dan  melarangku  
      membawamu nonton bola” kataku sambil menuntun Lionel Messi, anakku  yang masih
      berumur satu setengah tahun ke kamar mandi.
Dasar Bola!
Yogyakarta,  Januari 2014, Jelang Laga La Liga

Catatan :

Bonek (suporter fanatik Persebaya, Surabaya)     : Banda nekat (Jawa = Bekal  nyali besar)

Le           : dari ’Tole’ (sebutan untuk anak lelaki di Jawa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar