Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 16 November 2014

Patriotisme Tionghoa untuk Republik



Judul Buku : TIONGHOA DALAM SEJARAH KEMILITERAN
Pengarang  : Iwan Santosa                                                               
Resensiku Termuat di Jawa Pos, Edisi: November 2014
Penerbit      : Penerbit Buku Kompas
Cetakan       : I, 2014
ISBN           : 978-979-709-871-1
Tebal Buku : xxxviii + 234

Oleh: Danang Probotanoyo
     Berbicara etnis Tionghoa (dulu disebut “China”), tak akan lari jauh dari topik dagang dan situasi kerusuhan SARA yang pernah melanda republik. Lainnya hanya mengingatkan orang pada beberapa sosok pebulu tangkis handal Indonesia. Dalam hal dagang Tionghoa sangatlah dominan. Selain sudah turun temurun,  berbagai politik diskriminasi yang menimpa mereka sejak zaman VOC hingga  Orde Baru,  menempa Tionghoa sebagai pedagang dan pebisnis handal.   
      Aturan Wijkenstelsel dan Passenstelsel VOC  mencegah interaksi Tionghoa dengan pribumi. Aturan itu mengakibatkan Tionghoa “terisolasi” di kantong-kantong pemukiman di perkotaan,  dikenal sebagai Pacinan. VOC memberlakukan aturan itu sebagai buntut pemberontakan Tionghoa (yang dibantu etnis Jawa) di tahun 1740-1743.  Peristiwa “Geger Pacinan” tersebut dipicu adanya pembantaian Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Menurut tesis Sejarawan Belanda, Noorduyn, “Geger Pacinan” menjadi awal serangkaian panjang perang di Jawa. Bahkan dari skalanya, “Geger Pacinan”  dikatakan lebih besar dari Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830). Entah karena apa, perang tersebut dilupakan (dihapuskan?) dalam sejarah Nasional. Hingga muncul buku Daradjati berjudul “Geger Pacinan” (2008), yang menguak  kembali pemberontakan Tionghoa itu.
     Di era Orde Lama, kebijakan diskriminatif terhadap Tionghoa masih terjadi. Contohnya PP No. 10 tahun 1959, berisi larangan  Tionghoa berdagang eceran di luar wilayah ibukota provinsi dan kabupaten. Di zaman Orde Baru nasib Tionghoa lebih buruk lagi. Selain dilarang menyelenggarakan berbagai tradisi seni dan budaya leluhur, rezim Orba menerbitkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia ( SBKRI), untuk etnis Tionghoa.
Resensiku di Jawa Pos, Edisi: November 2014

       Sejarah kelam diskriminasi terhadap Tionghoa dari masa ke masa berkelindan dengan nasib buruknya sebagai korban pelbagai kerusuhan. Paling mutakhir adalah kerusuhan Mei 1998, yang mengakibatkan kerugian harta benda bahkan nyawa etnis Tionghoa. Selalu menjadi korban diskriminasi dan obyek kerusuhan sejak VOC hingga Orba, menyiratkan ada yang salah dalam memandang etnis Tionghoa. Banyak yang masih melihat etnis Tionghoa sebagai entitas pendatang. Meskipun sudah bergenerasi terlahir di Indonesia, tetap saja ada “barier dikotomis” pribumi dan nonpribumi.     
       Dengan membaca buku ini niscaya akan mendapatkan fakta-fakta mencengangkan yang bisa membalikkan sikap dalam memandang Tionghoa. Buku ini setidaknya mampu menjungkirkan stereotype bahwa Tionghoa tak lebih dari para pedagang dan pemain badminton. Dalam bukunya ini, Iwan Santosa mengungkap kiprah etnis Tionghoa yang tak kalah dari pribumi dalam mendirikan dan mempertahankan eksistensi republik. Ternyata banyak Tionghoa terlibat langsung dalam perjuangan bersenjata merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Harian Merdeka, koran berpengaruh era 40-an, dalam memperingati enam bulan kemerdekaan RI, 17 Febuari 1946, menurunkan laporan khusus tentang pertempuran 10 November 1945 dengan judul “Pendoedoek Tionghoa Membantoe Kita”. Dituliskan bahwa sebagian Tionghoa Surabaya membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat) “Chungking” yang turut bertempur di garis depan pertempuran Surabaya. Pertempuran 10 November 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan,  dengan tokoh sentralnya “Bung Tomo”, memiliki  beberapa nama pejuang Tionghoa di sisi beliau. Pejuang Tionghoa itu tergabung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo. Tersebut  nama Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjok Tek sebagai ahli pyroteknik atau ahli amunisi dan peledak. (hal.93-95). Dalam pertempuran lain yang tak kalah heroik dengan Pertempuran Surabaya, yakni “Palagan Ambarawa” ada sosok pejuang terlupakan bernama Kho Sien Hoo. Sosok Kho Sien  ini diungkap ke permukaan kembali oleh Pramoedya Ananta Toer dalam ulasan buku biografi Ghanda Winata Bangkit Dan Pantang Menyerah: Kisah Nyata Inspiratif Seorang Prajurit, Pendidik dan Pebisnis Tionghoa (hal.101).
       Setelah perang usai, banyak pejuang Tionghoa melanjutkan karier kemiliterannya di TNI. Tak sedikit dari mereka hingga mencecap pangkat perwira. Bahkan penelitian Lie Ay Mei dari Amsterdam, berjudul “Uniform in Diversity”, didapatkan data bahwa tahun 60-an jumlah perwira TNI bersuku Tionghoa mencapai persentase sama dengan jumlah penduduk Tionghoa di Indonesia, yakni 2-3 persen (hal.206). Sayangnya, karier cemerlang sebagian Tionghoa di TNI meredup akibat meletusnya G-30 S/PKI. Rezim Orba yang berkuasa pasca peristiwa itu mencurigai keterlibatan etnis Tionghoa. Kecurigaan keterlibatan Tionghoa pada G-30 S/PKI sesungguhnya hanya dilihat berdasar “kemesraan” RI-Tiongkok di era itu. Imbasnya, banyak TNI etnis Tionghoa yang kariernya terhenti atau malah keluar dari dinas kemiliteran. Selebihnya tetap berkarier di militer dengan tenaga ekstra agar tetap survive.
      Semua kesalahan masa lalu terkait Tionghoa mulai diperbaiki di era reformasi. Puncaknya adalah penganugerahan gelar pahlawan nasional dan Bintang Mahaputera Adipradana kepada almarhum Laksamana Muda (purn) John Lie, pada 9 November 2009, oleh Presiden SBY. Bahkan simbol heroisme Tionghoa, yang diwakili John Lie, disematkan sebagai nama kapal perang terbaru TNI AL, yakni KRI John Lie. Buku berjudul “Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran” karya Iwan Santosa ini menjadi dokumentasi penting patriotisme Tionghoa dalam kancah kemiliteran republik yang pada gilirannya bisa membuat orang memiliki perspektif positif pada Tionghoa. 
Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar