Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Selasa, 04 November 2014

Legenda Itu Bernama Koes Plus


Resensi Saya Termuat di Kedaulatan Rakyat, Medio: Nov 2014

 Judul Buku       : Kisah dari Hati, Koes Plus Tonggak Industri Musik Indonesia
Penerbit            : Penerbit Buku Kompas
Penulis              : Ais Suhana
Catakan             : I, 2014
Tebal Halaman : xxv + 230
ISBN                 : 978-979-709-825-4

Oleh: Danang Probotanoyo
      Orang Indonesia, khususnya usia 30 tahun ke atas, tentu sangat mengenal nama Koes Plus.  Band Koes Plus menjadi salah satu ikon dan pelopor musik Indonesia modern. Dalam majalah Rolling Stone,  November 2008, Koes Plus ada di urutan pertama dalam 25 Artis Indonesia Terbesar Sepanjang Masa. Banyak lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara (sebelum menjadi Koes Plus) menyatu dengan nadi kehidupan masyarakat. “Kapan-Kapan”, “Bis Kota”, “Kolam Susu”, “Cubit-Cubitan”, “Bujangan” dan “Diana” adalah sedikit contoh lagu Koes Plus dan Koes Bersaudara yang melegenda. Apa yang menyebabkan Koes Plus dan Koes Bersaudara sangat melegenda? Kepeloporan, kesederhanaan dalam berkarya serta karya musik mereka yang melintas berbagai sekat yang ada, itulah penyebabnya.  
     Band Koes Plus yang dibentuk tahun 1969 merupakan kelanjutan Band Koes Bersaudara yang dikenal pada medio 1962. Awalnya, Koes Bersaudara terdiri lima bersaudara anak Koeswojo asal Tuban, Jatim. Mereka: Koesdjono (John Koeswojo), Koestono (Tonny Koeswojo), Koesnomo (Nomo Koewojo), Koesjono (Yon Koeswojo) dan Koesrojo (Yok Koeswojo). Koes Bersaudara  merupakan cikal bakal grup band di Indonesia. Awal tahun 60-an, musik Indonesia diramaikan penyanyi-penyanyi solo. Kemunculan Koes Bersaudara menjadi oase tersendiri. Meski ada pengaruh kuat dari Kalin Twin dan The Everly Brothers, namun Tonny Koeswojo selaku inspirator serta motor penggerak Koes Bersaudara tak serta merta menjadikan bandnya sebagai epigon. Tonny menancapkan gagasan revolusioner yang tak lazim kala itu dengan membawakan lagu karya cipta sendiri. Muncullah single evergreen macam: Bis Sekolah, Telaga Sunyi, Dara Manisku, Angin Laut dan Pagi yang Indah, yang merajai RRI (Radio Republik Indonesia) kala itu. Koes Bersaudara menyentak publik dan menggeser dominasi penyanyi single. Di titik itu, Koes Bersaudara menjadi band pertama yang sukses dalam rekaman. Tak lama berselang, John Koeswojo mundur karena berkonsentrasi kerja kantoran.  
 
KR, Medio: Nov 2014
   
Saat Koes Bersaudara merintis sukses,
dunia dilanda “wabah” rock n roll yang dipicu super grup: The Beatles. Koes Bersaudara ikut terjangkiti wabah itu. Apes, bagi rezim berkuasa, musik-musik yang dibawakan Koes Bersaudara dicap sebagai musik ngak-ngik-ngok, dekaden, antinasionalis, antirevolusi dan kebarat-baratan. Maklum, Soekarno saat itu sedang jengah dengan Nekolim (Neo kolonialiasme-imperialisme). Ujung-ujungnya, empat bersaudara Koes  dimasukkan Penjara. Itulah hal ihwal Koes Bersaudara masuk penjara yang diketahui publik selama puluhan tahun. Dalam buku ini, Yok Koeswojo mengungkapkan motif pemenjaraan Koes Bersaudara yang sesungguhnya. Menurut Yok, Koes Bersaudara dijebloskan ke penjara hanyalah siasat intelijen dalam rangka persiapan dikirim ke Malaysia. Mereka direkayasa seolah-olah dimusuhi rezim. Skenarionya: setelah dibebaskan, mereka akan dikirim ke Malaysia. Mereka akan dijadikan “duta” untuk mengukur animo masyarakat semenanjung Malaya terhadap ide pembentukan Federasi Malaysia. Sekaligus mengukur seberapa jauh rakyat Malaysia mencintai atau membenci Indonesia (hal 2). Itu terkait dengan politik Ganyang Malaysia” yang diserukan Soekarno. Ide pengiriman Koes urung sebab terjadi G-30S/PKI. Awalnya Koes Bersaudara tak menyadari scenario rahasia itu. Sekeluar penjara, kondisi politik dan ekonomi negara berantakan akibat peristiwa G-30 S/PKI. Nomo Koeswojo hengkang dan mencari penghidupan lain. Tonny Koeswojo dan adiknya yang tersisa tetap berkarir di musik. Direkrutlah Kasmuri, akrab disapa Murry, sebagai drumer pengganti Nomo. Tonny menyebut band “barunya” sebagai Koes Plus: Koes (bersaudara) Plus (Murry). Masuknya Murry menginspirasi Tonny memberi warna lain musiknya dibanding semasa Koes Bersaudara. Awalnya untuk mengakomodasi tipikal drumming ala Murry yang cadas dan keras (hal 125). Meski “reinkarnasi” Koes Bersaudara, kemunculan Koes Plus awalnya disambut dingin publik. Album Volume I Koes Plus jeblok di pasaran. Piringan hitamnya menumpuk di gudang perusahaan rekaman. Sampai kemudian ada event Jambore Grup Musik di Senayan yang merubah segalanya. Di tengah hingar bingar musik Deep Purple dan Led Zeppelin yang dimainkan grup lain, Koes Plus justru mendendangkan “Derita” serta “Manis dan Sayang” ciptaan sendiri. Publik terpukau oleh penampilan Koes Plus. Mereka lantas menjadi headline surat kabar dan majalah. Album Volume I tak jadi berjamur di gudang recording. Gempuran musik Koes Plus tak terbendung. Album demi album mengalir deras, menyemburkan hits-hits legendaris, macam: Kisah Sedih di Hari Minggu, Cintamu Tlah Berlalu, Bujangan dan masih banyak lagi. Seolah membayar lunas tuduhan sebagai pengusung musik “ngak-ngik-ngok” di masa lalu, mereka meluncurkan tembang-tembang cinta tanah air serial “Nusantara”.
      Kepiawaian Koes Plus yang sulit tertandingi adalah penjelajahan mereka melintasi genre musik dan sekat sosial. Selain berkutat di genre pop, Koes Plus tak sungkan memasuki dunia keroncong, pop Melayu, pop Jawa hingga pop anak-anak. Mereka pun tak canggung melintasi sekat agama. Dibuatlah album Qasidah hingga album Natal. Booming Koes Plus memunculkan kecemburuan dari berbagai pihak. Musik Koes Plus dicap “kacangan”, sekedar mengandalkan 3 jurus (kunci). Tonny menangkis dengan jitu atas tudingan itu, “Silahkan buat musik tiga jurus, dan buktikan karya anda diterima masyarakat!” katanya lantang. Nyatanya, tak ada yang sanggup melampaui pencapaian Koes Plus. Dominasi Koes Plus atas musik Indonesia sepanjang dekade 70-an menyurut di era 80-an. Puncaknya adalah kematian sang inspirator dan motor Koes Plus, Tonny Koeswojo, pada tahun 1987. Bak anak ayam ditinggal induknya, Koes Plus pun mati suri nyaris satu dekade. Beruntunglah, ada Ais Suhana (penulis buku ini) selaku penggemar berat Koes Plus sejak tahun 70-an, yang mengangkat moral anggota Koes Plus tersisa untuk bangkit kembali. Pelan tapi pasti, roh Koes Plus kembali hadir di panggung hotel-hotel, cafe-cafe dan beberapa single rekaman. Paling tidak itu cukup sebagai pengingat generasi berikutnya bahwa Indonesia pernah memiliki grup musik yang serba plus. Buku karya Ais Suhana ini sangat penting, bukan hanya menguak lika-liku perjalanan Koes Plus yang tak terungkap sebelumnya. Lebih dari itu, buku ini menambah khasanah referensi musik nasional yang memang sangat langka.
Pencinta dan Kolektor Musik Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar