Pengarang :
Jaya Suprana
Penerbit :
PT Elex Media Komputindo
Cetakan :
I, 2013
ISBN
: 978-602-02-2938-6
Tebal Buku : xi+173
Bukan Jaya Suprana namanya kalau tidak
mengangkat tema “remeh-temeh” menjadi sebuah buku “ilmu” yang unik. Pria
kelahiran Denpasar, 65 tahun silam ini, memang multitalenta. Jaya Suprana
tergolong jenius. Nyaris semua hal terkait seni dan budaya ia lakoni dengan
standard estetika yang mumpuni. Berbagai sebutan ia sandang, mulai dari:
pianis, komponis, penulis hingga kartunis. Pria pemilik perusahaan jamu
terkemuka di Jateng ini sangat layak mengisi daftar orang paling berbakat di
Museum Rekor Indonesia (MURI) yang digagasnya.
Jaya Suprana pun termasuk pemikir kelas wahid. Hal yang
terlihat “remeh-temeh” dan tidak terpikirkan oleh orang lain, di tangan Jaya,
menjadi obyek kajian yang menarik dan dalam. Otak brilian Jaya Suprana telah
melahirkan “ilmu” atau kajian tentang “keliru”, maka lahirlah KELIRUMOLOGI di
tahun 2005. Dalam Kelirumologi, Jaya mempelajari
kekeliruan yang terlanjur dianggap benar oleh
masyarakat. Kelirumologi mengajak orang agar kritis terhadap
semua hal yang dianggap benar padahal sebenarnya salah.
Setelah sukses dengan Kelirumologinya, kali
ini Jaya Suprana berpetualang dengan menelaah hal “alasan”. Semua
orang tentunya pernah menggunakana alasan dalam berinteraksi dengan manusia
lain. Alasan bertebaran di segala aspek hidup manusia dan peristiwa. Alasan
bahkan kerap dipandang sebagai fenomena lumrah. Alasan dapat muncul mulai dari persolan domestik yang ringan-ringan
misalnya: anak yang harus menyampaikan alasan kepada orang tuanya tersebab
terlambat pulang ke rumah. Persoalan pelik kenegaraan pun tak luput untuk
menggunakan alasan, tentunya memakai perspektif yang bisa jadi bersifat
subyektif. Contohnya pada Centurygate,
pemerintah beralasan bahwa bailout
Bank Century demi mencegah dampak sistemik seandainya bank tersebut ditutup.
Alasan tersebut sangat debatable
hingga kini.
Alasan yang dibuat terkadang terlihat
sebagai keberanian, bila tepat dan benar; namun bisa bermakna kepengecutan dan pengkhianatan, bila tidak
logis dan merugikan. Hal tersebut semata karena alasan lebih bersifat
kontekstual daripada konseptual, sehingga terkait tafsir atau persepsi yang
lebih bernilai subyektif ketimbang
obyektif. Secara pskikolingual, alasan lebih bermakna negatif secara
kontekstual.
Manusia senantiasa
membutuhkan alasan dalam segala perbuatannya. Berbeda dengan hewan yang
melakukan sesuatu tanpa alasan, melainkan dorongan naluri. Nyaris semua sikap
dan perilaku manusia dilandasi alasan tertentu. Namun ada pula perilaku yang
dikerjakan tanpa alasan tertentu, misalnya: fobia atau phobia. Dalam bahasa
psikiatrik, fobia merupakan perilaku takut terhadap sesuatu hal tanpa ada
alasan.
Alasan berdasar KBBI berasal dari kata
dasar “Alas” yang memiliki dua pemaknaan: dasar, pondasi dan sarap atau lapik
(misal: alas gelas). Padanan alasan dalam bahasa Inggris adalah reason. Kata alasan lebih kaya makna
daripada reason. Alasan mengungkapkan
sikap dorongan, insting, tarikan dan motif; sedang reason hanya menyiratkan latar belakang yang bernafaskan ilmiah.
Definisi alasan berdasar semantika logika adalah proses penyampaian
kesimpulan dari data, dimana alasan sebagai datanya. Istilah alasan bisa
dijadikan sebagai pendekatan ke teori
kasualitas yang menggagas keterkaitan antara sebab dan akibat dalam ilmu
pengetahuan alam terutama Fisika.
Alasan ada dua bentuk, yakni verbal dan
sikap (perilaku), misalnya: bayi menangis karena lapar, haus atau merasa
tidak nyaman; narapidana melarikan diri dari penjara karena mendapat perlakuan
tak manusiawi.
gambar lebahmaster.com |
Jaya Suprana
menganalisis alasan dari bebagai perspektif, konteks dan konstelasi. Menurut
Jaya, Alasanologi bukanlah ilmu agar terampil
membuat alasan. Sebab, secara das sein,
manusia sudah dianugerahi naluri terampil membuat alasan pembenar diri dan alat
membela diri ketika melakukan kesalahan. Secara das sollen, Alasanologi diharapkan mampu membantu kita untuk mawas
diri dan menyelami mengapa kita seringkali memakai alasan.
Alasanologi menurut Jaya Suprana adalah paham untuk menalaah alasan. Jaya
Suprana berusaha membedah berbagai alasan yang menyelimuti fenomena dan
permasalahan hidup sehari-hari. Alasanologi secara istilah merupakan hal yang
baru. Namun secara kodrati, alasanologi sudah ada sejak permulaan peradaban dan
kebudayaan, yakni sejak manusia menghadapi masalah dan berusaha menelaah
masalah demi mencari pemecahannya.
Menurut Jaya, alasan yang istimewa adalah “alasan
selubung”, yang berperan sebagai: penyamar, pengabur, kedok, penutup dan
pengemas alasan yang sebenarnya. Terkadang orang memerlukan alasan selubung
demi menutupi perilaku yang memalukan, seperti: kentut, bersendawa, keseleo
lidah, keliru menyebut nama (hal 55).
Alasan kerap digunakan sebagai
penjelasan, lalu berlanjut sebagai “pemaaf” atas suatu sikap atau perilaku.
Kebutuhan menggunakan “alasan sebagai pemaaf” (apologi), lebih banyak digunakan orang dewasa daripada anak-anak.
Alasan sebagai pemaaf bertendensi terciptanya status quo. Dalam fungsinya sebagai pemaaf, alasan kerap
diungkapkan sebagai: alibi, bantahan, minimalisasi dan justifikasi. “Maklum,
dia masih terlalu kecil,” adalah contoh ungkapan alasan sebagai pemaaf (hal
102-106). Sebagai pemaaf, alasan cenderung kompromis membenarkan perilaku yang
ingin dimaafkan. Hal tersebut cenderung memberi keleluasaan bagi si pelaku
untuk mengembangkan perilaku yang seharusnya tidak dilakukan.
Alasan selain potensial sebagai
pemaaf, juga potensial sebagai “penyalah” (pihak lain). Seorang politisi yang
tidak bisa menerima kekalahan dalam suatu pemilu, kerap menyalahkan pihak
eksternal dengan “alasan penyalah” seperti: lawan pakai politik uang, KPU
curang dalam penghitungan (hal 111).
Alasanologi dalam bidang ekonomi,
khususnya pemasaran, menuntun marketer untuk menelaah alasan konsumen membeli
atau tidak membeli suatu produk. Dengan begitu sang pemasar dapat menentukan
strategi marketing yang tepat (hal 85).
Dengan membaca buku Alasanologi ini,
membantu kita dalam proses problem
solving, yakni sebagai alat untuk “diagnosis” atau sebagai telaah terhadap
alasan-alasan penyebab masalah. Diagnosis terhadap alasan yang tepat dapat membantu
memecahkan dan menanggulangi masalah secara benar. Bahkan, diagnosis alasan
dapat didayagunakan sebagai problem
preventing, sebab dengan mengetahui masalah beserta alasan yang
menyertainya, memandu kita agar masalah serupa tak terjadi di masa depan. Lebih
jauh lagi dengan mengadopsi Descartes:
Aku beralasan maka aku ada!
Jadi, tak ada alasan untuk tidak
membaca buku ini.
Link: http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20140302&name=H10-A221949
Link: http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20140302&name=H10-A221949
Danang
Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar