Berpikir-Menulis

Berpikir-Menulis

Selasa, 04 Desember 2012

Narkoba Mempermalukan Artis Hingga Presiden



Allah Ampuni dosa-dosa kami
Beri kami kearifan membaca seribu tanda-tanda
(“Membaca Tanda-tanda”, Taufiq Ismail,1982)
   
      Pemimpin harus memiliki kepekaan dan kemampuan “membaca tanda-tanda” atau dalam terminologi jawa bersifat Waskita: tanggap dan mampu melihat jauh ke depan.  Karut marut berbagai persoalan begitu deras menerpa republik. Harusnya itu dijadikan sebagai tanda, sinyal bahkan alarm bagi para pemimpin untuk segera  menuntaskan segala problem bangsa. Jangan bebal dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Alam telah banyak mengajari “membaca tanda-tanda”. Sebelum Gunung Merapi meletus dahsyat di tahun 2010 diawali gelombang hijrah binatang-binatang ke pemukiman di kaki gunung.  Begitupun Tsunami akan menerjang dengan introduksi gempa dan surutnya air laut. Setiap fenomena  memiliki  tanda-tanda sendiri. Dikirim atas kemurahan Sang Pencipta agar manusia mengambil pelajaran, hikmah sekaligus antisipasi. Saat ini persoalan narkoba tengah mengintai eksistensi bangsa dan rakyat Indonesia.  Begitu massifnya gangsiran penyalahgunaan narkoba, niscaya kelak mampu merobohkan republik ini. 
Termuat Di Koran MERAPI, Medio: November 2012

       Dramatisasi pemberitaan penyalahgunaan narkoba begitu gegap gempita. Korban pun terus berjatuhan. Namun lacur, semua itu tak membuat para pemimpin  mengeluarkan segenap sumber daya dan kewenangan yang dimiliki untuk bersungguh-sungguh membasminya.  Apa masih kurang terbaca oleh para pemimpin ancaman nyata narkoba? Data yang dihimpun BNN (Badan  Narkotika Nasional) ada 3,8 juta manusia Indonesia pemakai  narkoba di tahun 2011. Sedang menurut Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) ditahun 2012 setidaknya ada 5 juta orang Indonesia pengguna narkoba. Dengan angka kematian  50 jiwa per hari gara-gara narkoba laknat. Data di atas kertas tersebut tak jua menerbitkan bulu kuduk pemimpin. Padahal episode penangkapan produsen, pemasok, pengedar hingga pemakai nyaris tersaji ke publik setiap hari.  Pemakainya pun mulai bervariasi dan meluas. Kalau dulu kebanyakan pemakainya adalah pelajar dan kalangan anak muda secara umum. Kini pengguna yang tertangkap  beragam profesi dan usianya.  Awal tahun lalu beberapa pilot pesawat komersil tertangkap sebagai pengguna narkoba. Di satu daerah kepolisian di Sumatera, sebanyak 114 polisinya memiliki tes urine yang positif kandungan narkobanya.  Berita wakil rakyat yang tertangkap tengah nyabu pun kerap dilansir. Yang terbaru, seorang hakim di Bekasi tertangkap tengah pesta narkoba di rumah karaoke.  Dampak penyalahgunaan narkoba sangat mengerikan meliputi kerusakan fisik dan mental pemakainya.

     Publik tersentak manakala penyalahgunaan narkoba mulai berdampak destruktif dan terjadi ekternalisasi dari pemakainya. Awal tahun ini, Afriyani Susanti yang bersekutu dengan narkoba mencabut sembilan nyawa manusia lain memakai Xenia mautnya.  Semua heboh, termasuk para pemimpin. Namun, seperti biasa, selewat tragedi seram itu, semua menjadi “biasa” lagi. Padahal, drama Afriyani “dihadirkan” agar warga bangsa memiliki effort yang super ekstra dalam mengatasi narkoba. Yang terjadi justru sebaliknya. SBY sebagai pemimpin tertinggi republik malah memiliki rasionalitas yang berkebalikan dengan opini publik. Alih-alih berusaha keras membabat penyalahgunaan narkoba, yang ada seolah  memberi “opportunity” narkoba untuk berbiak lebih lanjut di republik ini. Setelah ratu penyelundup mariyuana di Bali asal Australia, Schapelle Leigh Corby,  diberi grasi, langkah SBY  makin tak terbendung. Setidaknya sudah 19 permintaan grasi terpidana narkoba ditanda-tangani SBY.  MA tak mau kalah, ikut-ikutan dengan menganulir hukuman atas pemilik pabrik ekstasi di Surabaya, Hanky Gunawan, dan pemilik 5,8 kg heroin Hillary K Chimezie asal Nigeria. Lupakah pada horor yang ditimbulkan Afriyani kala berasyik masyuk dengan narkoba?  
     Syak wasangka terjadi politik pencitraan di mata internasional menyeruak bersamaan hujan grasi itu. Alasan kemanusiaan terhadap para gembong dan penjaja narkoba terlalu dramatis.     
Harusnya rasa kemanusiaan SBY lebih tepat untuk  jutaan rakyat  yang menjadi korban langsung dan tak langsung dari  kejahatan narkoba.  Nyatanya Beliau lebih memilih Corby dan kawan-kawan.
     “Kiriman” sosok Afriyani Susanti beserta “genosidanya” tak jua dipahami sebagai “tanda-tanda” ancaman keruntuhan bangsa karena  narkoba. Tuhan masih bermurah, dikirimnya lagi  Novi Amelia, sebagai “tanda-tanda” berikutnya. Mengendarai mobil setengah telanjang dan di bawah rasukan narkoba, Novi sukses membuat tujuh orang terjengkang  di wilayah Taman Sari, Jakarta Barat, 11 Oktober lalu. Dua kasus tragis itu, janganlah membuat bebal dengan ketidakbisaan  membaca “tanda-tanda” dari-Nya.
     Yang sangat memalukan  adalah kekeliruan  SBY pada pemberian grasi terpidana mati Meirika Franola (Ola). Vonis mati yang mendera Ola sejatinya  sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht) setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali kasusnya pada 27 Februari 2003. Namun, SBY mengampuninya dan memberikan grasi pada 26 September 2011 sehingga hukuman Ola  berubah dari hukuman mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Belakangan terbukti  bahwa pemberian grasi untuk Ola tersebut  salah total dan cukup memalukan. Pasalnya, Ola bukan hanya sebagai kurir narkoba sebagaimana disampaikan SBY dan para pembantu dekatnya ketika ditanya hal pertimbangan pemberian grasi itu.  Menurut BNN, Ola ternyata sebagai pengatur bisnis narkotika, bahkan saat dirinya masih mendekam di rumah tahanan  Pondok Bambu, Jakarta. Fakta ini didapat dari  keterangan seorang tersangka berinisial NA yang ditangkap BNN tanggal 4 Oktober lalu di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, ketika yang bersangkutan kedapatan membawa sabu-sabu seberat 775 gram dari India ke Indonesia. NA mengaku Ola-lah sebagai otak yang menyuruhnya menyelundupkan barang haram itu. Argumen bahwa pemberian grasi kepada terpidana kasus narkoba sudah melalui pertimbangan masak dan mendalam menjadi terbantahkan, setidaknya dalam kasus Ola ini. Bahkan pemberian grasi kepada Ola tersebut bisa dipandang sebagai kecerobohan yang sangat fatal. Ini harus menjadi bahan evaluasi dan koreksi bagi presiden dan seluruh jajarannya yang berkompeten dalam memberikan pertimbangan kepada presiden pada proses pemberian grasi. Semua harus mempertimbangkan suara publik yang lebih luas. Dalam kasus ini,  ungkapan Latin: Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) menemukan kebenaran. Ketika mayoritas rakyat mengatakan bahwa penjahat narkoba jangan diampuni dan layak dihukum berat, seyogianya seorang pemimpin harus mengindahkannya.
      Diluar kekeliruan fatal atas pemberian grasi kepada Ola tersebut, ada satu yang pasti, bahwa langkah meringankan para gangster narkoba bisa memberi sinyal welcome bagi kawanannya untuk lebih intensif berdagang narkoba di Indonesia. Apanya yang kurang menarik dari Indonesia bagi para gangster itu? Jumlah penduduknya terbanyak nomer empat di Bumi. Pertumbuhan ekonomi pun konon lagi bagus-bagusnya (nomer dua) di dunia. Daya pikat tertinggi bagi “investor narkoba” untuk datang berbondong-bondong ke Indonesia adalah adanya berbagai “insentif” berupa ringannya hukuman dan obral grasi. 
       Pemimpin harus lekas tersadar dan menjadi arif membaca tanda-tanda dari Tuhan. Mumpung Tuhan “masih” bermurah.  Lain waktu bisa jadi bukan sejenis Afriyani dan Novi lagi yang dikirimkan sebagai “tanda-tanda” ancaman keruntuhan bangsa akibat narkoba.  Apa mau menunggu sampai ada kejadian  pilot narkoba menghujamkan pesawat dan seisinya? atau aparat yang otaknya terlamur narkoba lantas menyalakkan senjata ke umum, seperti di film-film?
      Semua ini mesti disikapi presiden bahwa ternyata Tuhan masih berkenan memberi pertanda agar kita kembali tersadar akan bahayanya narkoba. Memang, gara-gara narkoba Novi boleh jadi malu karena foto seronoknya beredar luas, pun SBY  malu karena keliru menilai Ola; namun yang pasti bangsa ini tak boleh ragu sedikitpun untuk memerangi penyalahgunaan narkoba!

Danang Probotanoyo,  Pusat Studi Reformasi Indonesia (CIRS) Alumni UGM

1 komentar:

  1. thank nice infonya sangat menarik, silahkan kunjungi balik website kami http://bit.ly/2AgqWFh

    BalasHapus