Allah
Ampuni dosa-dosa kami
Beri
kami kearifan membaca seribu tanda-tanda
(“Membaca
Tanda-tanda”, Taufiq Ismail,1982)
Pemimpin harus
memiliki kepekaan dan kemampuan “membaca tanda-tanda” atau dalam terminologi jawa bersifat Waskita:
tanggap dan mampu melihat jauh ke depan. Karut marut berbagai persoalan begitu deras
menerpa republik. Harusnya itu dijadikan sebagai tanda, sinyal bahkan alarm
bagi para pemimpin untuk segera menuntaskan segala
problem bangsa.
Jangan bebal dan berpura-pura semuanya baik-baik saja. Alam telah banyak
mengajari “membaca tanda-tanda”. Sebelum Gunung Merapi meletus dahsyat di tahun
2010 diawali gelombang hijrah binatang-binatang ke pemukiman di kaki gunung. Begitupun Tsunami akan menerjang dengan introduksi
gempa dan surutnya air laut. Setiap fenomena memiliki
tanda-tanda sendiri. Dikirim atas kemurahan Sang Pencipta agar manusia
mengambil pelajaran, hikmah sekaligus antisipasi. Saat ini persoalan narkoba tengah
mengintai eksistensi bangsa dan rakyat Indonesia. Begitu massifnya gangsiran penyalahgunaan narkoba, niscaya kelak mampu merobohkan republik ini.
Termuat Di Koran MERAPI, Medio: November 2012 |
Dramatisasi pemberitaan penyalahgunaan narkoba begitu gegap gempita. Korban pun terus berjatuhan. Namun lacur,
semua itu tak membuat para pemimpin
mengeluarkan segenap sumber daya dan kewenangan yang dimiliki untuk bersungguh-sungguh
membasminya. Apa masih kurang terbaca oleh
para pemimpin ancaman nyata narkoba? Data yang dihimpun BNN (Badan Narkotika Nasional) ada 3,8 juta manusia
Indonesia pemakai narkoba di tahun 2011.
Sedang menurut Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) ditahun 2012 setidaknya
ada 5 juta orang Indonesia pengguna narkoba. Dengan angka kematian 50 jiwa per hari gara-gara narkoba laknat. Data
di atas kertas tersebut tak jua menerbitkan bulu kuduk pemimpin. Padahal
episode penangkapan produsen, pemasok, pengedar hingga pemakai nyaris tersaji
ke publik setiap hari. Pemakainya pun mulai bervariasi dan meluas. Kalau
dulu kebanyakan pemakainya adalah pelajar dan kalangan anak muda secara umum. Kini
pengguna yang tertangkap beragam profesi
dan usianya. Awal tahun lalu beberapa
pilot pesawat komersil tertangkap sebagai pengguna narkoba. Di satu daerah
kepolisian di Sumatera, sebanyak 114 polisinya memiliki tes urine yang positif
kandungan narkobanya. Berita wakil
rakyat yang tertangkap tengah nyabu pun kerap dilansir. Yang terbaru, seorang
hakim di Bekasi tertangkap tengah pesta narkoba di rumah karaoke. Dampak
penyalahgunaan narkoba sangat
mengerikan meliputi kerusakan
fisik dan mental pemakainya.
Publik
tersentak manakala penyalahgunaan narkoba mulai berdampak destruktif dan
terjadi ekternalisasi dari pemakainya. Awal tahun ini, Afriyani Susanti yang
bersekutu dengan narkoba mencabut sembilan nyawa manusia lain memakai Xenia
mautnya. Semua heboh, termasuk para
pemimpin. Namun, seperti biasa, selewat tragedi seram itu, semua menjadi
“biasa” lagi. Padahal, drama Afriyani “dihadirkan” agar warga bangsa memiliki effort yang super ekstra dalam mengatasi
narkoba. Yang terjadi justru sebaliknya. SBY sebagai pemimpin tertinggi republik
malah memiliki rasionalitas yang berkebalikan dengan opini publik. Alih-alih
berusaha keras membabat penyalahgunaan narkoba, yang ada seolah memberi “opportunity”
narkoba untuk berbiak lebih lanjut di republik ini. Setelah ratu penyelundup
mariyuana di Bali asal Australia, Schapelle
Leigh Corby, diberi grasi, langkah
SBY makin tak terbendung. Setidaknya
sudah 19 permintaan grasi terpidana narkoba ditanda-tangani SBY. MA tak mau kalah, ikut-ikutan dengan
menganulir hukuman atas pemilik pabrik ekstasi di Surabaya, Hanky Gunawan, dan
pemilik 5,8 kg heroin Hillary K Chimezie
asal Nigeria. Lupakah pada horor
yang ditimbulkan Afriyani kala berasyik masyuk dengan narkoba?
Syak wasangka terjadi politik pencitraan
di mata internasional menyeruak bersamaan hujan grasi itu. Alasan kemanusiaan
terhadap para gembong dan penjaja narkoba terlalu dramatis.
Harusnya rasa
kemanusiaan SBY lebih tepat
untuk jutaan rakyat
yang menjadi korban langsung dan tak langsung dari kejahatan narkoba. Nyatanya Beliau lebih
memilih Corby dan kawan-kawan.
“Kiriman” sosok Afriyani Susanti beserta “genosidanya” tak jua dipahami
sebagai “tanda-tanda” ancaman keruntuhan bangsa karena narkoba. Tuhan masih bermurah, dikirimnya lagi
Novi Amelia, sebagai “tanda-tanda”
berikutnya. Mengendarai mobil setengah telanjang dan di bawah rasukan narkoba,
Novi sukses membuat tujuh orang terjengkang di wilayah Taman Sari, Jakarta Barat, 11
Oktober lalu. Dua kasus tragis itu, janganlah membuat bebal dengan ketidakbisaan
membaca “tanda-tanda” dari-Nya.
Yang sangat memalukan adalah
kekeliruan SBY pada pemberian grasi terpidana
mati Meirika Franola (Ola). Vonis mati yang mendera Ola sejatinya sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht)
setelah Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali kasusnya pada 27 Februari
2003. Namun, SBY mengampuninya dan memberikan grasi pada 26 September 2011
sehingga hukuman Ola berubah dari hukuman
mati menjadi pidana penjara seumur hidup. Belakangan terbukti bahwa pemberian grasi untuk Ola tersebut salah total dan cukup memalukan. Pasalnya, Ola
bukan hanya sebagai kurir narkoba sebagaimana disampaikan SBY dan para pembantu
dekatnya ketika ditanya hal pertimbangan pemberian grasi itu. Menurut BNN, Ola ternyata sebagai pengatur
bisnis narkotika, bahkan saat dirinya masih mendekam di rumah tahanan Pondok Bambu, Jakarta. Fakta ini didapat dari keterangan seorang tersangka berinisial NA
yang ditangkap BNN tanggal 4 Oktober lalu di Bandara Husein Sastranegara,
Bandung, ketika yang bersangkutan kedapatan membawa sabu-sabu seberat 775 gram
dari India ke Indonesia. NA mengaku Ola-lah sebagai otak yang menyuruhnya
menyelundupkan barang haram itu. Argumen bahwa pemberian grasi kepada terpidana
kasus narkoba sudah melalui pertimbangan masak dan mendalam menjadi
terbantahkan, setidaknya dalam kasus Ola ini. Bahkan pemberian grasi kepada Ola
tersebut bisa dipandang sebagai kecerobohan yang sangat fatal. Ini harus
menjadi bahan evaluasi dan koreksi bagi presiden dan seluruh jajarannya yang
berkompeten dalam memberikan pertimbangan kepada presiden pada proses pemberian
grasi. Semua harus mempertimbangkan suara publik yang lebih luas. Dalam kasus
ini, ungkapan Latin: Vox Populi, Vox Dei (suara rakyat adalah
suara Tuhan) menemukan kebenaran. Ketika mayoritas rakyat mengatakan bahwa
penjahat narkoba jangan diampuni dan layak dihukum berat, seyogianya seorang
pemimpin harus mengindahkannya.
Diluar kekeliruan fatal atas pemberian grasi kepada Ola tersebut, ada
satu yang pasti, bahwa langkah meringankan para gangster narkoba bisa memberi sinyal
welcome bagi kawanannya untuk lebih
intensif berdagang narkoba di Indonesia. Apanya yang kurang menarik dari Indonesia
bagi para gangster itu? Jumlah penduduknya terbanyak nomer empat di Bumi. Pertumbuhan
ekonomi pun konon lagi bagus-bagusnya (nomer dua) di dunia. Daya pikat
tertinggi bagi “investor narkoba” untuk datang berbondong-bondong ke Indonesia
adalah adanya berbagai “insentif” berupa ringannya hukuman dan obral
grasi.
Pemimpin harus lekas tersadar
dan menjadi arif membaca tanda-tanda dari Tuhan. Mumpung Tuhan “masih”
bermurah. Lain waktu bisa jadi bukan
sejenis Afriyani dan Novi lagi yang dikirimkan sebagai “tanda-tanda” ancaman
keruntuhan bangsa akibat narkoba. Apa
mau menunggu sampai ada kejadian pilot
narkoba menghujamkan pesawat dan seisinya? atau aparat yang otaknya terlamur
narkoba lantas menyalakkan senjata ke umum, seperti di film-film?
Semua ini mesti disikapi
presiden bahwa ternyata Tuhan masih berkenan memberi pertanda agar kita kembali
tersadar akan bahayanya narkoba. Memang, gara-gara narkoba Novi boleh jadi malu
karena foto seronoknya beredar luas, pun SBY
malu karena keliru menilai Ola; namun yang pasti bangsa ini tak boleh
ragu sedikitpun untuk memerangi penyalahgunaan narkoba!
Danang
Probotanoyo, Pusat Studi Reformasi
Indonesia (CIRS) Alumni UGM
thank nice infonya sangat menarik, silahkan kunjungi balik website kami http://bit.ly/2AgqWFh
BalasHapus