(Tulisan saya ini sudah dimuat Lampung Post medio: Desember 2012.
Majalah SAGANG memuat ulang pada Maret 2014, mengambilnya dari blog:
mediasangsufi.blogspot.com tanpa seijin saya)
Oleh :Danang Probotanoyo
Judul
Buku : Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme
Jean Baudrillard
Penerbit : JALASUTRA
Penulis : Medhy Aginta Hidayat
Terbit : I, Juni 2012
Tebal : xii+176 halaman
ISBN : 978-602-8252-77-5
Harga : Rp 38.000
Bisakah membayangkan seandainya hari ini tidak ada tv, telepon, HP, faximile, internet, e-mail, mesin fotocopy, pesawat
terbang atau obat vaksin anti virus? Tentu hidup terasa menjadi sulit, beresiko
dan lamban. Beda bila pertanyaan tadi
terlontar ratusan tahun silam. Di jaman modern ini, berbagai kemudahan
didapatkan manusia untuk melakukan
pelbagai aktivitas hidup berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Waktu
dan jarak relatif tak menjadi kendala bagi manusia untuk melakukan transaksi
atau menjalin relasi. Manusia benar-benar termanjakan oleh modernisme.
Namun, modernisme sebagai paradigma peradaban modern tak sepenuhnya
menjamin kebahagiaan hidup manusia. Di banyak hal, paradigma modernisme justru
dianggap gagal membuat pencerahan dalam kehidupan manusia. Lebih jauh lagi, modernisme dipandang sebagai penyebab
munculnya berbagai anomali bahkan penyakit sosial masyarakat modern atau
patologi modernitas. Sebagai antithesis modernisme muncul kerangka berpikir
baru yang disebut postmodernisme. Yakni wacana kesadaran yang mencoba menggugat
kembali batas-batas, implikasi dan realisasi asumsi-asumsi modernisme. Postmodernisme
menghadirkan kegairahan utuk memperluas
cakrawala estetika, tanda dan kode seni modern.
Wacana kebudayaan ini menyertai kejayaan
kapitalisme, kemajuan teknologi informasi
yang menggiring lahirnya budaya konsumerisme, realitas semu, dunia
hiperrealitas dan simulasi disertai dengan tumbangnya nilai guna dan nilai tular
oleh nilai tanda dan nilai simbol.
Kajian mengenai postmodernisme muncul sebagai bentuk gugatan terhadap
kegagalan wacana modernisme sebagai pencerahan hidup manusia. Pauline M.
Rosenau (1992) setidaknya mencatat lima alasan penting munculnya gugatan
postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme dipandang telah gagal
menciptakan perbaikan menuju masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana
diharapkan. Kedua, Ilmu pengetahuan modern tidak bisa lepas dari tindakan
penyalahgunaan untuk kepentingan kekuasaan yang menyimpang. Ketiga, terjadi
banyak ketidaksesuaian antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu
modern. Keempat, pudarnya keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern serba mampu
memecahkan persoalan-persoalan manusia.
Munculnya berbagai anomali dan penyakit sosial sebagai pembuktiannya. Kelima,
ilmu modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi mistik dan metafisik manusia
karena terlalu berpatokan pada paradigma fisik.
Jean Baudrillard (filsuf Perancis) merupakan sosok penting pemikir
kebudayaan postmodern. Pemikiran Baudrillard menjadi kunci penting untuk
memahami pengertian dan watak postmodernisme.
Menurut Baudrillard, masyarakat Barat (dan dunia secara umum) sekarang
ini adalah masyarakat konsumen, yakni masyarakat yang haus mengonsumsi segala
sesuatu tidak hanya yang berwujud riil namun juga obyek tanda. Sesuatu tidak
lagi dinilai berdasar manfaat atau harganya melainkan berdasar prestise dan
makna simbolisnya. Kalau mengacu pada telaah dan definisi yang dilakukan
Baudrillard tersebut, sangat pas dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini.
Disaat sebagian dunia mengalami krisis ekonomi, Indonesia menjadi salah satu
dari sedikit negara yang mampu menunjukkan kinerja perekonomiannya untuk tetap
tumbuh. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi terutama karena sokongan konsumsi di
dalam negeri. Setiap hari bermunculan gerai-gerai waralaba, minimarket maupun
mall-mall. Pola konsumsi masyarakat, terutama kelas menengah-atas, kerap kali
hanya mengacu pada lifestyle, gengsi dan persaingan. Gonta-ganti aneka asesoris,
gadget atau kendaraan hanya untuk mengejar “wah” dari pihak lain atau semata
untuk prestise pribadi. Soal kegunaan barang atau besaran harga tak lagi menjadi ukuran. Gejala masyarakat
yang tergila-gila akan simbol pribadi
ditangkap dengan baik oleh para produsen berotak kapitalis. Setiap saat kaum
kapitalis menambahkan satu atau beberapa
fitur baru pada satu merek barang. Tujuannya mengeksploitasi kerakusan konsumen
pada “produk baru” yang bisa mendongkrak gengsi bila memilikinya. Tak heran
terjadi antrean panjang setiap ada launching produk baru, yang kenyataannya
hampir tidak berbeda dengan produk sejenis sebelumnya. Dalam era kapitalis
sekarang ini nilai guna dan nilai tukar telah dikalahkan oleh suatu nilai baru,
yakni nilai tanda dan nilai simbol (hal 60 ). Inilah gejala mayarakat yang
sakit di era modern sekarang.
Buku ini berisi percik-percik pemikiran Jean Baudrillard yang
menelanjangi akibat modernisme yang menyebabkan masyarakat modern menjadi
masyarakat yang “sakit” karena tergila-gila pada simbol. Terjadilah eksploitasi
nafsu konsumtif masyarakat “sakit” tersebut oleh kapitalis lokal maupun global.
Buku ini memberi pencerahan teoritis yang gamblang dan komprehensif bahwa tak
selamanya modernisme membawa kebaikan.
Danang
Probotanoyo, Pusat Studi Reformasi Indonesia, Alumnus UGM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar