Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Sabtu, 29 Maret 2014

Korupsi Hati



Oleh : Danang Probotanoyo
Cerpenku Termuat di "Inilah Koran" (Bandung), Medio: Maret 2014
      Mungkin Ibuku dulu nyidam cabe rawit: hijau dan membakar.  Bisa pula keseringan makan kacang koro, yang bila terkunyah oleh geliginya bak roda stoomwals  beradu dengan bebatuan di jalan pada proyek pengaspalan.  Jangan tanya prestasiku di kampus! Mendapat nilai B apalagi A adalah anugrah bagiku. Maklum, aku jarang tepekur duduk di ruang kuliah mendengarkan dosen ceramah. Predikat aktivis, membuatku lebih sering berorasi daripada mendengarkan dosen berteori. “Ah, semua dosen dan para pengamat di media hanya berwacana saja, kapan mereka melakukan aksi nyata untuk merubah keadaan?” gerutuku selalu. Digelandang aparat lalu diinterogasi dan intimidasi adalah ujian mentalku. Benjol di kepala dan memar sukujur badan terkena pentungan polisi, kuanggap latihan ketahanan fisik. Pedih dimata akibat hujan gas air mata aparat, merupakan wujud empatiku, sebagai pengganti gelombang air mata kepedihan hidup, rakyat negeri ini. Jelas, aku bukanlah mahasiswa ideal, karena tidak pernah kenal indeks prestasi yang fenomenal. Bagiku, kemampuan mengartikulasi apa yang dimaui rakyat dalam tiap aksi demonstrasi merupakan nilai tersendiri. Aku senang dan bangga menjadi demonstran. Kelak, bila kampus tidak mengeluarkan surat DO, dan aku bisa lulus walau dengan nilai pas-pasan, aku ingin tetap berjuang, mengabdi jadi aktivis LSM. Mengapa tidak menjadi anggota parlemen sekalian? Kan, mereka juga memperjuangkan aspirasi rakyat, dibayar mahal pula. Begitulah seloroh teman-teman kepadaku.  Parlemen? Adakah orang parlemen di negeri ini yang sarat dengan idealisme untuk memperjuangkan rakyat? Parlemen terlalu pragmatis! Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Itulah salah satu kekukuhanku. Terkadang memunculkan salut dan simpati, namun tak sedikit yang mengejek dan anti. Terserah orang mau bilang apa, yang penting aku tidak sendiri. Aku bersama rakyat! Aku adalah penyambung lidah rakyat sebagaimana Bung Karno!  

Tibalah saatnya kala teman-teman melihat dan mengatakan “aku berubah.” Apanya yang berubah? Aku masih menyimpan bara! Ya, tapi bara yang sudah ditinggalkan Sang Bayu, hanya berkedipan dan sungkan menyemburkan jilatan api kemarahan lagi, sanggah mereka. Terkadang  omongan mereka hal diriku ada sedikit benarnya. Aku bak megaphone yang sudah lowbat, tidak sekencang dulu ketika berteriak: Turunkan BBM! Gantung Koruptor! Hidup rakyat! Hidup mahasiswa! Lawan! dan seabreg kalimat-kalimat heroik lainnya, khas aktivis.

Sekarang, keberpihakanku yang teramat dalam justru kutujukan ke Erna, mahasiswi Fakultas Psikologi. Awalnya, aku turut membela dan bersimpati terhadap unjuk rasa yang dilakukan rekan-rekan mahasiswa Fakultas Psikologi. Mereka menolak biaya ekstra di fakultas itu. Demonstrasi di siang yang menyengat itu, membuatku mencari penawar dahaga. Itulah awal perjumpaanku dengan Erna di kantin fakultasnya. Aku mengenal Erna tanpa sengaja. Kalau cuma teman mahasiswi yang cantik, sudah banyak kumiliki. Namun, Erna lain dimataku. Dia spesial banget! Klise memang, kalau aku mengumbar puja-puji.

Berkat Erna, aku mulai sedikit berubah. Dari mulai seringnya aku hadir di ruang kuliah, hingga   absenku pada beberapa aksi unjuk rasa di boulevard kampus. Rekan-rekan aktivis mulai jengah. Kusampaikan ke mereka bahwa aku sedang mengejar ketertinggalan akademis. Lucu juga, padahal semua tahu, dulunya aku tak  peduli perkuliahan. Yang penting IP tidak kurang dari dua koma nol, cukuplah. Sekarang aku berubah, aku sangat peduli kuliah. Semua karena Erna. Teman-teman yang tak suka berpolitik sangat mendukungku kembali ke ruang kuliah. Hal yang bertolak belakang kudapat dari teman-teman aktivis. Beberapa diantara mereka dengan kejam  memberi stempel “aktivis insyaf” kepadaku. Ini ironis, ada teman yang mendekat sekaligus ada yang menjauhiku. Aku tak peduli, yang penting kepedulianku terhadap Erna tidak berkurang, bahkan bertumbuh dari waktu ke waktu. Cintaku sedang berkecambah, perlu kusiram dan kupupuk terus. Kepada beberapa rekan aktivis yang masih menyambangiku, aku hanya bisa membesarkan hati mereka.


           “Tenang kawan, aku belum berubah! Kalau, toh, sekarang aku jarang terlibat dalam aksi,   

            setidaknya aku mendukung kalian secara moral.”

            “Tapi, bagaimana dengan ucapanmu dulu? Kamu sering berujar: jika melihat                 

             kesewenangan mesti kita lawan dengan tangan, jika tak bisa dengan tangan dengan  

             mulut, jika tak bisa dengan mulut dengan hati, namun bukankah itu selemah-lemah   

             perlawanan,” sindir kawan-kawanku.

             “Ada saatnya kita bicara dan ada saatnya kita diam, ada saatnya kita konfrontasi ada   

             saatnya kita negosiasi dan kompromi,” aku membela diri.

            “Mana ada idealisme perjuangan dinegosiasikan apalagi dikompromikan!” sergah  

             mereka.

Aku terdiam dan terpojok.

Kehadiran Erna dalam diriku berbarengan dengan masalah keluarga yang tengah kuhadapi. Sebagai mahasiswa perantauan, aku sepenuhnya tergantung  kiriman dana orang tua. Aku bukan anak orang kaya. Bapakku hanya  pengawas di satu perkebunan kelapa sawit di Sumatera. Ibuku tidak bekerja, adikku pun berjumlah tiga.

           “Bud, sebaiknya kamu kuliah di Jawa! Bagaimanapun, kualitas pendidikan disana  

            lebih bagus. Apapun  kami lakukan agar kelak kamu menjadi orang sukses dan bisa  

            membantu adik-adikmu,” begitu pesan kedua orang tuaku.

Semua berjalan lancar-lancar saja, kecuali kuliahku yang terbengkalai karena aku menjadi aktivis. Sampai suatu ketika, datanglah kabar buruk dari Sumatera: bapak di PHK! Dunia serasa gelap. Kelanjutan studiku terancam. Di saat kritis itulah muncul Erna mengisi hari-hariku. Studiku yang semula  akan kandas di tengah jalan, bisa berjalan normal lagi. Bukan karena aku memanfaatkan kesempatan dengan hadirnya Erna, namun semua itu semata-mata kebaikan Om Bambang, papanya Erna. Menjadi pejabat di satu instansi negeri, Om Bambang secara status dan ekonomi bisa diandalkan. Apalagi anaknya cuma satu, ya, Erna itu. Aku tidak meminta, Om Bambanglah yang bersimpati kepada nasibku. Mungkin karena melihat kesungguhanku terhadap  Erna. Atau barangkali Erna-lah yang merengek ke papanya karena tak mau kehilangan aku. Entahlah, yang jelas segala biaya hidup dan kuliahku, Om Bambang yang menanggungnya sekarang ini.  Dilematik bagiku: tetap menjadi orang kritis namun mesti pulang ke Sumatera sebagai orang gagal; atau tetap ingin mewujudkan cita-cita kedua orangtuaku,  menjadi orang sukses dan kelak bisa  membantu keluarga.

          “Bud,  alangkah baiknya bila kamu sekarang lebih konsentrasi kepada kuliah saja. Aku

          dulu juga pernah kuliah dan tahu persis nasib teman-temanku  yang  menghabiskan waktu  

          studinya sia-sia. Mereka memang gigih memperjuangkan nasib rakyat dan terlalu banyak       

           mikirin negara. Namun mereka justru melupakan nasibnya  sendiri. Banyak diantara

           mereka yang di DO oleh kampusnya. Atau  kalaupun lulus dengan prestasi yang sangat

           pas-pasan dan susah untuk mendapat pekerjaan.” Itulah persuasi yang terus didengungkan

           Om Bambang kepadaku.

Aku terjepit dan tersudut. Bayangan keinginan kuat untuk membantu keluargaku kelak, bersinergi dengan kebaikan Erna dan papanya, meruntuhkan apa yang aku yakini selama ini. Pelan namun pasti, pengaruh Om Bambang semakin mendalam. Aku sudah kehilangan jati diri.  Om Bambang menumpukiku dengan budinya. Subsidi untuk kuliahku mengalami peningkatan. Banyak fasilitas kudapatkan dari Om Bambang. Sebuah Blackberry, laptop dengan spec aduhai serta sebuah motor matic diberikannya untukku. Aku tak ingin  mengecewakan Om Bambang dan Erna. Kedua orang tuaku semula tak setuju dengan semua itu.

             “Om Bambang tulus menolongku. Beliau tak banyak menuntut. Aku hanya   

             disuruh bersungguh-sungguh dalam studi. Bila kutampik, studiku bakal hancur dan aku              

             pulang kampung. Lagian, aku tidak ingin kehilangan Erna.” kataku kepada Bapak-Ibu.  Mereka akhirnya pasrah saja. Hari-hari berlalu seperti biasa. Kuliah dan kebersamaan dengan Erna menjadi rutinitas baruku. Dari seorang Soe Hok Gie pelan-pelan menjadi Romi dan Juli,”  itulah ledekan yang kuterima.

Sampai pada suatu ketika aku mulai menyadari ada yang tidak wajar. Perlahan tapi pasti segala, aset Om Bambang meningkat pesat. Tanah ada dimana-mana, begitupun rumah. Di garasi rumahnya berjejalan tiga mobil mewah. Pun, Tante Bambang sekarang ini punya hobby shooping ke Singapura setiap bulan. Motor matic pemberian Om Bambang telah mangkrak pula.  Sekarang kemana-mana aku dan Erna mengendarai Honda City terkini. Aku mulai curiga, jangan-jangan Om Bambang…, ah, aku tak sampai hati berpikiran jelek kepada mereka. Positive thinking, itulah kata-kata yang sering kudengar dari mulut Erna. Dia kan calon psikolog.

Pagi itu, ketika aku masih enak-enakan tidur, mendadak Agung teman satu kostku mengetuk pintu kamarku  cukup keras.

          “Bud, buka pintu! Bud, cepat! ada sesuatu yang penting.”

          “Ada apa? Aku masih ngantuk, semalaman habis ngerjain paper, nih.”

          “Cepat buka pintu! Ini menyangkut kamu dan Erna.”    

Akupun bergegas keluar kamar dengan masih menahan kantuk.

           “Yang bener?! ini menyangkut aku dan Erna?”

            “Nih, baca sendiri!”

Agung menyodorkan sebuah koran lokal kepadaku.

           “Bukankah Drs. Bambang Mulyono, M.M, Kepala Dinas Pendapatan Daerah, itu Om    

            Bambang bokapnya Erna?”  kata Agung.

            “Benar Gung, itu Om Bambang.”

Akupun membaca koran yang disodorkan Agung. Jeder! bak disambar petir, akupun lunglai. Drs. Bambang Mulyono, M.M, Kepala Dinas Pendapatan Daerah, semalam ditahan Kejaksaan Negeri. Tersangka ditahan karena diduga kuat melakukan tindak pidana korupsi dana APBD senilai lima puluh milyar rupiah.” Begitulah isi sebagian berita. Dengan gugup kuhubungi Erna yang sudah tiga hari ini menemani mamanya ke Jakarta untuk sebuah keperluan.

          “Benar, semalam papa sudah ngasih kabar ke kami, bahwa beliau dijemput pihak  

          Kejaksaan untuk ditahan. Sebelumnya Mama dan aku memang sudah diberitahu papa  

          kemungkinan tersebut. Seminggu yang lalu surat ijin pemeriksaan dari bupati sudah

          turun,”  kata Erna sesengukan diseberang telpon.

           “Mengapa kamu menyembunyikan itu semua dariku?”

           “Sungguh, Bud, aku malu terhadap  semua, terutama Kamu. Aku nggak tahu mesti  

            berbuat apa. Lalu Mama mengajakku untuk sementara waktu meminta pertimbangan Opa  

            di Jakarta.”   

Langit serasa mau runtuh. Aku seolah sedang menuju  lorong yang gelap yang tak ada terang di ujungnya. Aku harus menerima ini sebagai kenyataan. Aku tidak boleh meninggalkan Erna, tidak akan.

Pagi itu, sebulan setelah Om Bambang di tahan, kucegat angkot di jalan depan kos-kosan. Sudah sebulanan ini aku menanggalkan dan mengembalikan semua barang-barang pemberian Erna dan keluarganya. Aku malu menerima dan memakai semuanya, yang ternyata dari hasil korupsi. Sampailah angkot di depan Gedung Pengadilan Negeri. Hari itu aku mendampingi Erna untuk menghadiri sidang perdana Om Bambang. Dibanding keluarga besar Om Bambang yang ada disitu, sebenarnya akulah yang paling hancur.  Aku merasa sebagai orang paling nista dibanding sang terdakwa sendiri. Dari jendela luar ruang sidang, rekan-rekan aktivisku dulu, menyoraki dan mengacung-acungkan spanduk : Ganyang Koruptor! Namun yang lebih mengenaskan, mereka juga menyoraki aku sebagai pengkhianat rakyat! Mereka anggap aku antek koruptor yang  ikut menikmati duit haram hasil merampok uang rakyat. Kakiku serasa tak menjejak tanah, jiwaku seolah telah pergi meninggalkan ragaku di kursi pengunjung ruang sidang itu. Aku serasa telah mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar