Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Minggu, 16 Desember 2012

Indonesia dalam Perspektif Wayang "Bengal"

Resensi Saya di Seputar Indonesia (Koran Sindo), Desember 2012

Judul Buku : LUPA ENDONESA                                         
Penulis        : Sujiwo Tejo
Penerbit       : Bentang (PT Bentang Pustaka)
Cetakan       : September 2012
Tebal           : xiii + 218
ISBN           : 978-602-8811-87-3

    “Tulisannya  memang ‘kurang ajar’”, kata Dahlan Iskan dalam pengantar buku ini (viii). Bagi yang kenal atau sekadar tahu saja, siapa dan bagaimana Sujiwo Tejo, tentu sepakat dengan Dahlan Iskan.  Julukan  “Dalang Edan” atau “Dalang Mbeling” sudah lama disematkan orang kepada Sujiwo Tejo. Dalang asal Jember lulusan ITB ini pantas mendapatkannya, sebab dalam setiap pementasan wayang kulitnya, Sujiwo  jarang  mengandalkan cerita pakem yang selama ini dipegang teguh para dalang kesohor dan sepuh dari tanah Jawa. Sering cerita dibuatnya sendiri,  bersumber  dari situasi dan kondisi sosial, politik dan berbagai fenomena yang sedang hangat dibicarakan. Kalau, toh, memainkan  cerita atau lakon wayang yang pakem, Sujiwo dengan nakalnya membelokkan alur cerita secara liar ke berbagai arah. Dialog para wayang  kerap diisi humor satir bahkan sarkastik yang bisa mengenai siapa saja, baik  politisi, aparat hukum hingga ke penguasa negeri. Kritis dan humoris, itulah  dua kata yang akan dilontarkan orang ketika  menyaksikan pertujukan wayang dan membaca tulisan-tulisan Sujiwo.
Kemampuannya mengurai dan mengkritisi segala persoalan pelik dengan bungkus humor yang lumayan cerdas, layak mendapat acungan jempol. Di tangan dan mulutnya, segala persoalan ditelanjangi habis-habisan, tanpa perlu merasa bersalah ke berbagai pihak yang “terhantam”  kritik dan humornya. Memang itulah cara Sujiwo Tejo. Dengan humornya, masyarakat diajari agar tak mudah meluapkan amarah apalagi anarki yang lepas kendali  dalam merespon setiap fenomena yang mengusik rasa keadilan. Hasil penelitian Baron (1978), menyimpulkan bahwa humor dapat menurunkan agresifitas orang yang sedang marah. Bahkan Further et al. (dalam Guilmette, 2008) mengatakan , “humor mengandung muatan positif yang dapat menurunkan perasaan tegang (tension) dan mengurangi perasaan cemas (anxiety), sehingga membantu orang dalam masa penyembuhan. Jadi, jangan sepelekan humor!
Sumber gambar: writeisthenewwrong.blogspot

     Dalam jagat pewayangan, pakeliran Sujiwo dikenal sebagai pentas cerita carangan atau malah cerita sempalan. Buku terbaru Sujiwo Tejo (release beberapa hari lalu),  berjudul: LUPA ENDONESA; hakikatnya  tak beda dengan pentas wayangnya di atas panggung. Kali ini pentas tidak di panggung pakeliran, namun dituangkan dalam bentuk literasi atau tulisan. Buku LUPA ENDONESA, merupakan kumpulan tulisannya yang terbit setiap hari Minggu di harian Jawa Pos. Publik lebih mengenal sebagai “Wayang Durangpo” ketika masih di Jawa Pos. “Durangpo” sebuah akronim rekaan Sujiwo dari kepanjangan “Nglindur Bareng Ponokawan”. Nglindur (bahasa Jawa) artinya mengigau, jadi “Durangpo” bisa diartikan mengigau bersama Ponokawan. Mengigau artinya berbicara dalam tidur. Orang mengigau yang diomongkan memang sekena-kenanya, tanpa aturan dan batasan. Jadi “Wayang Durangpo” dimaksudkan untuk membicarakan  apapun (fenomena yang lagi hangat) dalam gaya humor dan candaan khas para Ponokawan (para abdi kesatria atau raja di pewayangan).
      Melalui para Ponokawan, terdiri dari : Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, Mbilung, Cangik dan Limbuk, Sujiwo membedah berbagai permasalahan kontemporer dalam alur cerita wayang carangan dan sempalan. Buku LUPA ENDONESA ini terbagi atas 6 tema besar: Cinta Tanah Air, Dasar Manusia, Lupa-Lupa Ingat, Fulus, Oh, Fulus, Kecanduan Berharap dan Negeri Mimpi, tak hanya menawarkan humor khas Ponokawan, namun di sana-sini  bisa dijumpai  berbagai kerlip butir-butir mutiara kearifan yang bersumber dari nilai filsafati bahkan agama. Contohnya dalam personifikasi tokoh Hanoman. Meskipun (Hanoman) berwujud monyet, namun hatinya manusia. Jadi, “kemanusiaan” seseorang tak tergantung wujudnya, namun tergantung esensi. Sesuatu yang tak berwujud manusia bisa saja disebut manusia karena punya esensi “kemanusiaan” seperti Hanoman itu (hal 45).
       Dibalik kebengalan celoteh Sujiwo dalam mendalang, Dia tak  risih  sesekali menyelipkan pesan moral dan nilai-nilai keagamaan. Dalam dialog antara Dewi Sariwati dengan Gareng (suaminya), sang Dewi bertutur, “ Ibadah sembahyang tidak untuk dipamer-pamerkan, yang penting niatnya”. Bahkan, dalil agama “mendirikan Shalat” dimaknai secara kontekstual oleh Gareng dengan tuturannya, “ Kalau semua warga sembahyang dengan benar, niscaya tak ada orang susah di negeri ini, karena semua suka membantu sesamanya” (hal 4). Sebuah pemaknaan kontekstual “mendirikan Shalat”,  yang tak terhenti  pada laku ibadahnya  tapi ke laku sosial atau kesalehan sosial.
     Situasi politik negeri ini pun tak luput dari bidikan celoteh satir Ponokawannya Sujiwo. Wacana penaikkan harga BBM, yang  mencuat beberapa waktu lalu, dengan cerdas dianalogikan bermuka duanya para politisi senayan (satu muka ke rakyat dengan menolak wacana penaikkan harga BBM, satu muka lainnya diarahkan untuk menjilat penguasa dengan menyokong ide penaikkan harga BBM) disamakan dengan muka banyak yang dimiliki Batara Guru akibat ingin melihat kemolekan Dewi Wilutama yang selalu beringsut posisinya (hal 156).
      Kekonyolan banyolan Sujiwo dalam buku ini ditampakkan antara lain hal kelupaan Gatotkaca mendaftarkan ke MURI  atas kemampuannya  menghancurkan gunung, berkat ajian Brajamusti dan Brajalamatan yang dimilikinya (hal 30).
      Terlepas dari kekurangan yang ada, seperti pemberian judul setiap cerita dalam bukunya yang terkesan “dipaksakan”,  Sujiwo telah berusaha memperkenalkan wayang beserta ceritanya kepada khalayak luas lewat buku ini.  Meski judul bukunya LUPA ENDONESA (Indonesia), hakikatnya Sujiwo justru mengajak bangsa Indonesia untuk tidak melupakan segala persoalan yang ada, melainkan harus menghadapi dan menyelesaikannya.  Pun Sujiwo mengingatkan bahwa kita memiliki  wayang sebagai warisan adiluhung nenek moyang yang mesti dilestarikan. Bahkan  Unesco sejak 2003 telah mengakui wayang sebagai  warisan mahakarya dunia tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity), dan memasukkan wayang  dalam Daftar Representatif  Budaya Tak Benda Warisan Manusia.  Jadi, dengan membaca Buku LUPA ENDONESA ini, justru akan membuat kita tidak apatis dan melupakan segala permasalahan bangsa. Tak lupa sembari mengingatkan bahwa kita memiliki  Wayang yang begitu dahsyat.
 
Danang Probotanoyo, Centre for Indonesia Reform Studies, Alumni UGM, Penulis Opini, Esai, Cerpen dan Timbangan Buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar