Data Buku:
Resensi Saya Termuat di KORAN JAKARTA, Desember 2012
|
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Penulis : Dasman Djamaluddin
Terbit : I, September 2012
Tebal : xvii+233
Timur Tengah adalah kawasan “terpanas”
di muka Bumi ini. Pangkal masalahnya bermacam-macam: perebutan kekuasaan secara internal, sengketa
tapal batas hingga tumpang tindih klaim ladang minyak. Ujungnya, kerap timbul perang di kawasan tersebut.
Namun, sumbu ledak yang hingga kini belum benar-benar padam adalah konflik
Arab-Israel, khususnya persoalan Palestina. Berulang kali dua entitas bangsa
tersebut terlibat perang besar. Dimulai tahun 1948, saat Israel memproklamirkan
negaranya. Disusul Perang Enam Hari di tahun 1967 dan Perang Yom Kippur di
tahun 1973. Perang lebih kecil antara lain Perang Israel-PLO di Libanon tahun 1982,
Perang Hizbullah-Israel tahun 2006 dan Perang Hamas-Israel di tahun 2009 dan
2012. Di sela-sela itu hampir setiap hari terjadi konflik skala kecil secara
sporadis. Kebencian dan dendam seakan sudah mendarah daging antara Arab dan Israel.
Kata “damai” begitu mahal bagi pihak-pihak yang berseteru. Konflik yang sudah
berumur 64 tahun pun tak kunjung usai. Namun demikian bukan berarti tak ada
kemajuan sama sekali. Paling tidak dari sekian banyak negera Arab seteru Israel,
ada Mesir dan Yordania yang telah berdamai dengan negara Zionis itu.
Perdamaian antara Mesir dan Israel adalah yang paling fenomenal. Dikatakan
begitu sebab Mesir adalah negara terkuat
secara militer dan berpenduduk terbesar diantara negara-negara Arab. Mesir pula
yang menjadi kekuatan inti dan dominan pasukan Arab di setiap perangnya melawan
Israel. Setelah ditanda tanganinya Perjanjian Camp David antara Mesir dan
Israel pada tahun 1979, maka konflik Arab-Israel menurun eskalasinya. Meski perang
secara sporadis dan kecil-kecilan tetap berlangsung hingga kini, setidaknya
perang skala besar tak ada lagi pasca berdamainya Mesir-Israel.
Indonesia patut berbangga, salah satu putra terbaiknya: Mayjend Rais
Abin, menjadi aktor penting dalam proses menuju perdamaian Mesir-Israel. Sehabis
perang Yom Kippur, PBB menempatkan pasukannya di Timur Tengah dengan label UNEF
II (United Nations Emergency Force). Tugas
UNEF II menjaga perbatasan Mesir-Israel. Rais Abin menjadi panglima UNEF II periode
1976 - 1979 menggantikan Letjend Bengt
Liljestrand dari Swedia. Disini nampak jelas kehebatan seorang Rais Abin.
Pertama, Rais Abin merupakan perwira
Asia pertama yang diangkat PBB menjadi panglima pasukan perdamaian PBB. Bahkan
Rais Abin hingga kini menjadi satu-satunya perwira TNI yang berkedudukan
tertinggi di pasukan perdamaian PBB. Kedua, terpilihnya Rais Abin sebagai
panglima pasukan perdamaian PBB penengah konflik Arab vs Israel tidaklah mudah. Selain butuh skill kemiliteran yang
mumpuni, kecakapan diplomasi tingkat tinggi pun diperlukan. Sebab, menjadi
panglima pasukan perdamaian PBB salah satu syaratnya harus mendapatkan
persetujuan dari kedua pihak yang bertikai (Mesir dan Israel). Tentunya bukan
perkara mudah bagi WNI mendapatkan persetujuan dari Israel. Sebabnya Indonesia merupakan
negara muslim sebagaimana Mesir seteru Israel saat itu. Indonesia juga sagat mesra
dengan Mesir. Pasalnya, Mesir negara pertama yang mengakui kemerdekaan
Indonesia. Secara politis Indonesia juga pendukung setia perjuangan Bangsa
Palestina melawan pendudukan Israel. Ditambah lagi Indonesia tidak menjalin
hubungan diplomatik dengan Israel.
sumber gambar: sekedartahu.blogspot |
Sederet latar belakang tersebut, rasanya mustahil orang Indonesia bisa
“dipercaya” Israel. Berkat kepiawaian dan kapabilitas Rais Abin semua itu bisa
terjadi. Bahkan Menteri Pertahanan Israel kala itu, Shimon Peres, hingga
berkata-kata, “Suatu preseden yang unik bahwa Kami menyetujui Panglima Pasukan
PBB dari negara yang tidak mengakui Israel.” (hal 38).
Kelak kemampuan Rais Abin yang luar
biasa dalam berdiplomasi mengantarkannya pada penugasan-penugasan yang berkaitan
dengan diplomasi. Tercatat Ia pernah menjabat sebagai Duta Besar untuk
Malaysia, Singapura dan menjadi Sekjend Pelaksana Harian KTT Gerakan Nonblok
(hal 119,165).
Membaca buku ini seolah mengingatkan anak bangsa bahwa kita pernah
memiliki tentara professional yang diakui dunia, bukan hanya soal kemampuan
berperang saja namun juga professional dalam berdiplomasi. Kedua, konflik
Arab-Israel tak akan terselesaikan dengan jalan perang terus, harus dicari
titik temu lewat jalan diplomasi. Rais Abin telah memulainya lewat peran yang
signifikan dalam menggiring Mesir-Israel menuju proses perdamaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar