Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 02 Maret 2014

Dunia Alasan Jaya Suprana

Judul Buku : ALASANOLOGI                                      
Resensi Saya di Jawa Pos, Maret 2014
Pengarang  : Jaya Suprana
Penerbit      : PT Elex Media Komputindo
Cetakan       : I, 2013
ISBN           : 978-602-02-2938-6
Tebal Buku : xi+173


     Bukan Jaya Suprana namanya kalau tidak mengangkat tema “remeh-temeh” menjadi sebuah buku “ilmu” yang unik. Pria kelahiran Denpasar, 65 tahun silam ini, memang multitalenta. Jaya Suprana tergolong jenius. Nyaris semua hal terkait seni dan budaya ia lakoni dengan standard estetika yang mumpuni. Berbagai sebutan ia sandang, mulai dari: pianis, komponis, penulis hingga kartunis. Pria pemilik perusahaan jamu terkemuka di Jateng ini sangat layak mengisi daftar orang paling berbakat di Museum Rekor Indonesia (MURI) yang digagasnya.
    Jaya Suprana pun termasuk pemikir kelas wahid. Hal yang terlihat “remeh-temeh” dan tidak terpikirkan oleh orang lain, di tangan Jaya, menjadi obyek kajian yang menarik dan dalam. Otak brilian Jaya Suprana telah melahirkan “ilmu” atau kajian tentang “keliru”, maka lahirlah KELIRUMOLOGI di tahun 2005. Dalam Kelirumologi, Jaya mempelajari kekeliruan yang terlanjur dianggap benar oleh masyarakat. Kelirumologi mengajak orang agar kritis terhadap semua hal yang dianggap benar padahal sebenarnya salah.
       Setelah sukses dengan Kelirumologinya, kali ini Jaya Suprana berpetualang dengan menelaah hal “alasan”. Semua orang tentunya pernah menggunakana alasan dalam berinteraksi dengan manusia lain. Alasan bertebaran di segala aspek hidup manusia dan peristiwa. Alasan bahkan kerap dipandang sebagai fenomena lumrah. Alasan dapat muncul mulai dari  persolan domestik yang ringan-ringan misalnya: anak yang harus menyampaikan alasan kepada orang tuanya tersebab terlambat pulang ke rumah. Persoalan pelik kenegaraan pun tak luput untuk menggunakan alasan, tentunya memakai perspektif yang bisa jadi bersifat subyektif. Contohnya pada Centurygate, pemerintah beralasan bahwa bailout Bank Century demi mencegah dampak sistemik seandainya bank tersebut ditutup. Alasan tersebut sangat debatable hingga kini.
      Alasan yang dibuat terkadang terlihat sebagai keberanian, bila tepat dan benar; namun bisa bermakna  kepengecutan dan pengkhianatan, bila tidak logis dan merugikan. Hal tersebut semata karena alasan lebih bersifat kontekstual daripada konseptual, sehingga terkait tafsir atau persepsi yang lebih bernilai subyektif  ketimbang obyektif. Secara pskikolingual, alasan lebih bermakna negatif secara kontekstual.
      Manusia senantiasa membutuhkan alasan dalam segala perbuatannya. Berbeda dengan hewan yang melakukan sesuatu tanpa alasan, melainkan dorongan naluri. Nyaris semua sikap dan perilaku manusia dilandasi alasan tertentu. Namun ada pula perilaku yang dikerjakan tanpa alasan tertentu, misalnya: fobia atau phobia. Dalam bahasa psikiatrik, fobia merupakan perilaku takut terhadap sesuatu hal tanpa ada alasan.
      Alasan berdasar KBBI berasal dari kata dasar “Alas” yang memiliki dua pemaknaan: dasar, pondasi dan sarap atau lapik (misal: alas gelas). Padanan alasan dalam bahasa Inggris adalah reason. Kata alasan lebih kaya makna daripada reason. Alasan mengungkapkan sikap dorongan, insting, tarikan dan motif; sedang reason hanya menyiratkan latar belakang yang bernafaskan ilmiah.
     Definisi alasan berdasar semantika logika adalah proses penyampaian kesimpulan dari data, dimana alasan sebagai datanya. Istilah alasan bisa dijadikan sebagai pendekatan ke teori kasualitas yang menggagas keterkaitan antara sebab dan akibat dalam ilmu pengetahuan alam terutama Fisika.
    Alasan ada dua bentuk, yakni verbal dan  sikap (perilaku), misalnya: bayi menangis karena lapar, haus atau merasa tidak nyaman; narapidana melarikan diri dari penjara karena mendapat perlakuan tak manusiawi.

gambar lebahmaster.com


     Jaya Suprana menganalisis alasan dari bebagai perspektif, konteks dan konstelasi.  Menurut Jaya, Alasanologi bukanlah ilmu agar terampil membuat alasan. Sebab, secara das sein, manusia sudah dianugerahi naluri terampil membuat alasan pembenar diri dan alat membela diri ketika melakukan kesalahan. Secara das sollen, Alasanologi diharapkan mampu membantu kita untuk mawas diri dan menyelami mengapa kita seringkali memakai alasan.
     Alasanologi menurut Jaya Suprana adalah paham untuk menalaah alasan. Jaya Suprana berusaha membedah berbagai alasan yang menyelimuti fenomena dan permasalahan hidup sehari-hari. Alasanologi secara istilah merupakan hal yang baru. Namun secara kodrati, alasanologi sudah ada sejak permulaan peradaban dan kebudayaan, yakni sejak manusia menghadapi masalah dan berusaha menelaah masalah demi mencari pemecahannya.
      Menurut Jaya, alasan yang istimewa adalah “alasan selubung”, yang berperan sebagai: penyamar, pengabur, kedok, penutup dan pengemas alasan yang sebenarnya. Terkadang orang memerlukan alasan selubung demi menutupi perilaku yang memalukan, seperti: kentut, bersendawa, keseleo lidah, keliru menyebut nama (hal 55).
Alasan kerap digunakan sebagai penjelasan, lalu berlanjut sebagai “pemaaf” atas suatu sikap atau perilaku. Kebutuhan menggunakan “alasan sebagai pemaaf” (apologi), lebih banyak digunakan orang dewasa daripada anak-anak. Alasan sebagai pemaaf bertendensi terciptanya status quo. Dalam fungsinya sebagai pemaaf, alasan kerap diungkapkan sebagai: alibi, bantahan, minimalisasi dan justifikasi. “Maklum, dia masih terlalu kecil,” adalah contoh ungkapan alasan sebagai pemaaf (hal 102-106). Sebagai pemaaf, alasan cenderung kompromis membenarkan perilaku yang ingin dimaafkan. Hal tersebut cenderung memberi keleluasaan bagi si pelaku untuk mengembangkan perilaku yang seharusnya tidak dilakukan.
Alasan selain potensial sebagai pemaaf, juga potensial sebagai “penyalah” (pihak lain). Seorang politisi yang tidak bisa menerima kekalahan dalam suatu pemilu, kerap menyalahkan pihak eksternal dengan “alasan penyalah” seperti: lawan pakai politik uang, KPU curang dalam penghitungan (hal 111).
Alasanologi dalam bidang ekonomi, khususnya pemasaran, menuntun marketer untuk menelaah alasan konsumen membeli atau tidak membeli suatu produk. Dengan begitu sang pemasar dapat menentukan strategi marketing yang tepat (hal 85).
      Dengan membaca buku Alasanologi ini, membantu kita dalam proses problem solving, yakni sebagai alat untuk “diagnosis” atau sebagai telaah terhadap alasan-alasan penyebab masalah. Diagnosis terhadap alasan yang tepat dapat membantu memecahkan dan menanggulangi masalah secara benar. Bahkan, diagnosis alasan dapat didayagunakan sebagai problem preventing, sebab dengan mengetahui masalah beserta alasan yang menyertainya, memandu kita agar masalah serupa tak terjadi di masa depan. Lebih jauh lagi dengan mengadopsi  Descartes: Aku beralasan maka aku ada!
Jadi, tak ada alasan untuk tidak membaca buku ini.
Link: http://digital.jawapos.com/shared.php?type=imap&date=20140302&name=H10-A221949

Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar